Takdir di Balik Gerbang Giok
(Bab 1: Embun di Atas Teratai)
Kabut pagi menyelimuti Istana Longwei seperti tirai sutra putih. Gerbang Giok di bagian timur istana berdiri megah, menjulang tinggi dengan ukiran naga dan awan. Setiap orang yang melewati gerbang itu membawa takdir masing-masing. Dan pagi itu, seorang pelayan baru bernama Lián Ruò melangkah perlahan melewatinya, tak sadar bahwa langkahnya baru saja membuka kembali pintu masa lalu yang telah lama terkubur.
Lián Ruò adalah gadis sederhana, wajahnya lembut seperti embun pagi, matanya jernih namun menyimpan kedalaman yang bahkan ia sendiri tak mengerti. Ia dibesarkan di kuil tua di perbatasan utara, diserahkan saat masih bayi oleh seorang wanita misterius yang hanya meninggalkan secarik kain bersulam bunga teratai emas.
Hari ini, dia diantar masuk istana sebagai pelayan di Paviliun Timur—tempat tinggal Kaisar Xian Raeyan, penguasa muda yang dikenal cerdas, kejam, dan berhati dingin.
“Jangan menatap matanya terlalu lama,” bisik pelayan senior. “Kaisar tak suka wanita lancang.”
Tapi saat Lián Ruò untuk pertama kalinya mengangkat wajahnya di hadapan sang Kaisar, waktu seolah berhenti.
Raeyan menatapnya, pandangannya menusuk tapi goyah sejenak. Seperti ada bayangan lama di mata gadis itu yang mengguncang kenangan yang telah lama ia kubur. Sebuah nama melintas di pikirannya—Lian Hua.
Namun ia segera mengalihkan pandangannya. “Bawa dia ke Paviliun Bayangan Giok,” perintahnya singkat.
Bab 2: Mimpi yang Basah oleh Darah
Malam itu, Lián Ruò bermimpi. Tapi ini bukan mimpi biasa. Ia berada di tengah istana yang terbakar. Asap dan jeritan. Tubuh-tubuh berserakan. Dan di depannya, seorang wanita berselendang emas memeluknya erat sambil menangis.
“Jangan takut, Lian Hua… kamu akan kembali, satu hari nanti…”
Suara itu tenggelam dalam jeritan perang. Kemudian gelap.
Lián Ruò terbangun dengan nafas memburu, keringat membasahi lehernya. Tangannya gemetar.
“Apa itu… hanya mimpi?” gumamnya.
Tapi rasa nyeri samar di dada—tepat di bawah bahu—mengingatkannya bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar bunga tidur. Ia menarik kain tidurnya perlahan dan melihat tanda lahir berbentuk kelopak teratai… yang bersinar samar di bawah cahaya rembulan.
Bab 3: Pertemuan yang Tak Direncanakan
Kaisar Raeyan mendapati dirinya kembali memandangi Lián Ruò dari kejauhan. Entah mengapa, ia memerintahkan gadis itu untuk menyuguhkannya teh setiap pagi. Padahal biasanya tugas itu diberikan pada pelayan yang lebih senior.
Pagi itu, tangan Lián Ruò sedikit gemetar saat menuangkan teh ke cawan gioknya. Raeyan memperhatikannya.
“Namamu siapa?” tanya Raeyan, suaranya dalam dan tenang.
“Lián Ruò, Yang Mulia.”
“Lián… Ruò…” Ia mengulang pelan, seolah mencicipi rasa dari nama itu. “Kau berasal dari kuil utara?”
“Iya. Saya dibesarkan oleh para biarawati.”
Raeyan menyipitkan mata. Ada sesuatu yang tidak biasa tentang gadis ini. Terlalu tenang. Terlalu dalam. Dan terlalu… familiar.
Bab 4: Bunga yang Tak Pernah Mati
Beberapa hari kemudian, Lián Ruò dikirim ke bagian penyimpanan istana untuk membantu membersihkan benda-benda dari kerajaan lama yang kalah perang. Saat tangannya menyentuh kotak tua berukir lambang Xiang Yue—teratai bersilang dengan phoenix—ia tiba-tiba kehilangan kesadaran.
