Aku menangis dalam melodi hujan. Mengenang sebuah kenangan, yang tak mungkin kembali. Aku menjerit melampiaskan kemarahannya pada hujan. Yang telah melenyapkan seorang ‘Malaikat tak bersayap’
Pagi telang tiba. Tapi nampaknya matahari masih malu-malu untuk menampakkan sinarnya. Aku terbangun dari tidur lelapku. Aku bangkit dari ranjangku. Lalu aku pergi ke ruang makan. Sepertinya mama dan papa sudah menunggu. “Morning ma, pa” sapaku saat sudah sampai di ruang makan. “Morning sayang” jawab mama dan papa. “Tumben bangun pagi. Biasanya kamu baru bangun jam 10 pagi” kata papa. Aku sedikit kesal dengan perkataan papa. Masa anaknya bangun pagi malah dibilang yang kayak gitu. Harusnya kan dipuji karena anaknya bisa bangun lebih pagi. Aku tidak menjawab perkatakan papa. Aku langsung duduk di sebelah mama. Menu sarapan kali ini adalah pancake saus karamel. Hmmm…. sepertinya enak nih. Aku pun memasukan pancakenya ke dalam mulutku. So Yummy.
Setelah pancakenya habis aku pergi mandi. Mama dan papa sudah berangkat kerja sebelum pancake yang kumakan habis. Aku pun pergi mandi. Di rumah aku sendiri. Aku memang sudah terbiasa sendiri di rumah. Di rumahku gak ada tuh yang namanya ‘hantu’. Jadi, di rumah aku santai-santai aja.
Malam telah tiba. Tapi mama dan papa belum juga pulang. Tak biasanya mama dan papa belum pulang saat sudah malam. Biasanya siang atau sore mama dan papa sudah pulang. Aku menjadi sedikit takut. Tiba-tiba Tok tok tok… Suara ketukan pintu terdengar. Aku jadi kaget. Segera kubuka pintunya. Ternyata itu mama dan papa. Aku memeluk mereka. Aku menangis dalam pelukan mama dan papa.
“Lho, kok kamu nangis sih sayang? Tanya mama. “Mama, papa kemana aja sih? Aku takut tahu” kataku masih terisak-isak. “Maaf ya sayang mama dan papa banyak kerjaan. Jadi pulangnya malam” Jawab papa menenangkanku. “Ya udah yuk, kita masuk” ajak papa. Aku mengangguk. Kami pun masuk.
“Oh, ya sayang alhamdulillah kata bos mama lagi, mama diangkat jabatannya jadi manajer. Jadi kayaknya setiap harI mama pulang malam terus” jelas mama. “Berarti aku di rumah sendiri donk sampai malam” kataku mulai nangis lagi. “Kan ada papa, papa pulangnya seperti biasa kok. Cuma kalau kerjaannya lagi numpuk papa pulang malem” kata papa. Aku hanya mengangguk. “Yaudah yuk kita tidur” ajak mama. Aku mengangguk. Mama mengantarkanku ke kamar. Mama menyelimutiku lalu meninggalkanku. Membiarkan aku terlelap.
Pagi telah tiba. Seperti biasa aku bangun lalu pergi ke ruang makan untuk sarapan. Terlihat di sana sudah ada papa. Lho, kemana mama? “Pagi, pa” sapaku. “Pagi sayang” jawab papa Aku lalu duduk di depan papa. “Oh, ya pa. Mama mana?” Tanyaku. “Mama udah berangkat kerja sayang” jawab papa lalu menyuapkan roti bakar ke mulutnya. “Hah?! Mama udah berangkat kerja?!” Aku kaget papa hanya mengangguk. “Kok cepet banget sih?” Tanyaku heran. “Ya iyalah, manejerkan harus berangkat pagi” jawab papa. Aku jadi sedih. Setiap pagi aku gak bakal lihat mama donk. “Jangan sedih donk. Sekarang mendingan kamu makan dulu tuh roti bakarnya” aku sama sekali tidak menyentuh roti bakarnya. Papa akhirnya mencoba menyuapkanku. Tapi aku tidak membuka mulutku. “Ayo, lah sayang. Makan ya… dikit aja” pinta papa. Memelas. Aku tetap tidak membuka mulutku. Papa membujukku dengan berbagai cara. Dan akhirnya aku pun mulai membuka mulut. Sesuap roti bakar masuk ke mulutku. Papa terlihat senang karena nafsu makanku sudah bangkit kembali.
Malam pun tiba. Mama belum juga pulang. Aku pun mulai cemas. Beberapa kali papa menyuruhku tidur. Tapi aku menolaknya. Aku akan tetap menunggu mama pulang. Tapi malam semakin larut. Mama belum juga pulang. Papa yang terlihat sudah ngantuk masih tetap menungguku. Lama-Lama aku juga jadi ngantuk. Sekali lagi papa menyuruhku untuk tidur. Akhirnya aku tidur dengan rasa kesal pada mama.
