Pagi-pagi sekali, samar-samar sahutan ayam membangunkanku. Kala mentari masih malu-malu menampakkan dirinya. Kurasakan hembusan angin dingin membelaiku. Aku melirik ke jendela kamar yang sepertinya terbuka. Ternyata dugaanku benar. Aku mengangkat tubuhku dan bangun dari kasur, dengan langkah gontai kuseret perlahan membuka daun pintu itu. Aku berjalan menuju ke kamar mandi. Membersihkan diri dan mengambil air wudhu. Lalu kulaksanakan kewajiban menghadap Sang Ilahi dan setelahnya menegadahkan kedua tangan memanjatkan doa. Setelah itu kukenakan seragamku. Kulirik sekilas jam yang terpajang di dinding kamar. 06.00. Masih terlalu pagi untuk berangkat sekarang.
Aku memutuskan untuk keluar kamar, kulangkahkan kaki menuju dapur. Sesaat aku berhenti di sebuah kamar dengan pintu setengah terbuka. Begitu gelap dan sunyi sampai tak bisa kurasakan kehadiran di dalamnya. Aku mendekatkan diri ke kamar itu. Kuketuk beberapa kali pintunya sembari mengeluarkan kata “Ayah” namun tak ada yang menyahut.
Aku menghela nafas panjang. Baru saja ingin ku beranjak dari tempat itu, namun kemudian secercah cahaya terlihat memancar dari kamar gelap itu. Terlihat seorang laki-laki paruh baya baru berdiri dari ranjangnya. Ia berjalan mendekatiku lalu berhenti tepat di hadapanku. Tubuhnya begitu jangkung memaksaku untuk mendongakkan kepala. Begitu kurus hingga seperti hanya dibalut kulit tipis. Matanya merah dan seperti akan keluar. Kulitnya yang terlihat semakin berumur dan bibirnya pucat seperti biasa.
“Ayah meminumnya lagi? Sudah kubilangkan jangan terus bergantung pada pil tidur atau obat-obatan itu!” bentakku. Wajahnya seakan tak mendengarkan apa yang kukatakan. Ia hanya termengu diam di tempatnya. Ayah sudah seperti ini sejak 1 tahun yang lalu. Semenjak ibu meninggalkan kami semua untuk selamanya. Ayah terpukul oleh kepergian ibu, ditambah lagi aku yang dulunya naif seringkali memaksa ayah. Bisnisnya hancur dan kini menjadi pengangguran. Bahkan sekarang kami dibiayai oleh kakaknya ibu. Kurasa ayah tertekan oleh keadaan. Sampai akhirnya ia mulai mengkonsumsi pil tidur dan obat-obat lainnya untuk membantunya tenang. Berkali-kali kukatakan padanya bahwa obat itu akan merenggutnya tapi aku seperti bicara pada patung yang sama sekali tak mendengarkanku. Ah, aku benar-benar muak dengannya.
“Aku akan menyiapkan makanan, makanlah nanti” ucapku lalu langsung pergi dari hadapannya menuju ke dapur. Melupakan kekesalanku beberapa detik lalu. Tanganku dengan lincah meracik bumbu-bumbu dan menggerakkan spatula. Tak perlu berlama-lama aku sudah menyelesaikannya dan kuletakkan di sebuah piring lalu kusimpan di dalam tudung nasi.
Aku berjalan kembali ke kamarku, kulihat ayah duduk di sofa panjang ruang tamu. Wajahnya masih diam seperti tak bernyawa. Aku mendengus kesal. Lalu menghentakkan keras kakiku berjalan ke kamar. Kuraih ransel dongker yang tergantung di tembok kamarku itu.
“Prannggg..!!!” suara pecahan kaca terdengar dari luar kamar. Aku berlari ke tempat sumber suaranya. Pecahan-pecahan bening yang tajam di ujungnya berserakan di lantai. Ayah meringkung seraya memungut pecahan beling itu. Tangannya tersentak sesaat setelahnya mengucur darah dari jarinya. “Biar aku saja!” Teriakku. Kusuruh ayah untuk duduk di sofa dan lalu kuambil kotak P3K dan duduk di samping ayah. Kutarik pelan jarinya yang berdarah itu, kuteteskan obat luka dan membalutnya dengan plester. “Maaf nak..” ucap ayah lirih. Kutatap wajahnya, terpancar kesedihan dari sorot matanya. “Tidak masalah.. jangan khawatir” ujarku berusaha menenangkannya. Setelah itu langsung kubersihkan pecahan beling itu dan mengatakan pada ayah agar ia hati-hati.