Ia melihat dirinya berdiri di balkon istana yang runtuh. Seorang pria dalam baju perang berdarah menatapnya. Wajahnya… Raeyan?
“Lian Hua… aku gagal melindungimu… Tapi aku bersumpah, kita akan bertemu lagi dalam kehidupan berikutnya…”
Lián Ruò terbangun dengan teriakan. Tubuhnya menggigil. Di tangannya masih tergenggam hiasan rambut emas—berbentuk teratai.
Bab 5: Mata yang Mengingat Api
Kaisar Raeyan memanggil Lián Ruò ke taman dalam saat rembulan tergantung sempurna di langit. Ia duduk di bawah pohon plum tua yang daunnya berguguran seperti serpihan kenangan.
“Kenapa kau terlihat takut akhir-akhir ini?” tanyanya tanpa memandang. Suaranya pelan, tapi membawa tekanan.
Lián Ruò menunduk. “Hamba… tidak tahu, Yang Mulia. Ada mimpi-mimpi aneh. Wajah-wajah yang hamba tak pernah kenal, tapi terasa sangat dekat.”
Raeyan menoleh, menatap langsung ke mata gadis itu. “Apakah kau melihatku dalam mimpi-mimpimu?”
Hening sesaat. Detak jantung Lián Ruò terasa keras di telinganya sendiri.
“…Ya.”
Raeyan menghela napas pelan. Tangannya terulur, dan untuk pertama kalinya ia menyentuh pipi Lián Ruò. Lembut, tapi ada ketegangan di balik kelembutan itu. Seperti seseorang yang hampir mengingat sesuatu… tapi belum cukup dekat untuk menangkapnya.
“Mata ini,” bisik Raeyan, “dulu pernah menatapku saat langit terbakar.”
Lián Ruò membeku. Bibirnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar.
“Siapa kau sebenarnya?”
“Aku… aku tak tahu.”
Malam itu, sentuhan pertama mereka seperti membuka gerbang lain—lebih dalam, lebih gelap, dan lebih jujur.
Bab 6: Api di Balik Sutra
Hari-hari berlalu. Tapi mereka tak bisa lagi berpura-pura.
Suatu malam, saat badai mengguncang istana, Lián Ruò dikirim membawa teh ke kediaman pribadi Kaisar. Raeyan sedang sendirian, mengenakan jubah hitam longgar, rambutnya terurai lembut, wajahnya lelah namun menawan dalam cahaya lentera.
Saat ia mengambil cawan dari tangan Lián Ruò, jari mereka bersentuhan. Petir menyambar di kejauhan, dan keheningan di antara mereka lebih keras dari suara guntur.
Raeyan menarik Lián Ruò ke pelukannya.
“Aku tak bisa lagi menahan ini.”
Lián Ruò menggigil, tapi bukan karena takut. Tubuhnya tenggelam dalam kehangatan Raeyan, dalam keinginan yang tak bisa ia tolak.
Ciuman pertama mereka lambat, dalam, dan penuh rasa kehilangan seolah dua jiwa yang lama terpisah akhirnya bersatu kembali.
Dan malam itu, dalam ruangan yang diselimuti hujan dan lentera yang redup, mereka menyerahkan diri satu sama lain—bukan hanya tubuh, tapi jiwa. Lián Ruò menangis saat Raeyan membisikkan nama Lian Hua di telinganya, tanpa sadar.
Dan di dalam hatinya, sebuah suara tua berbisik:
“Kau telah kembali padanya, seperti janji yang tak pernah mati.”
Bab 7: Bayangan di Balik Tirai
Pagi berikutnya, istana mulai bergemuruh. Selir Mo Jing, wanita yang paling dekat dengan kekuasaan setelah kaisar, mendengar kabar tentang pelayan baru yang menghabiskan malam di kamar Kaisar.
