Senja datang lagi untuk sekian kalinya. Terlukis indah di atas langit-langit, memancar cahaya jingga yang memukau. Senja mampu memanjakan mata yang melihatnya, siapa pun akan terkagum-kagum.
Sebagian orang sangat menyukai senja, bahkan tak jarang orang akan mengabadikannya dengan memotret atau membuat kenangan manis di bawah langit senja.
Seorang gadis cantik yang memiliki rambut sebahu sedang menikmati keindahan senja. Sesekali gadis itu menyeruput minuman yang ada di atas meja cafe.
Baginya, senja itu indah, namun juga menyakitkan. Setiap senja datang, kenangan bersama 'dia' akan masuk lewat sela-sela ingatan. Kenangannya manis, namun pahit saat dikenang.
Di bawah langit senja, mereka pertama kali bertemu dan di bawah langit senja juga menjadi pertemuan terakhir mereka. Setiap mengenang hal itu, ada rasa sakit dan perih di hatinya, rasa rindu yang semakin hari semakin menguat.
Langit senja sudah digantikan dengan langit malam. Sekilas gadis bernama Jahra itu melirik arloji yang menempel di pergelangan tangan, kemudian pergi dari Kafe yang beberapa waktu lalu ia gunakan untuk meminum secangkir coffe sembari menikmati senja, juga mengenangnya.
—————🌇🌇🌇—————
Setiap satu tahun sekali Universitas Airlangga akan mengadakan sebuah pentas seni besar-besaran. Banyak lukisan dan karya seni lainnya yang digantung di langit-langit menggunakan tali rapia. Selain itu, biasanya anggota OSIS akan memilih salah satu band dalam negeri yang sedang naik daun untuk ikut meramaikan suasana.
Pentas seni tahun ini lebih ramai dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Band yang diundang sangat terkenal di kalangan para remaja beberapa bulan terakhir ini. Hampir semua mahasiswa maupun mahasiswi tergila-gila pada band bernamakan SENJA ini. Salah satunya adalah Fara, teman dekatnya Jahra.
Berbeda dengan Fara yang tergila-gila, Jahra malah tidak tau menahu.
Se-introvert itulah Jahra.
Pada acara seperti ini, biasanya Jahra memilih menjauh dari kerumunan. Namun, kali ini ia berada di kerumunan karena paksaan dari Fara.
"Far, gue ke sana aja, ya?" mohon Jahra.
"Jangan! Lo disini aja temenin gue. Sesekali nonton konser nggak ada salahnya."
Jahra menghela napas untuk kesekian kalinya. Ia ingin menolak, namun tak enak hati.
Tiba-tiba alunan musik mengalun merdu di udara memanjakan telinga banyak orang. Orang-orang semakin heboh. Fara yang tadi ada di sampingnya pun kini hilang entah ke mana.
Di mana pun Fara, Jahra tak peduli. Karena Fara hilang entah kemana, Jahra memutuskan untuk berbalik menjauh dari kerumunan, mencari tempat yang menurutnya tenang dan damai.
"Andai aku bisa memutar waktu" (LAGU)
Jantung Jahra bagai dihantam beban berat mendengar seseorang bernyanyi.
Suara itu ....
Suara yang sangat Jahra kenal.
Suara yang selalu berkutat di mimpi malamnya.
Suara yang diam-diam dirindukannya.
Meski sudah bertahun-tahun lamanya, meski tak pernah ia dengar lagi. Suara itu mampu menghentikan seluruh sel dalam diri Jahra.
Di tengah bisingnya suara yang mengelu-elukan nama SENJA, tubuh Jahra bergetar hebat.
Sesak dan perih menjalar. Layaknya bom waktu, kini perasaan tak karuan di hati Jahra hampir meledak.
"Bukan dia ... bukan dia ...." Gadis itu menggeleng-geleng. Air mata meluncur melewati pipi mulusnya. Sekeras mungkin ia menstabilkan emosi. "Harus dipastikan, harus dipastikan!"
Jahra melangkahkan kakinya. Ia harus memastikan sendiri dengan matanya. Memastikan bahwa, itu bukan 'dia' yang dikenalnya.
"Aku tak ingin mengenalmu" (LAGU)
"Mengapa ada pertemuan itu" (LAGU)
"Yang membuat aku mencintaimu" (LAGU)
Jahra menerobos masuk. Dengan harapan suara itu hanyalah ilusi karena Jahra yang terlalu merindu.