Pagiku menjadi sedikit sibuk. Tapi kurasa semua rutinitas pagiku selesai dan siap berangkat sekolah. Aku berjalan pelan keluar rumah. Ayah masih terduduk lesu di sofa. “Ayah aku pergi”, ucapku dan langsung pergi.
Sang surya mulai tampak, menghangatkan atmosfer jalanan kota yang beragam aktivitas pagi. Aku berajalan di tengah hiruk pikuknya pagi. Sebuah sepeda melintas menyambarku. Aku tersentak kaget tapi untungnya bisa kuseimbangkan tubuhku. Kulihat seseorang yang duduk di atas sepeda tadi melihat sekilas ke arahku masih dengan kaki yang mengayuh pedalnya. Lalu ia mengangkat satu tangannya dan meletakkannya di depan dada. Seolah-olah mengisyaratkan kata maaf. Lagi-lagi ku mendengus kesal.
Pagi yang baru saja kumulai, kini kurasa sangat berantakan. Kulirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tanganku. Arah jarumnya sontak membuatku terbelalak. Langsung kulangkahkan cepat berlari ke arah sekolah. Degup jantungku semakin dipacu ketika aku menyadari bahwa hanya tinggal 5 menit waktu tersisa untukku. Kakiku mulai terasa penat, tapi tak bisa kuhentikan sekarang. Tapi untungnya aku bisa tiba di sekolah tepat dengan dibunyikannya bel sekolah. Kutarik nafas lega, karena aku bisa menghindari masalah yang kupikir akan menimpukku.
Aku masih harus melewati koridor panjang untuk sampai ke kelas. Tak sampai satu menit, dengan langkah besar dan cepat aku tiba di sebuah kelas, terpajang tulisan XII IPS A diatas pintunya. Aku berjalan dengan tergopoh-gopoh menuju ke bangkuku. Lalu kuhempaskan tubuhku kekursi yang ada di hadapanku. Kakiku mulai terasa pegal dan peluhku membasahi wajah.
“Kenapa baru sampai?” ucap seseorang yang kutahu suara melengking ini milik Vina. Ia merebahkan tubuhnya ke kursi di sebelahku. Ia menatapku dalam, matanya berbinar-binar mewakili rasa ingin tahunya, sementara bibirnya selalu siap menyemburkan kata-kata. “Ntahlah, kurasa aku cukup banyak masalah akhir-akhir ini” ucapku kesal. “Ayahmu baik-baik saja” tanya Vina mengalihkan topik awal. Ia memang sudah tau seluk beluk keluargaku. Dan tentang ayah, ia juga pernah bertemu dengannya ketika aku membawanya ke rumah. Kupikir dia tidak ingin berteman dengan orang dengan latar keluarga yang sepertiku, tapi kurasa dia cukup bersahabat sejak kukenal dengannya. Setidaknya masih ada seseorang yang mau mendengarkan keluh kesahku. “Dia masih seperti biasa” ucapku lirih. Aku tertunduk lesu, Vina menempatkan tangannya yang hangat mendekap tanganku yang terasa dingin. Aku serasa seperti diambang keputusasaan. Tapi sahutan guru membangunkanku. Seorang guru paruh baya tersenyum memasuki ruang kelas kami. Kelas yang terasa ribut kini spontan diam. Guru itu memulai pelajarannya sementara aku masih terpikir dengan kehidupanku yang sulit ini.
“Tettt… tettt… tettt..” bel panjang dibunyikan 3 kali menandakan hari ini sekolah usai. Aku membereskan cepat barang-barangku. “Sisil… ikut aku sebentar ya..!” ajak Vina dan langsung menarikku keluar kelas. Tak tau kemana ia akan membawaku. Tak kutanyakan hal itu, karena dilihat dari raut wajahnya terlihat serius. Kami sudah berjalan sekitar 2 menit, dan aku masih tidak tau kemana arah tujuannya. Aku terus mengekor di sampingnya, tangannya melingkar di lenganku. Langkah kakinya kemudian berhenti, spontan aku pun juga berhenti. Aku melihat di hadapanku, kami berhenti di depan toko bunga. Masih tidak tau, sebenarnya apa yang terbesit di pikaran Vina.