Ia bukan wanita bodoh.
“Lian Ruò… ya?” gumamnya, menatap layar bambu yang menunjukkan siluet gadis itu. “Seindah namanya. Tapi apakah dia sekuat itu?”
Mo Jing mengirimkan mata-mata untuk menyelidiki asal-usul Lián Ruò. Dalam waktu singkat, ia menemukan petunjuk mengejutkan: potongan kain bersulam teratai emas, simbol keluarga kerajaan Xiang Yue yang dihancurkan belasan tahun lalu.
“Jadi… kau bukan pelayan biasa.”
Ia tersenyum. Tapi senyum itu dingin seperti pisau di tengkuk.
Bab 8: Perjamuan Berdarah
Musim gugur membawa perjamuan besar ke dalam Istana Longwei—hari peringatan kemenangan atas Xiang Yue belasan tahun lalu. Kaisar Raeyan duduk di singgasananya, mengenakan jubah naga hitam berbenang emas, terlihat agung… tapi jauh di balik matanya ada sesuatu yang gelisah.
Di sisinya, Selir Mo Jing tersenyum anggun, menyembunyikan racun di balik tatapannya.
Dan di barisan bawah, duduk sebagai pelayan pembawa anggur, Lián Ruò berdiri tenang—walau hatinya berdebar. Perjamuan ini membawa firasat buruk.
Seorang utusan asing berdiri untuk memberi penghormatan. Tapi Raeyan memperhatikan wajahnya—dan hatinya langsung waspada. Lelaki itu bukan utusan biasa.
Pangeran Ji Kang.
Pangeran dari wilayah sisa Xiang Yue yang kini menyamar, dan diam-diam membentuk aliansi untuk membalas dendam.
Dan saat mata Ji Kang menatap Lián Ruò dari kejauhan… ia terpaku.
“Putri…” bisiknya.
Raeyan melihat sorot mata itu—dan dalam sekejap, segalanya berubah. Api cemburu, perlindungan, dan ketakutan berkecamuk jadi satu.
Perjamuan yang seharusnya penuh anggur dan lagu, berubah jadi medan pertarungan batin.
“Bawa pelayan itu ke paviliunku malam ini,” kata Raeyan pada pengawalnya, tanpa berpaling dari Ji Kang. “Aku ingin bicara… sangat pribadi.”
Bab 9: Ranjang, Luka, dan Pengakuan
Malam itu, angin kencang mengguncang tirai-tirai sutra di Paviliun Giok.
Lián Ruò berdiri di depan Kaisar, tubuhnya masih gemetar karena kehadiran Ji Kang tadi siang. Ia tahu… laki-laki itu mengenalnya. Tapi mengapa?
Raeyan menatapnya dengan mata yang kini tak lagi lembut.
“Katakan… siapa kau sebenarnya?”
Lián Ruò hanya bisa menunduk. “Saya… tak tahu, Yang Mulia. Tapi… saya merasa kenal padanya. Seperti… saya pernah berada di sisinya.”
Raeyan berdiri, mendekat, menyentuh pipi Lián Ruò lalu menariknya ke pelukannya. Tapi bukan pelukan lembut kali ini—ini pelukan seseorang yang takut kehilangan.
“Jangan pernah memandang pria lain seperti kau memandangku,” bisiknya kasar, namun suaranya bergetar.
Lián Ruò menatapnya, mata mereka bertemu. Dan untuk pertama kalinya… ia membalas dengan berani.
“Lalu jangan kau perlakukan aku sebagai bayangan masa lalu, jika kau benar-benar mencintaiku.”
Dan malam itu, dalam pertempuran gairah dan rasa sakit, mereka mencintai satu sama lain dengan lebih dari sekadar tubuh—mereka bersatu dalam luka, kebingungan, dan janji yang belum sempat ditepati di kehidupan sebelumnya.
Bab 10: Identitas yang Terkoyak
Beberapa hari kemudian, pengawal Kaisar menemukan kotak tua di kamar Lián Ruò—kotak bersulam phoenix dan teratai.