"Bagaimana kalau aku tidak baik-baik saja" (LAGU)
"Terus mengingatmu" (LAGU)
"Memikirkanmu" (LAGU)
"Semua tentang dirimu" (LAGU)
"Bagaimana kalau aku tidak baik-baik saja" (LAGU)
"Tak seperti kamu" (LAGU)
"Yang mampu tanpaku" (LAGU)
Lutut Jahra melemas tatkala matanya menemukan sosok yang selama ini dirindu berada di atas panggung.
Dia sedang bernyanyi.
Sama seperti saat mereka masih bersama.
"Ara, jangan pernah pergi, ya? Aku nggak yakin akan baik-baik saja, kalau kamu ninggalin aku."
Suara dan kata-kata Arsen beberapa tahun yang lalu terngiang-ngiang di kepalanya.
"Kamu mau ke mana? Aku ikut! Aku nggak mau jauh dari kamu."
"Ara, i love you. Aku cinta kamu."
"Ara! Kita berangkatnya bareng, ya? Aku mau sama kamu terus."
"Ara! Aku denger ada yang ngajak kamu pacaran, ya? Jangan mau! Ara cuma milik Arsen, bukan yang lain!"
"Ara!"
"Araa!!"
"Araaaaa!!!!"
Jahra menutup telinganya kencang, sangat berharap suara dan panggilan khusus itu segera enyah dari ingatannya.
Jahra tak pernah lupa semua yang dilakukan Arsen. Setiap detik, setiap menit, semuanya terasa begitu berharga saat bersama Arsen.
Namun, semuanya sudah berakhir.
Arsen dan Jahra tak lagi bersama. Lebih tepatnya tak boleh bersama lagi.
"Mungkin kini kau bersama yang lain" (LAGU)
"Walau hatimu untukku" (LAGU)
"Adakah kesempatan untuk cintaku" (LAGU)
"Bahagia walau kita berbeda" (LAGU)
"Mungkin kamu bukan untukku" (LAGU)
"Tapi kau selalu di hatiku" (LAGU)
Untuk siapa lagu itu dinyanyikan?
Jahra ingin tahu, namun juga terlalu takut untuk mengetahuinya.
Seandainya lagu itu dinyanyikan untuk Jahra, gadis itu tak yakin sanggup menahan rindu lagi.
Ia takut tanpa sadar memeluk Arsen karena tak mampu mengontrol rasa.
"Bagaimana kalau aku tidak baik-baik saja" (LAGU)
"Terus mengingatmu" (LAGU)
"Memikirkanmu" (LAGU)
"Semua tentang dirimu" (LAGU)
"Bagaimana kalau aku tidak baik-baik saja" (LAGU)
"Tak seperti kamu" (LAGU)
"Yang mampu tanpaku" (LAGU)
(NOTE : LAGU YANG DINYANYIKAN BERJUDUL "BAGAIMANA KALAU AKU TIDAK BAIK-BAIK SAJA" YANG DINYANYIKAN OLEH "JUDIKA". SILAKAN SEARCH DI YOUTUBE OR SPORTIFY KALAU PENASARAN)
—————🌇🌇🌇—————
"Lo mau nyari cewek itu lagi?"
Arsen menghentikan aktivitasnya melepas jaket hitam miliknya. Lalu, cowok itu menoleh, menatap orang yang baru saja bertanya padanya.
"Iya," jawabnya.
"Nggak capek? Udah empat tahun lo nyari dia, dia aja belum tentu mikirin lo," ujar Lano.
Arsen menatap tajam cowok itu, membuatnya mendadak kicep.
"Tapi, gue setuju sama Lano. Lo mau cari dia sampe kapan? Lo tuh punya banyak fans. Tinggal tunjuk aja yang mana, mereka pasti dengan senang hati menerima cinta lo." Kali ini Riki yang bersuara.
Jujur saja Arsen tersiksa dengan rasa ini. Namun sungguh, rindunya melebihi rasa sakitnya, memaksanya untuk mencari keberadaan sang gadis.
Setidaknya, biarkan Arsen mengetahui alasan gadis itu pergi.
Itu saja.
"Gue nggak bisa berhenti cari dia," jujur Arsen. "Apalagi dia pergi tanpa ngabarin gue sama sekali."
—————🌇🌇🌇—————
"Kamu yakin nggak mau menjalankan operasi?"
Sebuah pertanyaan terlontar, mengalihkan atensinya yang semula memperhatikan kertas di tangan.
Gadis itu menggeleng seraya menampilkan senyumnya.
Ia kembali menunduk, menatap kertas berisi informasi mengenai riwayat penyakitnya.
Kanker stadium akhir
Tulisan itu tercetak jelas dengan tinta berwarna hitam beserta informasi tambahan lainnya.