“Kenapa kemari?” tanyaku sambil memandang wajahnya “Kita ke sini karena kamu mau menemui ibumu kan? Karena aku akan ada les piano, jadi aku titip bunga untuk ibumu.” Tuturnya tersenyum lalu menarikku ke dalam toko. Ia memberiku sebuket bunga mawar yang wanginya sangat enak diendus. Setelah membayar kami kembali keluar toko. Ia kemudian megeluarkan sebuah tabung kecil dengan balutan kertas hijau. Ia berikan itu padaku. “Untuk apa?” tanyaku “Itu teh hijau untuk membantu menenangkan diri, berikan pada ayahmu ya” ujarnya dengan senyum melengkung di wajahnya. Aku tersentuh oleh sikapnya. Aku berterima kasih karena ia sampai peduli dengan ayahku. Setelah itu ia pamit untuk pergi dan melambaikan tangan seiring langkahnya yang menjauh. Aku pun juga beranjak pergi.
Sampai akhirnya aku tiba di sebuah tempat yang cukup hening. Terdengar gesekan kakiku di rumput yang hijau dan desiran angin yang mengerakkan setiap benda yang dapat dihembusnya. Langkahku berhenti di sebuah gudukan tanah dengan batu di atasnya yang terukir nama orang yang sangat kucintai, Ibuku. Aku menekuk lututku dan meletakkan sebuket bunga dari Vina di dekat batu nisan ibu.
Tanganku tergerak membersihkan tiap rumput liar yang tumbuh di sekitarnya. Lalu ku angkat tanganku untuk memanjatkan doa-doa untuk ibuku. Tak ingin rasanya langsung pergi, aku menceritakan banyak hal pada ibu. Termasuk soal ayah, bukan hanya hari ini, tapi aku selalu menceritakan semua yang terganjal di hatiku pada ibu. Walau ku tau tak akan ada jawaban yang menyahuti setiap kata-kataku.
Cukup hening suasana sekarang ini, sampai terdengar olehku isak tangis anak kecil yang terduduk di sebuah gundukan tanah di sebelahku. Matanya berurai air mata dan seorang perempuan paruh baya berusaha menenangkannya. Ia sesekali menyebutkan kata ayah, dan orang di sampingnya dengan mata berkaca-kaca berusaha terlihat tegar. Melihat anak kecil itu yang kehilangan ayahnya, teringat olehku tentang ayah. Hatiku terasa gelisah karena seringkali kasar padanya. Aku beranjak dari tempatku, dan berlari menuju ke rumah. Tak mempedulikan ramainya jalanan aku menyelip diantara kerumunan orang. Lalu sampailah aku di rumah.
Kuraih daun pintu dan membukanya perlahan. Tak kulihat ayah di ruang tamu. Mataku kucoba melihat ke setiap sudut rumah, dan tertangkap olehku ayah yang sedang duduk di dapur. Tangannya memegang secangkir air putih. Di atas meja, ia dihadapkan dengan berbagai botol-botol kecil warna putih. Berserak pula beeberapa pil dari dalamnya. Aku berjalan ke tempat ayah. Bau obat tercium menyengat di penciumanku. Lagi-lagi ia meminum obat itu.
“Kenapa minum itu lagi?!” bentakku. Wajahnya kemudian mendongak mmelihatku. Wajah lusuh seperti tak ada harapan. “Tadi ayah merasa lelah, jadi minum ini” katanya. Rasanya sesak di dada, tapi kucoba menahan emosiku. Lalu kuambil tabung teh yang diberi Vina itu, dan meletakkannya di hadapan ayah. “Minum ini jika ayah merasa lelah, jangan menelan benda ini lagi” ucapku sambil memegang pil warna merah itu. Wajahnya masih terlihat binngung, jadi kuseduhkan teh itu dan menyerahkannya pada ayah agar ia meminumnya.
