KETIKA AKU BERTEMU MANTAN ISTRIKU
Hai-hai perkenalkan aku Author Moon, sehari hari di rumah, alias pengangguran akut, suka nulis, hobi baca, di temani anak bujang dan secangkir kopi.
Maka izinkan pengangguran ini mencoba menerima tantangan Author @HK dalam Challange Menulis Cerpen Bebas Ruang Author, semoga berkenan.
Jangan lupa tinggalkan sekebon mangga dan komentar baik.
Terima kasih
With Love 🩵🩵
Author Moon
🌝🌝🌝🌝🌝🌝🌝🌝🌝🌝🌝🌝🌝🌝🌝🌝🌝🌝🌝
Ckiiiiiiittttt
Bunyi gesekan baja roda dan rel kereta, terdengar di telingaku, karena aku memilih berdiri di ujung gerbong agar bisa segera turun ketika kereta berhenti di stasiun terakhir.
Untuk pertama kalinya dalam 7 tahun aku kembali menginjakkan kaki di stasiun lempuyangan, aku selalu melawan keinginan hatiku untuk kembali ke kota ini, karena Yogyakarta adalah kota asal mantan istriku, tempat pertama kami bertemu ketika Ibu menginginkan aku menikahi nya, padahal aku telah memiliki tambatan hati, namun kali ini aku tak bisa melawan kehendak atasanku, karena mulai saat ini aku adalah kepala cabang salah satu Bank Swasta tempatku mencari nafkah selama ini.
Yah akhirnya Widya (istriku saat ini), mengizinkan aku bekerja di Yogyakarta tentunya setelah kami cekcok selama beberapa hari karena jika aku tinggal di Yogyakarta maka kami akan LDR an, sementara rumah yang kami tempati saat ini masih dalam posisi mencicil. Jika Widya nekat ikut denganku ke Yogyakarta, maka rumah tersebut akan kami tinggalkan, kami pun harus mengurus biaya untuk keperluan pindah sekolah kedua putri kami, belum lagi biaya pindah rumah, dan kebutuhan lain yang pastinya tidak sedikit. Dan yang terpenting Widya takut jika aku akan berselingkuh ketika kami tinggal berjauhan, padahal dahulu aku memilih menceraikan Hilda, ketika mendengar bahwa Widya sudah berpisah dari suaminya.
Yah … aku bukan lelaki baik karena memilih menjandakan istriku, demi menikahi Janda yang lain, sungguh aku tak layak di sebut lelaki baik, tapi apa boleh buat, Aku tak bisa menahan perasaanku, rasanya aku belum ikhlas jika mantan kekasih ku kembali menikah dengan pria lain, maka ku ambil keputusan cepat dengan bercerai, ketika Hilda tak mau dimadu.
Benar kiranya kata orang-orang, tak ada wanita yang mau di madu, begitu pula Hilda, kulihat sorot matanya sarat akan luka, bahkan merah dan sedikit bengkak, mungkin semalam ia menangis usai aku mengatakan niatku menikahi mantan kekasihku. Namun Hilda dengan segala kelembutannya sama sekali tak marah ataupun memaki, tapi justru itu membuat hatiku sendiri teriris perih. Selama 5 tahun menikah, sosok Hilda begitu lemah lembut, tak pernah marah ataupun meninggikan suara, pun ketika ia sedang sangat marah padaku seperti saat ini, ia tetap menjalankan semua kewajibannya sebagai seorang istri, termasuk ketika malam itu aku meminta Hak ku atas tubuhnya untuk terakhir kali sebelum kami bercerai, aku menikmatinya sungguh, kali itu terasa berbeda dari sebelum sebelumnya, padahal kami rutin melakukannya.
Selama menanti sidang putusan kami memang tetap tinggal seatap, tapi tidak satu kamar, Hilda memang masih tetap menjalankan kewajibannya, selain urusan batin. Tapi setelah melihatku memasuki rumah, ia akan segera menuju kamar, sampai pagi datang, begitu setiap hari sampai hakim menjatuhkan ketuk palu perceraian kami. Karena Aku tak ingin dicap sebagai lelaki tak bertanggung jawab, maka aku penuhi semua hak-hak Hilda selama menjalani masa iddah selama 3x suci, bahkan aku berikan sejumlah uang bernilai fantastis, itung-itung gono-gini selama kami berumah tangga.
Aku masih tenggelam dalam lamunanku, mengenang perpisahan dengan mantan istriku, ketika seorang anak lelaki berusia 6 tahun tengah melintas di hadapanku, ia sedang berlari kencang mengejar bola, tapi tiba-tiba tubuh nya terpelanting kemudian membentur aspal tatkala sebuah motor menabraknya. Entah kenapa aku merasa ragaku yang terhempas, melihat tubuh mungil itu bersimbah darah, karena luka di kepala akibat benturan.