Di sana tertera umur Jahra yang diperkirakan tinggal 3-4 bulan lagi.
Jahra sudah melakukan banyak upaya penyembuhan, namun kanker itu tetap sulit dihadapi. Kemoterapi yang akhir-akhir ini dijalani pun rasanya sia-sia.
Rambutnya sudah banyak yang rontok. Mungkin suatu saat nanti, Jahra harus memakai rambut palsu untuk menutupi kepalanya.
"Kamu yakin dengan keputusanmu?" tanya Dokter Vani lagi. "Masih ada kesempatan untuk hidup jika kamu mau menjalani operasi ini. Itu lebih baik daripada menunggu kematian yang akan datang."
Kemoterapi hanya dapat memperlambat penyebaran kanker. Namun, suatu saat nanti kanker itu tetap menyebar dan mengambil nyawa Jahra. Sementara operasi bertujuan mengangkat penyebab kanker. Jika berhasil, maka Jahra akan sembuh sepenuhnya.
"Seenggaknya kamu harus berjuang demi hidupmu. Operasi ini memiliki kemungkinan untuk hidup."
"Berapa persen?"
Dokter Vani mendadak diam. Terjadi keheningan selama beberapa saat di antara keduanya.
"Sepuluh persen," ujar Dokter Vani pelan.
"Apa aku bisa hidup jika kemungkinan menjalankan operasi ini hanya sepuluh persen?" tanya Jahra. Lalu, gadis itu menggelengkan kepala. "Jawabannya adalah tidak."
"Tapi, Jahra, kamu harus mencobanya. Mungkin saja dengan itu kamu bisa hidup."
Jahra tahu, Vani tak bermaksud buruk padanya. Wanita yang mendapat gelar Dokter itu hanya ingin pasiennya berjuang daripada menunggu kematian.
Namun, Jahra lebih suka menunggu kematian menjemput daripada mati detik ini juga.
Jahra masih ingin melihat Arsen lagi lewat foto dan video yang pernah mereka berdua buat. Walaupun sebenarnya Arsen ada di kota yang sama, namun Jahra tidak boleh muncul di hadapannya sebesar apa pun kerinduan yang dimiliki.
Jahra harus menjaga jarak dari pria yang dicintainya.
"Aku tidak mau. Tolong jangan paksa aku lagi, Dokter Vani."
Pada akhirnya Vani menerima keputusan Jahra. Tugasnya hanya membujuk, bukan memaksa Jahra. Saat bujukannya gagal bahkan diminta agar tak kembali membujuk, maka Vani akan berusaha menerimanya.
—————🌇🌇🌇—————
Langit siang di hari Sabtu ini cukup menyengat. Seolah mentari sedang berbahagia dan membagikan perasaannya pada dunia.
Jahra mengangkat sebelah tangannya, menghalau sinar matahari yang membakar kulit. Panasnya cuaca membuat tubuhnya semakin melemah, namun ia paksakan diri berjalan mencari Taxi.
Mata Jahra menatap sepasang sepatu hitam di depannya. Ia mendongakkan kepala.
Tubuhnya menegang seketika. Raut terkejut nampak jelas di wajah Jahra. Begitupula seorang cowok yang ada di hadapannya. Mata mereka saling beradu untuk sesaat sebelum akhirnya Jahra tersadar, lalu berlari menjauh dari cowok itu.
Arsen dengan cepat berlari mengejar Jahra. Dia terbelalak tatkala menyadari Jahra menuju ke tengah jalan, di mana terdapat banyak kendaraan yang berlalu-lalang.
Arsen mengulurkan tangannya menggapai tubuh kecil gadis itu. Sedikit lagi Arsen berhasil.
Namun ... gagal.
Gadis itu memilih ditabrak motor yang melintas daripada bertemu dengan Arsen.
—————🌇🌇🌇—————
Jahra mengerjapkan matanya berulangkali, berupaya menyesuaikan matanya dengan cahaya lampu yang menerangi ruangan.
"Udah bangun?" Suara serak nan berat menyapa telinga.
Lantas, ia mencari-cari sumber suara. Matanya membulat sempurna, melihat kehadiran Arsen di dekatnya. Secepat mungkin Jahra memalingkan wajahnya ke samping.
"Gimana kabar kamu?" tanya Arsen.
Tak ada jawaban. Mulut Jahra terkunci rapat. Membuat Arsen tersenyum kecut.