Selir Mo Jing menggunakannya sebagai bukti.
“Dia bukan pelayan. Dia putri dari musuh kita,” katanya dengan senyum dingin, menyerahkan kotak itu pada Raeyan.
Istana pun bergemuruh.
Dan Raeyan… hanya menatap kotak itu dalam diam. Hatinya retak. Ia tahu, jauh dalam hatinya,
Bab 11: Hati Sang Kaisar yang Robek
Raeyan menatap kotak peninggalan itu—teratai emas dan phoenix terukir dengan sangat halus. Tangannya gemetar saat menyentuhnya, seolah benda itu hidup, menghidupkan kembali kenangan yang terkubur jauh dalam jiwanya.
Lián Ruò… Lian Hua…
Darah di nadinya mendidih. Antara pengkhianatan dan kenyataan bahwa… ia mencintai seorang putri dari kerajaan yang dihancurkan oleh kerajaannya sendiri.
“Yang Mulia,” kata Jenderal Han Wu pelan. “Jika dia benar keturunan Xiang Yue… dia harus—”
“Diam.”
Suara Kaisar seperti guntur yang teredam.
“Tak seorang pun menyentuh dia. Dia… milikku.”
Bab 12: Di Bawah Cahaya Giok
Malam itu, Lián Ruò dibawa diam-diam ke ruang pribadi Kaisar. Bukan sebagai pelayan. Tapi sebagai perempuan yang seluruh identitasnya kini dipertanyakan.
Ia berdiri di depan Raeyan yang membelakanginya. Lengan Kaisar itu menggenggam erat jendela giok. Bahunya tegang.
“Kenapa kau tak bilang dari awal?” tanya Raeyan, pelan.
“Aku tak tahu, Raeyan… Aku hanya punya mimpi, potongan-potongan yang tidak jelas. Aku tidak tahu siapa aku, sampai semuanya mulai kembali.”
Ia menoleh.
“Lalu siapa kau sekarang? Lián Ruò… atau Putri Lian Hua?”
Ia menangis. “Aku dua-duanya. Tapi aku tahu satu hal yang pasti…”
Dia maju perlahan, menggenggam tangan Kaisar.
“…aku mencintaimu. Bukan hanya karena masa lalu. Tapi karena aku telah jatuh cinta padamu di kehidupan ini juga.”
Raeyan menariknya ke dalam pelukan.
“Aku akan melindungimu… bahkan jika dunia mengutukku.”
Dan dalam cahaya hijau dari lampu giok, mereka saling mencinta lagi—dengan tubuh yang menyatu dan jiwa yang menolak dipisahkan. Tapi mereka tahu… badai belum selesai.
Bab 13: Kudeta dari Bayangan
Hujan turun deras malam itu. Tapi hujan tak mampu memadamkan darah yang akan tumpah di dalam istana.
Selir Mo Jing, dengan senyum yang tak lagi menipu, menyusupkan pasukan rahasia ke dalam paviliun-paviliun istana. Ia telah lama menyusun rencana. Bersama Pangeran Ji Kang, ia merancang kudeta yang akan menjatuhkan Kaisar—dan merebut kekuasaan bagi aliansi bayangan mereka.
“Bunuh Raeyan. Bawa gadis itu hidup-hidup,” bisik Mo Jing ke tangan kanannya. “Dia milikku. Dan aku ingin dia tahu… siapa yang menang.”
Sementara itu, Lián Ruò duduk sendirian di kamarnya, menulis sesuatu dengan tinta hitam di atas kertas tipis:
“Jika takdir memisahkan kita, aku ingin kau tahu… aku memilihmu. Bukan sebagai Kaisar. Tapi sebagai lelaki yang mencintaiku di dua kehidupan.”
Tiba-tiba, pintu terbuka. Pengawal pribadi Kaisar, Shen, berlari masuk.
“Putri! Mereka datang! Kudeta!”
