Aku tidak tahu bagaimana rasanya menjadi orang yang beruntung. Sejak kecil, hidupku seperti permainan dadu yang selalu jatuh di angka terendah.
Ibuku sering berkata bahwa aku lahir tanpa keberuntungan. Bukan karena ia tidak menyayangiku, tapi karena ia sendiri sudah lelah melihatku terus-menerus tersandung dalam kehidupan. Ayahku pergi bahkan sebelum aku sempat mengenalnya. Kata Ibu, dia pria brengsek yang lebih mencintai botol minuman dan meja judi daripada keluarganya.
Aku tumbuh dengan perasaan setengah kosong.
Di sekolah, aku bukan siapa-siapa. Aku tidak pernah menjadi gadis yang dikerubungi teman atau yang namanya sering disebut dengan penuh kekaguman. Aku punya beberapa teman, tapi tidak pernah benar-benar merasa punya tempat. Mereka mengajakku saat butuh, tapi melupakan aku ketika tak perlu.
Cinta pun tak lebih baik. Aku pernah menyukai seseorang, bahkan sangat menyukainya, hingga aku berani berharap. Tapi, seperti yang sudah kuduga, harapan itu berakhir dengan luka. Ia mencintai gadis lain, seseorang yang lebih cantik, lebih menyenangkan, lebih segalanya dibanding aku.
Aku bertanya-tanya, apakah aku terlalu biasa? Atau memang takdir telah menuliskan bahwa aku tidak akan pernah cukup bagi siapa pun?
Di rumah, ekonomi menjadi momok lain dalam hidupku. Ibu bekerja dari pagi hingga malam, hanya untuk memastikan kami bisa bertahan. Aku terbiasa menahan lapar dan berpura-pura kenyang. Aku terbiasa melihat teman-temanku berbicara tentang hal-hal yang tak bisa kubeli.
Aku lelah. Lelah bertanya pada dunia, kapan kebahagiaan akan berpihak padaku?
Malam itu, aku duduk di tepi jendela, memandangi langit yang gelap tanpa bintang. Seperti hidupku, kosong dan pekat. Tapi tiba-tiba, aku melihat satu cahaya kecil berkedip di kejauhan.
Mungkin itu jawaban semesta bahwa meski gelap, selalu ada secercah cahaya. Sekecil apa pun, ia ada.
Aku menarik napas panjang. Mungkin aku tidak bisa mengubah takdir dalam semalam. Mungkin aku harus merangkak lebih jauh, lebih lama. Tapi mungkin, hanya mungkin, hidup tidak akan selamanya seburuk ini.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku memejamkan mata dengan sedikit harapan.
Karena meski keberuntungan tak pernah berpihak, aku masih punya satu hal yaitu kemungkinan.