Bel tanda istirahat berbunyi nyaring, memecah keheningan kelas 11 IPA 3. Danu, seorang siswa yang lebih senang duduk di pojok bangku belakang, memilih tetap tinggal di kursinya. Teman-temannya sudah berhamburan keluar, entah ke kantin atau sekadar mengobrol di koridor. Tapi bagi Danu, istirahat adalah momen untuk menikmati ketenangan, jauh dari hiruk-pikuk.
Sambil mengeluarkan novel yang sudah lama ingin ia selesaikan, ia mendengar suara langkah mendekat. Ketika ia mendongak, di sana berdiri seorang gadis dengan rambut dikuncir kuda, membawa buku catatan tebal di tangannya. Dia adalah Rani, siswa teladan yang sering jadi perhatian guru karena kecerdasannya.
"Danu, kamu nggak keberatan kalau aku duduk di sini sebentar?" tanya Rani sambil tersenyum tipis.
Danu mengangguk, sedikit bingung. "Silakan aja."
Rani duduk di kursi sebelah, meletakkan buku catatannya di meja. "Aku lihat kamu jarang keluar saat istirahat. Lagi baca apa?" tanyanya, matanya melirik novel di tangan Danu.
"Oh, ini... cuma novel biasa," jawab Danu, menutupi sampulnya.
Rani terkekeh. "Kamu suka baca novel? Aku pikir kamu lebih suka main futsal seperti anak-anak lain di kelas."
Danu mengangkat bahu. "Basket nggak terlalu menarik buatku. Lagi pula, di sini lebih tenang."
Obrolan itu menjadi awal dari interaksi yang tak biasa antara Danu dan Rani. Sebelumnya, mereka hanya saling mengenal sebatas nama, tanpa pernah benar-benar berbicara. Tapi hari itu, Rani tampak nyaman duduk di sebelah Danu, bahkan mengeluarkan soal matematika dan mulai mengerjakannya di sana.
"Kamu mau aku bantuin?" tawar Danu setelah beberapa saat memperhatikan.
Rani menoleh, sedikit terkejut. "Kamu bisa matematika?"
"Yah, lumayan. Soal kayak gitu sih nggak terlalu sulit," jawab Danu santai.
Rani menyerahkan bukunya, dan Danu mulai menjelaskan cara penyelesaian soal tersebut. Rani mendengarkan dengan saksama, kadang mengangguk atau menambahkan pertanyaan.
"Sepertinya aku salah menilai kamu, Danu," kata Rani setelah selesai.
"Maksudnya?"
"Selama ini aku pikir kamu anak yang pendiam dan nggak peduli sama pelajaran. Ternyata kamu jago juga."
Danu hanya tersenyum tipis, tak tahu harus merespons apa.
Sejak hari itu, Danu dan Rani mulai sering berbicara, terutama saat istirahat. Rani yang biasanya dikelilingi teman-teman rajinnya, kini lebih sering terlihat duduk di bangku belakang bersama Danu. Banyak siswa lain mulai memperhatikan, bahkan beberapa teman Danu menggoda mereka.
"Dan, seriusan nih? Cewek paling pintar di kelas kita malah deket sama kamu? Hebat juga!" ledek Arya, teman sebangku Danu.
Danu hanya menggeleng sambil tersenyum. "Dia cuma butuh bantuan soal, kok."
Tapi, jauh di lubuk hatinya, Danu tahu bahwa interaksi mereka lebih dari sekadar membantu soal. Setiap obrolan kecil, senyuman Rani, dan caranya mendengarkan membuat Danu merasakan sesuatu yang berbeda. Dia mulai menunggu waktu istirahat, bukan untuk membaca atau menikmati ketenangan, tapi untuk bertemu Rani.
Suatu hari, ketika istirahat hampir usai, Rani tiba-tiba berkata, "Danu, kamu tahu nggak, duduk di sini itu bikin aku lebih rileks. Rasanya nyaman aja."
Danu terkejut, tapi berusaha tetap tenang. "Serius? Bukannya kamu lebih suka sama teman-teman di depan?"
Rani menggeleng. "Mereka baik, tapi kadang obrolannya terlalu serius. Sama kamu, aku bisa jadi diri sendiri."
Kata-kata itu membuat hati Danu bergetar. Ia ingin mengatakan hal yang sama, tapi keberanian itu belum ia temukan.