Bab 14: Darah di Antara Dinding Istana
Api menyala di gerbang Paviliun Utama. Raeyan berdiri dengan jubah perangnya, rambut diikat tinggi, mata bersinar penuh amarah.
Mo Jing menampakkan diri di antara kabut dan kobaran api, mengenakan pakaian selir kebesaran, senyum puas di wajahnya.
“Semua akan tahu, Raeyan. Bahwa kau bukan dewa. Hanya lelaki yang lemah karena cinta.”
Raeyan menarik pedangnya. “Dan kau… hanya wanita yang kehilangan jiwanya karena rasa iri.”
Pertarungan meletus. Pengawal istana bertarung melawan pasukan bayangan. Darah mengalir di lantai batu giok. Lián Ruò berlari di lorong-lorong panjang, mencari Raeyan—tapi dihadang oleh Ji Kang.
“Putri… ikut aku. Aku bisa lindungi kau. Bersama, kita bisa bangkitkan Xiang Yue.”
Lián Ruò menatapnya. Mata Ji Kang penuh harapan… tapi hatinya milik orang lain.
“Aku telah memilih. Dan aku akan mati untuk pilihan itu.”
Ia menyerangnya dengan pisau kecil yang disembunyikan di sabuknya. Luka ringan, tapi cukup untuk meloloskan diri.
Bab 15: Dalam Pelukan Terakhir
Raeyan bertarung sendiri di pelataran utama. Tubuhnya berdarah, tapi ia tetap berdiri. Lalu, saat tubuhnya hampir roboh…
Lián Ruò muncul.
Ia berdiri di depan Kaisar, mengangkat tubuhnya yang lemah, menatap musuh-musuh mereka dengan mata penuh cahaya.
“Jika kalian menyentuhnya… kalian harus melewati aku.”
Mo Jing tertawa—tapi sebelum ia sempat mendekat, pasukan pendukung Kaisar dari barat masuk melalui Gerbang Giok. Mereka membalik keadaan.
Dalam waktu singkat, Mo Jing dan Ji Kang ditangkap. Kudeta gagal. Istana penuh luka, tapi tak roboh.
Raeyan memeluk Lián Ruò dalam diam. Tubuh mereka berlumur darah, tapi dada mereka berdetak dalam satu irama.
“Aku kira… aku akan kehilanganmu,” bisik Raeyan.
Lián Ruò tersenyum lemah. “Kau tak bisa. Kita sudah melewati kematian bersama… satu kali.”
Bab 16: Mahkota untuk Sang Teratai
Langit pagi begitu tenang, seakan alam pun tahu bahwa hari ini akan mengubah sejarah.
Raeyan duduk di atas Singgasana Naga, mengenakan jubah resmi Kaisar. Namun kali ini, di hadapannya, bukan para pejabat biasa—melainkan seluruh bangsawan tinggi dan jenderal utama kerajaan. Di sisi kirinya berdiri Lián Ruò, mengenakan pakaian formal istana berwarna putih gading dan sulaman teratai emas di bagian lengan.
Kecantikannya menundukkan banyak mata. Tapi yang paling gemetar justru adalah para pejabat tua… karena wajah dan simbol di pakaiannya adalah pantulan dari Putri Lian Hua, yang dulu mereka kira telah mati.
Raeyan berdiri.
“Dengarkan baik-baik,” katanya dengan suara bulat. “Gadis ini, yang kalian kenal sebagai pelayan biasa, adalah Putri dari Kerajaan Xiang Yue—Putri Lian Hua. Dan mulai hari ini…”
Lián Ruò menahan napas.
“…ia adalah Permaisuri Langit, istri sah Kaisar Longwei, dan satu-satunya wanita yang berdiri di sisiku.”
Ruangan terdiam. Beberapa pejabat langsung membungkuk, beberapa saling pandang, dan yang lain—terutama para bangsawan konservatif—tampak marah dan ketakutan.
“Yang Mulia, dengan segala hormat… dia adalah keturunan musuh kerajaan!”
Raeyan menatap tajam.