Tak kupedulikan tubuh lelahku, aku berlari menghampiri bocah malang itu, bahkan aku berteriak kencang meminta pertolongan.
“Tolong … tolong …” Teriakku mencari-cari barang kali ada orang baik yang bersedia membantuku.
Suasana stasiun yang lumayan ramai, membuatku segera mendapatkan bantuan, “bawa anaknya ke rumah sakit dekat sini saja pak.” Seorang pria menawarkan ide tersebut.
“Boleh pak, berapa lama kira-kira jaraknya?” Tanyaku dengan perasaan khawatir, agak berlebihan mengingat anak ini bukan siapa-siapaku.
“Cuma 5 menit naik becak,”
Aku hanya mengangguk saja ketika pria itu menawarkan jasa becak nya, Meskipun konyol membawa korban laka lantas kerumah sakit dengan menggunakan becak. Yang penting kami segera sampai dan anak malang ini mendapatkan pertolongan pertama.
Tak lagi ku pikirkan siapa orang tuanya, aku benar-benar tak memikirkan hal itu, aku hanya berpikir bagaimana cara agar anak ini selamat.
“Pak … kami butuh transfusi darah, karena luka di kepalanya cukup besar.” lapor seorang dokter yang ada di ruang UGD.
“Lakukan yang terbaik dok.” Ujarku begitu saja, tanpa berpikir ulang.
“kami kehabisan darah AB, apa kebetulan putra anda memiliki golongan darah yang sama dengan anda?”
Deg
Aku tak menyangka bahkan golongan darah anak ini pun sama denganku, aku kembali mengangguk, kemudian petugas medis di sana melakukan transfusi langsung, setelah memeriksa apakah darahku cukup layak untuk di sumbangkan.
Beberapa menit berlalu, rumah sakit kecil ini tak terlalu ramai pagi ini, tiba tiba di luar ruang tindakan, kudengar suara tangisan kencang penuh kekhawatiran, dalam hati aku bersyukur, mungkin orang tua anak ini yang datang, syukurlah kondisi anak mereka sudah aman, berkat kesigapan petugas medis menjahit luka di kepala, dan tentu karena segera mendapatkan transfusi darah.
Aku masih terbaring di brankar, sedikit lemas setelah dokter mengambil darahku. Suara tangisan meraung itu sungguh menyayat hatiku, entah kenapa aku seperti mengenali suara itu, tapi siapa dan dimana aku pernah mendengar nya?
Tak kudengar lagi suara percakapan orang orang di luar tirai yang menutupi brankar ku, karena tiba-tiba aku merasa kepo mencoba mengingat lagi suara yang terdengar begitu akrab di telingaku.
“Bapak sudah tidak pusing lagi?” Tanya seorang perawat yang memastikan keadaanku.
“Sedikit, tapi saya bisa bangun dan cukup kuat untuk berjalan.”
“Syukurlah, maaf jika tadi kami salah mengira, sekarang kedua orang tua anak itu sudah datang, dan mereka ingin bertemu anda.”
Aku tersenyum mengangguk, cukup merasa kuat untuk keluar dan menemui kedua orang tua anak malang tersebut.
Aku menatap pakaianku yang masih bersimbah noda darah, biarlah nanti pakai jasa londry hotel saja, biar lebih bersih, dan pasti menghilangkan kekhawatiran istriku, jika nanti ia khawatir karena ada noda darah di pakaianku.
Kupanggul ransel berisi laptop, dan beberapa lembar pakaian untuk bekalku selama 3 hari di Yogyakarta ini. Karena aku masih masa pengenalan, jadi masih harus PP Jakarta-Yogyakarta selama beberapa pekan ke depan.
“Silahkan Pak… Bu… Bapak ini lah yang membawa pasien ke rumah sakit.”
Sepasang suami-istri itu menoleh, menatapku dengan wajah khawatir, namun juga lega karena putra mereka sudah berhasil di selamatkan.
Tapi tunggu kejutan apa ini?
Dia kan??
“Hi… Hil… Hilda?” Lirihku, tanpa sadar menyebut kembali namanya. Nama yang selama bertahun tahun aku kubur dalam dalam demi menjaga perasaan istriku.
Tapi benarkah bocah itu anak Hilda? sejak kapan Hilda memiliki anak? Bahkan selama 5 tahun pernikahan kami, berita baik itu tak pernah ku dengar, padahal aku sungguh berharap segera memiliki anak kala itu.
Dan kini melihat dia memiliki anak bersama suami baru nya, entah kenapa aku tak rela.
Hilda masih sama cantiknya seperti dulu, bedanya kini bertambah cantik karena ia telah menutup seluruh tubuhnya dengan hijab, wajah teduhnya semakin memancar indah dalam balutan hijabnya.