***
Waktu berjalan, kedekatan mereka semakin nyata. Rani mulai membawa bekal lebih untuk dibagikan kepada Danu, sementara Danu sesekali menunggu Rani di depan kelas untuk masuk bersama. Namun, seperti halnya hubungan yang tak diungkapkan, selalu ada keraguan yang mengintai.
"Ran," kata Danu suatu sore setelah jam pelajaran berakhir. Mereka duduk di bangku taman sekolah, menunggu jemputan.
"Ya?"
"Kamu nggak pernah ngerasa risih karena sering ngobrol sama aku? Maksudku, aku kan bukan siapa-siapa di kelas. Aku nggak pinter, nggak populer, dan..."
"Dan kamu adalah orang yang bikin aku tertawa di tengah kesibukan," potong Rani, menatap Danu serius. "Danu, aku nggak peduli apa kata orang. Aku nyaman sama kamu, itu aja."
Danu terdiam. Kata-kata Rani membuatnya yakin bahwa perasaan ini bukan hanya angan-angan. Tapi ia juga tahu bahwa hubungan mereka tak akan semudah itu.
***
Kedekatan mereka akhirnya menjadi topik pembicaraan di kelas. Beberapa teman mulai bergosip, ada yang mendukung, tapi tak sedikit pula yang meremehkan.
"Rani sama Danu? Nggak cocok banget, deh. Rani kan pintar, masa mau sama dia?" komentar salah satu teman perempuan.
Rani mendengar komentar itu, tapi ia hanya tersenyum kecil. Danu, di sisi lain, merasa tidak nyaman. Ia mulai menghindari Rani, berusaha menjaga jarak demi menghindari pembicaraan yang lebih parah.
"Kenapa kamu menjauh, Danu?" tanya Rani suatu hari.
Danu menghela napas. "Aku nggak mau kamu kena gosip gara-gara aku. Kamu nggak pantas dibilangin macam-macam."
"Tapi aku nggak peduli, Dan. Aku lebih peduli sama kita."
Kata-kata Rani seharusnya membuat Danu merasa lega, tapi justru semakin membebaninya. Ia merasa tak cukup baik untuk Rani, seseorang yang punya masa depan cerah.
***
Hubungan mereka merenggang selama beberapa minggu. Rani mencoba mengajak Danu berbicara, tapi Danu selalu menghindar. Hingga akhirnya, Rani memutuskan untuk menulis sebuah surat.
"Danu," kata Rani suatu pagi sebelum pelajaran dimulai. Ia menyerahkan secarik kertas. "Kalau kamu masih peduli, bacalah."
Danu menerima surat itu, tapi tak langsung membacanya. Baru saat ia sendirian di perpustakaan, ia membuka kertas itu.
"Danu,
Aku tahu kamu merasa nggak pantas ada di sisiku, tapi bagiku, kamu adalah orang yang membuat hari-hariku lebih berarti. Aku nggak butuh seseorang yang sempurna, aku hanya butuh seseorang yang mau berjuang bersama.
Kalau kamu benar-benar peduli, tolong jangan menjauh. Aku ingin kita bicara, bukan saling diam seperti ini."
Surat itu membuat hati Danu tersentuh. Ia sadar, rasa takutnya hanya membuat mereka semakin jauh.
Sore harinya, Danu menunggu Rani di taman sekolah. Ketika Rani muncul, Danu berdiri dan berkata, "Maaf, Ran. Aku bodoh karena mencoba menjauh. Aku cuma takut nggak bisa jadi seperti yang kamu harapkan."
Rani tersenyum, matanya sedikit berkaca-kaca. "Kamu nggak perlu jadi apa-apa, Dan. Aku suka kamu apa adanya."
Sejak saat itu, Danu dan Rani memutuskan untuk tak peduli pada apa kata orang. Mereka tahu bahwa hubungan mereka mungkin tak sempurna, tapi mereka percaya pada satu hal, kenyamanan dan kepercayaan yang mereka bangun adalah sesuatu yang tak bisa digantikan.
Danu dan Rani memutuskan untuk menghadapi semuanya bersama. Mereka tak lagi memedulikan gosip atau pandangan miring dari teman-teman. Kedekatan mereka menjadi hal biasa di kelas, meskipun beberapa siswa masih sesekali membicarakan mereka di belakang.
Namun, perjalanan itu tak selalu mulus. Suatu hari, Rani mendapati namanya terpampang di papan pengumuman. Ia terpilih sebagai salah satu peserta Olimpiade Sains Nasional mewakili sekolah. Pengumuman itu disambut dengan tepuk tangan dan pujian dari teman-teman sekelas.
