Hari itu hari Selasa, dan Aruna datang lebih pagi dari biasanya. Sebagai petugas piket, ia memiliki tanggung jawab menyiram bunga di depan kelas. Untuk mengambil air, ia harus menggunakan ember kecil yang biasa disimpan di rumah guru di ujung sekolah. Rumah itu dihuni dua guru: wali kelasnya, Pak Seno, dan satu lagi—Bu Ratna, guru PKN kelas 3 yang terkenal galak. Waktu itu hanya Bu Ratna yang ada di rumah tersebut.
Karena takut bertemu langsung, Aruna mengajak temannya, Meira, yang juga sudah tiba di sekolah walaupun bukan petugas piket. Mereka berjalan pelan menuju rumah kecil itu. Saat mereka baru saja sampai di depan pintu, Bu Ratna muncul secara tiba-tiba dan menyuruh mereka menaruh tasnya di ruang kelas 9-2.
Aruna dan Meira saling pandang kebingungan. Mereka tahu hari ini pelajaran pertama adalah IPA, bukan PKN. Tapi mungkin Bu Ratna hanya salah sebut. Mereka memutuskan mengecek kelas mana yang punya jadwal PKN pagi ini dan menemukannya—kelas 9-6, tepat di belakang kelas mereka. Dengan hati-hati, mereka menaruh tas Bu Ratna di meja guru di kelas itu, lalu kembali mengambil ember kecil dan mulai menyiram bunga.
Bel masuk berbunyi. Semua siswa segera masuk ke kelas masing-masing, tapi Aruna tetap di luar karena tugasnya belum selesai. Ia ingin menyelesaikan semuanya sebelum pelajaran dimulai.
Di dalam kelas, suasana hampir tenang ketika Bu Ratna datang dan berdiri di depan pintu. Matanya menyapu seluruh ruangan.
“Di mana Aruna?” tanyanya tajam.
“Di luar, Bu. Lagi nyiram bunga,” jawab teman-temannya serempak.
Mendengar itu, Bu Ratna menoleh ke arah luar kelas.
“Aruna tas saya di mana?” tanyanya dengan suara yang mulai meninggi.
Aruna berdiri gugup, berusaha tersenyum agar tidak terlihat panik. “Tas Ibu ada di kelas 9-6, Bu. Karena tadi Ibu menyuruh kami menaruhnya di ruang kelas 9-2, tapi yang belajar PKN pagi ini kelas 9-6, jadi kami pikir—”
“Iya, sekarang tas saya di mana?” potong Bu Ratna, dengan intonasi yang sama. Seolah tak mendengar penjelasan Aruna.
Aruna mengulang jawabannya, lagi dan lagi, tapi Bu Ratna tak kunjung menerima. Semua siswa di kelas mulai diam, mata-mata dari luar jendela ikut memperhatikan, termasuk beberapa guru di depan ruang guru. Namun tak satu pun dari mereka bergerak atau bicara.
Aruna merasa seluruh dunia menontonnya, menunggunya jatuh. Ia menggigit bibir, menahan perasaan yang mulai sesak di dadanya, lalu berlari menuju kelas 9-6. Di sana, ia mengambil tas itu.
Namun saat kembali ke kelas, beberapa siswa dari kelas lain menghadangnya.
“Eh, tas itu mau dibawa ke mana?” tanya salah satu dari mereka.
Aruna diam. Ia tahu kalau ia bicara, suaranya akan bergetar dan air matanya akan tumpah. Tapi diam pun tidak akan membantunya melewati kerumunan.
“Mau dikasih ke Bu Guru,” jawabnya akhirnya, suara lirih menahan tangis.
Ia menerobos mereka, menghindari tatapan mata, dan menyerahkan tas itu ke Bu Ratna. Tanpa sepatah kata pun, ia lalu masuk ke kelas, duduk di kursinya, dan menangis.
Bukan karena dimarahi.
Tapi karena merasa tak ada satu pun yang benar-benar mendengar.