“Apa ini? ayah lebih suka pil-pil itu” kalimat yang ia katakan itu berhasil membuat air dalam diriku mendidih sampai kepucuk kepala. Aku menjelaskan padanya dengan sangat perlahan yang kubisa. Tapi ia terus saja tak mau mengerti. Sampai tak tertahan lagi olehku, kulempar botol-botol obat itu, berseraklah pil-pil di lantai. Ayah tersentak meilhat ku membuang benda kesayangannya itu.
“Kenapa kamu buang itu? Itu satu-satunya yang bisa menenangkan ayah” lagi-lagi ia mengatakan hal-hal yang tidak penting. Aku tak bisa lagi menahan kata-kata yang sudah menunggu di tenggorokanku. “Kenapa ayah tak mau mengerti! Kenapa ayah cepat sekali menyerah! Lihatlah dirimu sekarang, benar-benar menyedihkan! menakutkan!! apa ayah tak memikirkan bagaimana nasibku yang hancur karena ayah seperti ini, kau tau terkadang teman-teman megejekku karena ayahku pecandu obat-obatan!” kata-kata itu dengan cepat menyembur dari mulutku. Suaraku menggelegar berhasil membuat ayah tak berkata-kata. Dadaku terasa sesak dan tanganku bergetar dengan keringat dingin bercucuran. Ayah menatapku diam, sorot matanya mulai meredam dan berkaca-kaca. Tangannya bergetar seraya mengusap dadanya.
“Maaf sisil, maafkan ayah…” suaranya pun terdengar terisak. “Jika mau minta maaf, maka berhentilah menjadi pecandu!!” teriakku. Segera kubalikkan badan meninggalkan ayah yang terdiam di sana.
Aku mengurung diri di kamar. Tak bisa kutahan butir-butir di ujung mataku, yang lalu berderai membasahi wajahku. Terlintas olehku wajah ayah tadi. Wajah yang tak terlihat muda lagi. Dulunya wajahnya begitu bersahaja dan penuh kegembiraan. Tapi sekarang yang ada kerutan-kerutan di wajahnya terlihat, wajah yang putus asa itu pucat pasi penuh khawatir dan rasa bersalah.
Tak tega untukku membentaknya seperti tadi. Tapi aku ingin dia melangkah keluar dari kesedihan yang berlarut panjang. Aku tak ingin melihatnya seperti itu, aku sangat kesal dengan diriku yang membentak ayah seperti tadi. Tanganku bahkan sampai ke kakiku bergetar ketakutan, isak tangis tertahan di tenggorokanku. Berkali-kali kucoba tarik nafas pendek untuk mengehentikan isakan ini.
“Brukk!!” suara keras terdengar dari balik pintu. Aku tersentak. Rasa khawatir mulai menjalar dalam diriku. Rasa takut yang semakin menggebu-gebu. Kuraih daun pintu dan kutarik cepat sampai membentur dinding di belakangnya. Aku berlari ke dapur dan terhenti langkahku. Kursi yang ayah duduki tadi telah terguling di depan kakiku. Ayah tergeletak di atas lantai. Seakan ada sesuatu yang menghantamku. Hingga kakiku bergetar hebat. Kupaksa berjalan tetuduk di hadapan ayah. Kubalikkan badannya yang tertelungkup. Terlihatlah wajahnya benar-benar pucat pasi tak berdaya. Terlukis juga garis garis menunjukkan ia sudah tidak sekokoh dulu. Aku menggerakkan tubuh ayah seraya memanggilnya. Tapi ia tak sadar diri. Tetes air mengucur dari mataku.
Dua hari berlalu setelah kejadian yang membuat palung hatiku hancur. Kini ku berdiri di tempat yang cukup hening. Desiran angin memainkan rumput-rumput disekitarku. Mataku berkaca-kaca menatap apa yang ada di hadapanku. Sebuah gundukan tanah yang baru kini ada di sebelah makam ibuku.
Serangan jantung yang ayah derita, membuat ayah menyusul ibu meninggalkanku. Terisak tangisku, tungkaiku terasa tak berdaya, terduduk aku menatap kedua gundukan itu. Kini penyesalan yang teramat dalam bersarang di hatiku. Kekalutan emosi dan kesedihan yang mendalam berkecimpung dalam diriku.
Cerpen Karangan: Syalzah. A