"Nggak apa-apa, kalau nggak mau jawab." Arsen mengusap pelan rambut Jahra, hal yang dulu sangat disukai gadis itu. Namun, Jahra menepisnya kasar. Cowok itu tertegun. "Maaf," gumamnya.
Jahra tetap enggan menatap Arsen, membuat cowok itu merasakan sakit luar biasa.
Gadis yang selama ini dicari, kini berada tepat di depan matanya, namun masih terasa sangat jauh.
"Kamu ... benci aku?"
Pertanyaan Arsen yang diucapkan ragu-ragu itu mencubit hati Jahra. Diam-diam tangannya terkepal, menahan perasaan bersalah dan sakit.
Beberapa menit terlewat tanpa jawaban.
Arsen menunggu, namun tidak ada tanda-tanda Jahra akan menjawabnya.
Bibir Arsen terbuka, hendak mengatakan beberapa kata lagi yang bisa memancing Jahra mengeluarkan suaranya.
"Iya." Belum mengatakan apa pun, Jahra sudah mengeluarkan suaranya.
"Iya?"
"Iya, gue benci sama lo."
Bak terhantam benda tajam, hati Arsen retak sepenuhnya. Cowok itu menetralkan wajahnya, agar terlihat baik-baik saja walau dalam hati merasakan emosi yang luar biasa.
"Alasannya?"
"Gue nggak mau ngasih tahu."
Arsen mengangguk-angguk, berusaha mengerti gadis itu. "Jadi, itu alasan kamu pergi tanpa ngasih tahu aku?"
"Iya. Harusnya lo sadar alasan gue ngilang gitu aja, karena gue benci sama lo!"
"Sejak kapan kamu benci aku?"
"Dari dulu. Gue muak sama lo dari dulu! Gue capek punya hubungan sama lo! Liat muka lo aja bikin gue mau muntah!" teriak Jahra, menunjuk-nunjuk wajah Arsen.
Arsen mengatur napasnya yang mulai tak karuan. Perasaan sesak dan perih menyelimuti hatinya.
"Sekarang kamu mau gimana? Kamu mau aku pergi dan jangan pernah cari kamu lagi?" tanya Arsen dengan rasa sakit yang semakin menjalar.
"Iya. Pergi dari kehidupan gue!"
Lagi-lagi Arsen mengangguk-anggukkan kepala. Ia menghembuskan napas yang terasa sangat berat.
"Kalau itu mau kamu, aku akan pergi."
Jahra memalingkan wajahnya lagi. Senyum pahit kembali tersemat di bibir Arsen.
"Seharusnya dari awal, kamu bilang kalau kamu udah muak sama aku. Dengan begitu, aku nggak perlu menebak-nebak lagi alasan kamu pergi. Aku juga nggak perlu berharap perasaan kita masih sama." Arsen menjeda ucapannya. Dia mengeratkan rahangnya. "Kamu harus inget satu hal. Arsen akan selalu mencintai Ara, meskipun Ara membenci Arsen."
"Kamu harus tahu, hanya kamu yang berhasil membuat seorang Arsen rela melakukan apapun untuk mencarimu. Kamu harus tahu, kalau aku bukan orang baik. Aku pemaksa, aku egois, tapi demi kamu, aku akan jadi orang baik, aku nggak akan maksa kamu."
"Kalau kehadiranku membuat muak, aku akan pergi. Tapi, kamu harus berjanji, jaga dirimu baik-baik. Kamu harus selalu bahagia, meski bukan aku penyebab bahagiamu."
Arsen bangkit dari duduknya. Ia mendekati wajah Jahra, lalu mendaratkan sebuah kecupan singkat di dahi gadis itu.
Jahra membeku sesaat. Lalu, tubuhnya mulai tak bisa dikontrol. Ia menggigit bibir, menahan isakan yang hampir lolos. Tubuhnya bergetar.
Sejujurnya, Jahra ingin mengatakan semua yang menjadi titik masalahnya. Jahra ingin berbagi duka, berbagi ketakutan, dan berbagi masalahnya. Namun, ia tak boleh egois.
Jahra harus membuat Arsen melupakannya agar saat ia mati, tak ada yang akan menangisinya.
"Selamat tinggal. I love you, Ara."
Arsen pergi meninggalkan ruang rawat rumah sakit.
Hati Jahra berdentum nyeri. Air mata tidak bisa menjelaskan rasa sakit yang ia alami. Semua dalam diri Jahra remuk.
Kepergian Arsen merupakan bukti bahwa kisah mereka telah usai.
Meski tidak rela, namun harus terjadi.
Terkadang semesta begitu kejam membuat mereka bertemu, lalu dipisahkan dengan keji.