“Astaghfirullah…” Beberapa kali Aku beristighfar dalam hati, memaki kelancangan mataku karena tiba tiba terusik dengan kecantikan mantan istriku, bahkan ia sudah memiliki pengganti ku. Syukurlah, Karena tak pantas rasanya Hilda menangisi lelaki brengsek seperti ku.
“Mas Aldy…” lirih Hilda dengan wajah pucat, tak kalah terkejutnya denganku, karena kami kembali bertemu.
“Anak itu?”
“Iya Mas… dia anakku namanya Ammar.” jawabnya dengan wajah getir, seperti menyiratkan luka mendalam. “Mas Irfan, kenalkan … ini … Mas Aldy, mantan suamiku.” Ujarnya dengan suara lirih tertahan.
“Oh iya ?? … ah senangnya akhirnya kita bisa bertemu,” Jawab suami Hilda, pria itu begitu santun dan tenang, sama sekali tak ada nada cemburu, lain halnya dengan Widya yang bahkan tak suka melihat tulisan dengan nama Hilda.
Aku mengulurkan tangan, tak ada salahnya kami saling berjabat tangan bukan, toh hubunganku dengan Hilda sudah lama berakhir. “Aldy …”
“Irfan.”
“Maaf Pak … Bu … tolong urus administrasi pasien dulu.”
“Oh iya …” Jawab Irfan gegas berdiri mengikuti perawat menuju loket pembayaran.
“Bagaimana kabarmu Hilda?” Tanyaku mencoba mencairkan suasana, selepas kepergian Irfan.
“Alhamdulillah Mas … baik dan sehat wal afiat.” Jawabnya dengan wajah tertunduk dalam, seakan tak ada lagi topik pembicaraan denganku.
Sungguh aku tak tahu apakah ia masih menyimpan kemarahan terhadapku. Tapi kini aku baru menyadari, setelah kami resmi bercerai, aku terlampau bahagia, karena sekejap lagi aku akan mempersunting mantan kekasihku, yang juga baru habis masa iddah nya. Aku tak pernah lagi menengok Hilda, menanyakan kabarnya, aku hanya menganggap dia debu yang tak pernah mampir di hidupku, selama masa iddah yang seharusnya aku tetap berada di dekatnya menjadi pelindungnya, termasuk bertanya apakah ia hamil anakku atau tidak, itu adalah poin pentingnya, bahkan itu tidak kulakukan.
Deg!!!
Tiba tiba jantungku Bergemuruh, Anakku? Mungkinkah? Ya Allah Rabbku, apakah Ammar adalah?? Jika ditilik dari postur dan tinggi badannya, dia seusia dengan Refa Putri sulungku, karena sebulan setelah pernikahan kedua ku dengan Widya kami langsung mendapat kabar baik. Maka aku semakin tenggelam dalam lautan bahagia karena kabar yang kunanti nantikan selama 5 tahun pernikahanku yang pertama, justru terwujud di pernikahanku yang kedua, dan akhirnya Hilda benar-benar terlupakan.
“Orang tua pasien Ammar Rifaldy…” Seru seorang perawat.
Deg!!! Lagi lagi jantungku di buat kacau balau tak karuan, apa tadi? siapa nama anak itu tadi Ammar Rifaldy? Bukankah Rifaldy itu namaku? Mungkinkah?
Ya Rabb … kejutan macam apa ini?? Apakah ini jawaban yang kau berikan dari pertanyaanku beberapa minggu yang lalu? Kenapa harus Yogyakarta?? Itu terus ku pertanyakan, karena Jujur saja, aku berat meninggalkan anak dan istriku.
Tanpa sadar air mataku berlinang, langkah kakiku begitu ringan mengikuti kemana Hilda melangkah, kulihat ia menangis memeluk Ammar, yang baru saja sadar dari pingsannya.
“Bunda … sakit.”
“Iya Bunda tahu nak, Ammar yang sabar yah, ada Bunda di sini, ada Ayah juga.”
Apa katanya Ayah? Apakah secara tidak langsung Hilda mengatakan padaku bahwa Ammar adalah anakku??
Rasanya ingin aku berlari mendekap bocah kecil itu, seharusnya aku sadar dengan berbagai macam rasa gelisah yang menghampiriku, bahkan golongan darahnya sama denganku, kini ragaku seakan-akan digerogoti rasa sakit, apakah aku bahagia? Tentu saja, memiliki 2 anak perempuan membuatku serakah ingin juga memiliki anak laki-laki sebagai penerus nasabku, dan Allah mengabulkannya melalui Hilda. Sayangnya aku kembali ditampar kenyataan, bahwa Ammar mungkin tak akan pernah memanggilku dengan sebutan “AYAH”.