“Musuh terbesar adalah mereka yang menolak cinta dan menolak takdir. Aku lebih memilih menghancurkan tradisi daripada kehilangan wanita yang kucintai.”
Bab 17: Jiwa yang Kembali ke Singgasana
Hari penobatan Lián Ruò sebagai Permaisuri menjadi hari paling penuh makna dalam sejarah Longwei.
Ia mengenakan gaun phoenix merah keemasan, rambutnya disanggul tinggi dengan tusuk giok warisan Permaisuri terdahulu. Tapi yang paling istimewa adalah mahkota giok putih dengan bunga teratai di puncaknya—simbol bahwa jiwa dari kerajaan lama kini bersatu dengan kerajaan baru.
Saat Raeyan menyematkan mahkota itu di kepalanya, ia berbisik:
“Aku gagal melindungimu di kehidupan dulu… Tapi kali ini, aku akan menjagamu sampai dunia ini tiada.”
Lián Ruò menatapnya, air mata jatuh perlahan.
“Aku tak ingin menjadi permaisuri karena takdir… Tapi karena aku mencintaimu sebagai laki-laki yang memilih hatiku… meski dunia menentangnya.”
Mereka berciuman di depan seluruh istana. Panjang, dalam, dan penuh kemenangan.
Dan kali ini… tidak ada yang bisa memisahkan mereka lagi.
Bab 18: Dua Jiwa, Satu Negeri
Beberapa bulan setelah penobatan, kerajaan Longwei berubah. Bukan karena perang atau paksaan… tapi karena cinta yang membawa damai.
Lián Ruò—sekarang Permaisuri Lian Hua—menggunakan pengaruhnya untuk membentuk Perjanjian Teratai, perjanjian perdamaian antara Longwei dan wilayah sisa Xiang Yue. Di bawah bimbingannya, anak-anak dari dua darah yang dulu bermusuhan kini duduk bersama di ruang belajar istana, mengenakan jubah yang sama, menyebut satu tanah air yang sama.
Jenderal Han Wu, yang dulunya membunuh keluarganya, datang sendiri ke hadapan sang Permaisuri dan bersujud, menyerahkan pedangnya sebagai tanda penyesalan. Lián Ruò memaafkannya.
“Karena dendam hanya akan menghidupkan kembali perang… dan aku sudah memilih cinta.”
Bab 19: Dalam Pelukan Musim Semi
Di taman istana, bunga plum dan teratai mekar bersamaan.
Raeyan duduk di paviliun batu, membaca dokumen kerajaan, sementara Lián Ruò mendekatinya dengan hati-hati… membawa kabar.
“Aku… mengandung,” katanya, suara nyaris berbisik.
Raeyan menjatuhkan dokumennya.
“Kau… serius?”
Ia memeluknya erat, lama sekali, mencium ubun-ubunnya berkali-kali. Tak ada yang bisa menandingi damainya pelukan itu—pelukan seorang pria yang akhirnya mendapatkan semua yang dulu hilang darinya.
Epilog: Gerbang Giok yang Terbuka
Beberapa tahun kemudian…
Di bawah langit musim gugur yang cerah, seorang anak laki-laki berlari melintasi Gerbang Giok, tertawa lepas. Ia mengenakan jubah kecil berwarna emas, dengan sulaman naga dan teratai.
Di belakangnya, Raeyan dan Lián Ruò berjalan perlahan, menggenggam tangan satu sama lain.
“Kau tahu?” ujar Raeyan pelan. “Dulu aku takut gerbang ini… adalah pintu ke kehancuran. Tapi kini, ia adalah pintu ke hidup baru.”
Lián Ruò tersenyum.
“Karena takdir tak hanya membawa kita kembali… tapi memberi kita kesempatan untuk memperbaiki segalanya.”
Mereka berdiri sejenak di depan gerbang, lalu melangkah melewatinya—bersama, sebagai Kaisar dan Permaisuri… sebagai suami dan istri… sebagai dua jiwa yang akhirnya menemukan rumah.
TAMAT