Hari ini aku ingin menceritakan kepada semesta betapa aku sangat bersyukur kepada Tuhan, karena tepat pada hari ini adalah perayaan tiga tahun persahabatanku dengan kelima sahabatku Shafira, Shabira, Faina, Ghina, dan Viola. Indah sekali rasanya dapat dihargai, disayangi, serta dicintai oleh mereka yang kusebut sebagai lima serangkai dalam hidupku. Walaupun aku tahu, diriku ini tidaklah luput dari segala kekurangan. Namun, mereka melengkapiku. Oleh karena itu, aku tidak mampu mengungkapkan betapa bahagianya aku sekarang. Tetapi, bolehkah aku meminta satu permintaan lagi kepada-Mu? Bahwa, kini aku sangat merindukan mereka semua.
“Anjani, sudah selesai belum nulisnya?” ucapnya kepadaku yang terus sibuk menulis buku harian di taman dekat rumahnya. “Eh? Faina? Sejak kapan kamu disini?” “Kamu lagi nulis apa? Kelihatannya kamu senang sekali, ada apa Ni?” “Seperti biasa, aku hanya menulis buku harianku. Ada apa Faina?” kubalas dengan senyuman manisku. “Baiklah, aku hanya ingin mengajakmu untuk merayakan tiga tahun persahabatan kita bersama Shafira, Viola, Ghina, dan Shabira” “Pasti aku ikut!” ucapku dengan nada bersemangat.
Aku dan Faina langsung bergegas menuju tempat dimana kita dipertemukan dengan sang Maha Cinta. Tempat itu adalah rumah pohon yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Tempat ini adalah saksi dimana kisah persahabatan kita dimulai. Akan tetapi, entah mengapa hari ini begitu berat dan teramat pelik untukku. Apakah ada yang salah, Tuhan?
“Akhirnya, kalian datang juga. Mengapa lama sekali? Ini sudah hampir petang” tanyaku kepada Anjani dan Faina. “Sudahlah, tidak mengapa Ghin. Yang penting mereka sampai disini dengan selamat bukan?” balasku sambil mengedipkan mataku kepada Ghina. “Betul juga kamu, Shabira. Maafkan Ghina ya”
Beberapa waktu setelahnya, aku akhirnya menyampaikan sesuatu yang mungkin akan membuat mereka kecewa kepadaku. “Teman-teman, maaf sepertinya aku harus segera pergi. Tapi, janji ya? Kalian harus tetap merayakannya walau tanpa adanya aku” “Ada apa Senjani? Kamu ada tugas? Mengapa tidak mengatakan hal ini sebelumnya?” ucap Shafira. “Kamu sedang ada acara? Anjani katakan ada apa?” tambah Viola kepadaku. “Tidak, tidak. Bukan sesuatu yang penting kok” tegasku kepada mereka. “Sebelum kamu pergi. Bolehkah kami jujur kepadamu, Senjani?”
Tidak pernah terlintas dalam pikiranku. Tentang hari ini, dan tentang pernyataan keliru yang Shafira dan sahabat-sahabatku sampaikan. Mengapa aku baru menyadari hal ini?
“Kenapa? Begitu singkatnya waktu yang kamu berikan untuk kita? Semenjak kamu pindah sekolah saat kelas 10, kamu berbeda. Kamu selalu bilang bahwa kamu sedang sibuk atau sedang ada acara. Bahkan, kamu pernah berbohong saat kita mengajakmu untuk pergi menjenguk Viola. Pada saat itu, ibu kamu sendiri yang memberitahu kita bahwa kamu hanya sedang pergi bersama teman barumu. Bahkan tidak ada waktu satu jam untuk berada disana. Sebenarnya, apa yang telah terjadi kepadamu? Kamu bilang kita ini sahabat bukan? Kamu berjanji akan selalu bersama, apapun dan bagaimanapun keadaannya. Lalu, dimana janjimu itu? Aku menagihnya!” ucap Shafira dengan air matanya yang terus mengalir.
“Kalian itu kenapa sih? Kita kesini kan mau merayakan tiga tahun persahabatan kita!” ujar Ghina. “Bukan untuk berkelahi seperti ini! Aku mohon hentikan!” tambah Viola. Tuhan, apakah aku salah? Aku hanya tidak ingin ada yang terluka disini. Kalaupun harus ada yang terluka dan harus pergi. Akulah yang pantas mendapatkannya. “Bisa tidak? Berikan Senjani ruang dan waktu?!” suara yang tidak asing lagi bagiku. Benar, dia adalah teman baruku saat aku pindah ke sekolah baruku. Adzhari Pratama. “Maaf, tapi bukan bermaksud saya ingin ikut campur dengan urusan kalian. Tetapi, kalau ada kaitannya dengan Senjani. Saya pastikan diri saya akan selalu ada untuknya” ucap Adzhari sambil mengajakku pulang untuk pergi meninggalkan tempat bersejarah itu.
Semenjak hari itu, hubunganku dengan kelima sahabatku telah renggang. Namun, aku berpikir bahwa ini adalah langkah yang tepat untuk aku ambil. Aku berharap mereka selalu dalam keadaan yang bahagia walau tanpa kehadiranku disana.