"Selamat ya, Ran! Kamu memang hebat!" kata salah satu temannya.
Rani tersenyum, tapi matanya melirik Danu yang hanya tersenyum tipis dari bangkunya. Dia tahu, ini adalah sesuatu yang membuat Danu merasa semakin jauh darinya.
"Kamu nggak senang aku ikut olimpiade?" tanya Rani pada Danu saat mereka berbincang di taman setelah sekolah.
"Bukan nggak senang, Ran," jawab Danu pelan. "Aku bangga sama kamu, sungguh. Cuma… aku kadang mikir, aku ini siapa sih di hidup kamu? Aku nggak punya prestasi, nggak bisa membanggakan kamu."
Rani menghela napas, lalu menatap Danu dengan serius. "Danu, aku nggak pernah peduli soal prestasi. Kamu ada di sini aja udah cukup buat aku. Kamu tahu, kadang aku juga lelah dengan semua ini. Tapi kamu yang bikin aku semangat. Jadi, jangan pernah mikir kamu nggak berarti buatku."
Ucapan Rani itu menenangkan hati Danu. Ia sadar, dukungannya adalah hal yang dibutuhkan Rani, bukan rasa minder yang terus mengganggu pikirannya.
***
Waktu berjalan cepat, dan perlombaan olimpiade semakin dekat. Rani sibuk belajar hingga sering pulang larut dari sekolah. Danu tak lagi sering bertemu dengannya, tapi ia selalu berusaha mengirim pesan singkat untuk menyemangati Rani.
"Semangat ya, Ran. Jangan lupa makan," tulis Danu di salah satu pesannya.
Rani selalu membalas dengan singkat tapi manis, "Terima kasih, Dan. Doain aku ya."
Hari perlombaan pun tiba. Rani berangkat dengan penuh semangat, diiringi doa dari teman-temannya, guru, dan tentu saja Danu. Ia menyelesaikan lomba dengan baik, dan seminggu kemudian, hasilnya diumumkan. Rani berhasil meraih juara pertama.
Perayaan kecil diadakan di sekolah, dan Rani menjadi pusat perhatian. Namun, di tengah sorak-sorai itu, ia justru mencari seseorang yang penting baginya. Ia menemukan Danu di pojok taman sekolah, duduk sendirian seperti biasa.
"Kamu nggak ikut ke aula? Semua orang ngerayain kemenangan aku," tanya Rani sambil mendekat.
Danu mengangkat bahu. "Aku pikir, kamu udah sibuk sama mereka."
Rani duduk di sebelahnya. "Dan, aku memang juara. Tapi aku nggak akan sampai di sini tanpa kamu. Aku nggak mau semua ini bikin kita jauh. Kamu adalah bagian dari perjalanan ini, tahu?"
Danu terdiam, lalu tersenyum. "Aku cuma nggak mau ngerepotin kamu, Ran."
"Kamu nggak pernah ngerepotin aku, Dan. Kamu adalah alasan aku terus maju. Jadi, berhenti ngerasa nggak pantas, ya."
Danu mengangguk. Hatinya lega mendengar kata-kata itu.
***
Hari-hari berlalu, dan hubungan Danu dan Rani semakin kuat. Mereka saling mendukung dalam segala hal, meski dengan cara mereka yang sederhana.
Ketika kelulusan tiba, Danu memberikan Rani sebuah buku catatan dengan tulisan tangan yang rapi di halaman pertama.
"Rani, terima kasih sudah menjadi cahaya di bangku belakang. Aku tahu masa depan kita mungkin akan membawa kita ke tempat yang berbeda, tapi aku yakin kenangan ini akan selalu ada. Jangan lupa aku, ya. Semoga kita bisa sama-sama terus!"
Rani tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Aku nggak akan lupa, Dan. Kamu juga sudah menjadi bagian hidupku. Apapun masalah yang kita hadapi nanti, jangan ada kata pisah ya. Aku sudah jadi milikmu seutuhnya."
Mereka kemudian saling berjabat tangan, lalu tertawa bersama.
Meski mereka tahu bahwa kehidupan akan membawa mereka ke jalan yang berbeda, kenangan indah di sekolah, obrolan di bangku belakang, dan cinta yang tumbuh perlahan akan selalu menjadi bagian dari diri mereka.
Karena cinta yang sederhana namun tulus adalah yang paling sulit dilupakan.