Hanya dia pria baik yang beruntung itu, pria yang kini menjadi suami baru Hilda, dialah yang akan mendapat gelar kehormatan, panggilan yang sangat membanggakan, “AYAH”.
.
.
Hingga sore datang, kaki ini seakan terasa berat meninggalkan rumah sakit, aku masih duduk diam di lorong rumah sakit, tak berani mendekat, bahkan untuk bertanya aku tak punya muka.
Diamnya Hilda seakan memberiku pukulan telak, aku tahu begitulah caranya membalaskan sakit hatinya, dan itu benar benar membuatku terkapar tak berdaya. Dia dengan segala keanggunan dan kelembutannya, nyatanya mampu membalaskan sakit hatinya dengan cara paling elegan sekaligus menyakitkan.
Secangkir kopi hangat ia sodorkan padaku, wajahnya masih tenang penuh wibawa, tak tampak sedikitpun guratan lelah karena mengurus anakku, anak dari mantan suami Hilda.
“Bagaimana keadaanmu, maaf aku baru sempat bertanya, Ammar memang begitu manja padaku, kadang aku yang begadang menggendongnya semalaman.” Jawabnya bangga, namun tanpa sadar sentilan itu membuat hatiku semakin terluka.
“Ammar adalah putramu, sampai kapanpun aku hanyalah ayah sambungnya, tapi jangan ditanya bagaimana aku menyayanginya, aku belum pernah merasakan perasaan hangat, sehangat ketika aku mendekap Ammar.”
Air mataku kembali menetes, anakku di dekap pria lain, Ayah yang lain, bahkan aku tak pernah mendekap dan memeluknya, kehadirannya tak pernah ku ketahui.
“Bagaimana kamu bisa menikahi Hilda?” Tanyaku dengan rasa penasaran.
“Almarhumah Ibuku pernah bercerita, suatu hari Hilda datang sebagai buruh di ladang tembakau milik keluarga kami, Ibuku yang kesepian karena aku pergi merantau, membawa Hilda tinggal di rumah kami, Hilda hanya bertugas memasak dan mengurus semua keperluan Ibuku, karena ibu tak tega mempekerjakan wanita secantik Hilda sebagai buruh perkebunan.”
“Buruh? Seingatku aku memberi Hilda banyak uang sebagai harta gono-gini, dan uang itu adalah haknya sebagai mantan istriku?”
Separuh hatiku tak terima, walau kuakui tak pernah mencintai nya, tapi selama menjadi istriku Hilda selalu kumanjakan dengan segala macam fasilitas, dan setelah ku ceraikan dia, justru Hilda memilih menjadi buruh, ketimbang makan uang pemberianku. Hilda pasti sengaja melakukan itu, demi membalaskan sakit hatinya, karena ia tahu pasti aku tak suka bila istriku bekerja, bahkan ketika ku berikan uang gono-gini tersebut, dengan tega kukatakan padanya, “jika uang ini habis sebelum kamu bertemu lelaki penggantiku, maka katakan saja, aku akan menafkahimu, sampai kamu bertemu lelaki baik sebagai pengganti ku.”
“Ibuku pernah bercerita sebelum akhir hayat beliau, bahwa Demi Allah ia bersumpah Hilda adalah wanita baik dan shalihah. Ia tulus merawat ibuku di tengah-tengah kepayahannya ketika sedang mengandung Ammar, karena itulah, ibu ingin aku menikahi Hilda, sekedar ingin memastikan bahwa selepas beliau pergi, ada lelaki baik yang menjaga dan melindungi Hilda.”
“Ibu ku menangis di setiap sujud malamnya, bukan menangis karena mendoakanku, melainkan mendoakan agar Hilda bertemu lelaki baik yang bisa memuliakan dirinya sebagai seorang istri dan seorang ibu. Maka aku hanya berharap bahwa aku adalah pria baik yang diminta ibuku pada Allah, kutunjukkan baktiku pada Ibuku dengan menikahi Hilda selepas masa iddah nya berakhir.”
Aku berdiri meraup sebanyak banyaknya udara yang bisa ku hirup, dadaku sesak, hatiku pun hancur, sakit yang tak akan pernah bisa kutemukan obatnya, kesombonganku dahulu runtuh seketika. Saat itu aku memang tengah berada di puncak finansial, merasa menjadi lelaki mampu, hingga dengan tega berbuat semena-mena pada Hilda, memberinya penawaran, poligami atau perpisahan. Hingga Allah membuat kedua mataku terbuka, diatas langit masih ada langit, dan apalah kita yang hanya butiran debu tak terlihat di tengah megah nya alam semesta, layakkah kita menyombongkan diri??
.
.
#Challenge Menulis Cerpen Bebas Ruang Author
@HK