“Anjani sayang?” terdengar suara Ayah memanggilku. “Iya yah? Masuk saja Ayah” jawabku sambil menutup buku harianku. “Senjani lagi apa sayang? Ini ada Adzhari, dia ingin menjengukmu sayang” “Ni, sudah minum obatnya belum?” tanya Adzhari kepadaku. “Minum atau tidaknya aku, tidak akan mengubah apapun bukan?” “Senjani, bagaimanapun juga kita harus tetap berusaha bukan? Adzahri tidak kenal sikapmu yang seperti ini!” ucapnya seraya mengambil obat untukku. “Benar kata Adzhari, sayang. Senjani kan anak Ayah yang kuat, Ayah yakin Senjani pasti sembuh” “Tidak akan ada gunanya Ayah. Obat-obatan itu hanya menghambat penyakit Anjani saja kan? Bukan menyembuhkan” Namun tidak terasa darah itu mengalir lagi melalui hidungku yang payah ini. “Senjani! Kamu mimisan!!!” teriak Adhzari. Namun, kali ini berbeda. Darah itu mengalir begitu banyak. Aku pun merasakan sakit yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Inikah waktunya? Dengan sigap Ayah mengantarku ke Rumah Sakit tidak jauh dari rumah bersama dengan Adzhari.
Setelah menunggu waktu yang cukup lama di dalam ruang Unit Gawat Darurat. Aku merasa lebih lega. Berhasilkah operasi kali ini?
“Dengan Pak Yusuf?” “Iya Pak betul, bagaimana kondisi anak saya Pak? Senjani baik-baik saja kan, Pak Dokter?” tanya Ayah yang begitu tergesa-gesa. “Maaf Pak, harus saya katakan bahwa kondisi anak Bapak semakin memburuk, karena sampai sekarang kita belum mendapatkan calon pendonor hati untuk Senjani. Sirosis hati yang dialami Senjani sudah semakin parah, Pak” “Kira-kira sampai kapan Senjani dapat bertahan, Dokter?” “Pertanyaan yang tepat, apakah Senjani itu masih mampu bertahan?”
Ayah dan Adzhari begitu terpukul mendengar kabar buruk tersebut.
Akan tetapi, kini tubuhku juga sudah terbebas dari peralatan medis itu. Tetapi, mengapa Ayah dan Adzhari menangis? Tunggu dulu, itu sahabat-sahabatku. Ya, itu benar! Aku sangat merindukan mereka semua. Kenapa mereka ada disini? Apakah mereka tahu akan penyakitku? Sudahlah tidak mengapa, yang terpenting aku bisa bertemu dengan mereka. Namun, mengapa aku terlihat seperti orang asing bagi mereka?
“Senjani!!! Kenapa kamu tinggalin aku secepat ini?” “Adzhari, kenapa kamu tidak bilang sejak awal? Apa yang sebenarnya terjadi kepada Anjani? Katakan!” ucap Shabira. “Pak, ada apa dengan Senjani? Senjani sakit apa Pak?!” tambah Shafira. “Kenapa, kita menjadi orang yang paling terakhir untuk mengetahui hal ini, Anjani? Kenapa?” ujar Faina. “Semua jawaban yang kalian nantikan selama ini, akan terjawab dengan surat yang ditulis Senjani sebelum dia pergi meninggalkan kita semua, Bapak permisi”
Teruntuk Sahabatku Aku tidak suka kalau surat ini menjadikan langkah awal dari sebuah perpisahan. Karena itu, aku ingin menulis surat ini hanya untuk kembali mengenang persahabatan kita yang sudah kita jalin selama tiga tahun terakhir dalam hidupku. Maafkan aku, karena belakangan ini aku sedang disibukkan oleh suatu hal yang sama sekali belum pernah kuceritakan kepada kalian. Aku hanya ingin tetap menyembunyikannya, sungguh bukan karena aku tidak ingin kalian tahu. Namun, untuk apa memberitahu kepada kalian bahwa episode dalam kehidupanku akan segera berakhir? Bukankah aku pernah berjanji? Bahwa aku hanya akan membagikan kisah hidupku yang akan membuat kalian bahagia saja? Maafkan kekeliruanku. Teruntukmu, Shafira. Sahabatku yang paling menyejukkan senyumannya. Senyumanmu selalu yang paling kurindukan. Tawamu, membuat hari-hari terakhirku semakin bermakna.
Teruntukmu, Shabira. Sahabatku yang paling sederhana. Kesederhanaanmu menyadarkanku, bahwa betapa aku sangat beruntung memilikimu dalam hidupku. Teruntukmu, Faina. Sahabatku yang paling manis. Terima kasih ya, sudah mewarnai hidupku dengan kehangatanmu. Teruntukmu, Ghina. Sahabatku yang paling kuat dan tegar. Aku banyak mengambil pelajaran serta hikmah setelah aku mengenalmu. Aku jadi tahu, arti kehidupan yang sebenarnya itu seperti apa. Teruntukmu, Viola. Sahabatku yang imut dan lucu. Aku pasti akan selalu merindukanmu. Tetap menjadi Viola yang kukenal ya!
Teruntuk sahabat-sahabatku, terima kasih atas semua perhatian, cinta, dan kasih sayang kalian kepadaku yang amat terbatas ini. Berjanjilah kepadaku, bahwa kalian akan tetap menjalani hari demi hari dengan semangat, ceria, dan penuh senyuman karena itu bagaikan hadiah yang sentiasa kalian berikan kepadaku. Aku pastikan, aku akan baik-baik saja. Asalkan, kalian juga dalam keadaan yang bahagia. Terima kasih telah mengisi hari-hariku yang begitu terbatas ini, dengan keberadaan kalian di dalam hidupku. Aku sangat menyangi kalian, Lima Serangkaiku…
Senjani Wulandari
Cerpen Karangan: Cut Adila Hana Faiza Blog: dakwahseries.blogspot.com Assalamu’alaikum.. Perkenalkan namaku Adila, aku berasal dari Kota Bekasi. Cerita pendek ini terinspirasi dari kisah nyata yang aku ilustrasikan lebih sedikit. Semoga kalian dapat mengambil pelajaran dari cerpen ini yaa.. Wassalamu’alaikum..
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 23 Juli 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com