Dan esoknya aku terbangun dengan lesu dan kesal. Malas rasanya makan ke ruang makan. Tiba-tiba pintu kamarku terbuda. Ternyata itu mama! “Halo sayang. Ternyata kamu sudah bangun” sapa mama. Melihat wajah mama aku menjadi senang. Tapi aku menjadi teringat kejadian semalam. Rasa senangku hangus terbakar oleh rasa kesal dan kecewa. “Lho kok anak mama jadi cemberut sih?” tanya mama. Aku tidak menjawab. “Semalam kamu terus nungguin mama ya?” Aku tak mengeluarkan sepatah kata pun pada mama. Mulutku seperti terkunci. “Iya deh maafin mama”. Aku masih tak bergema. “Ehm… gimana kalau kita jalan-jalan?”. Aku mulai menatap mama. Tapi mulutku masih diam. “Kita jalan-jalan ke…” kata mama sambil berfikir. “Gimana kalau ke pantai? Kamu mau gak sayang?” Tanya mama padaku. Apa pantai?. Pantai adalah tempat favoritku mana mungkin aku menolaknya. “Iya, ma aku mau” kataku penuh semangat. Mama senang aku kembali semangat. “Ya udah sekarang kamu makan dulu gih terus siap-siap ya. Oke?” Suruh mama. Aku dan mama ber-tos ria. Aku pun beranjak ke meja makan. Disusul mama. Di ruang makan sudah ada papa sedang meneguk kopik hangatnya. “Pagi pa” sapaku dengan ceria. “Pagi sayang” jawab papa. “Anak papa udah ceria lagi nih” kata papa senang. Aku hanya tersenyum
Akhirnya aku sudah siap! Aku segera menghampiri mama dan papa yang sudah menunggu di mobil. Aku memasuki mobil. Aku duduk di jok belakang. Di sebelah mama. Mobil pun melaju menuju tempat tujuan. Pantai. Di tengah jalan, mama mendapat telepon entah dari siapa. Mama berbicara serius. Ternyata itu dari bos mama. “Sayang… maaf ya mama harus ke kantor dulu ada yang perlu diselesaikan. Kamu ke pantaiannya sama papah aja ya” kata mama terburu-buru. Mobil berhenti mama keluar dari mobil. Mobil melaju kembali. Aku rasanya jadi malas ke pantai.
Esoknya aku bangun tanpa sapaan mama. Mama benar-benar membuatku marah. Aku sudah tak betah di rumah. Rasanya aku ingin pergi saja. Aha! Aku punya ide. Aku kabur dari rumah saja. Terus aku mau nginap di rumah Clara temanku.
Dan malamnya aku menjalankan misiku. Aku memanjat jendela dan berhasil keluar. Aku pun mulai pergi ke rumah Clara. Clara menerimaku. Dan esoknya mama dan papa mencariku. Mereka khawatir sekali padaku. Tapi aku tak mengetahui itu. Saat makan malam aku melihat kemesraan tante Rina, mamanya Clara dan Clara. Mereka terlihat saling menyayangi. Aku menjadi teringat mama. Hatiku berkata bahwa aku harus pulang.
Aku pamit pada tante Rina juga Clara. Aku berlari ke rumah. Aku sampai ke rumah dengan nafas terengah-enggah. Di depan rumah terlihat mama dengan wajah cemas. “Mama” panggilku. Mama menoleh. Mama langsung berlari ke arahku. Mama pun memelukku. Tiba-tiba turun hujan. Aku mengajak mama bermain hujan. Untuk mengenang masa lalu kami yang sering bermain hujan. Kami menari-nari. Menyenangkan sekali.
Tapi kesenangan itu tak berlangung lama, mama terpeleset dan kepala mama terkena batu. Aku jadi panik. Aku langsung membawa mama ke rumah sakit. Mama ditangani oleh dokter. Dokter keluar dari ruang pemeriksaan. “Dok, gimana keadan mama saya?” Tanyaku. “Mohon maaf dek. Tapi ini sudah takdir” jawab dokter membuatku semakin tak kuat. “Ada apa dok. Mama saya kenapa?” Tanyaku mengguncang-guncangkan tubuh dokter. “Ibu adek sudah dipanggil oleh sang kholiq” jawab dokter dengan rasa bersalah. Aku terduduk lemas. Papa memelukku. Baru saja aku berbaikan pada mama. Tapi kenapa mama pergI begitu cepat? Ini semua salah hujan. Kalau hujan tak turun mama mana mungkin meninggal. Aku benci hujan!
Aku menagis dalam melodi hujan. Mengenang sebuah kenangan, yang tak mungkin kembali. Aku menjerit melampiaskan kemarahanku pada hujan yang telah melenyapkan ‘Malaikat tak bersayap”
Cerpen Karangan: Alfia Rahmayanti