Masa kecil adalah masa yang menyenangkan, berbeda dengan diriku yang hidup di sebuah desa yang dikelilingi hamparan sawah yang luas. Saat aku terlahir di dunia, sanak keluargaku sangat bahagia. Bagaimana tidak, di antara keenam cucu nenekku, hanya aku yang berjenis kelamin perempuan. Saat badanku masih memerah, ayah melantunkan lafaz adzan, pertanda bahwa aku terlahir dalam keadaan Islam. Saat pemberian nama, ibu memberiku nama “Lestari” karena terinspirasi dengan nama salah seorang tokoh cerdas di Indonesia. Ibu mengidam-idamkan kelak anaknya menjadi wanita cerdas.
Ketika memasuki usia dua tahun, aku diasuh oleh nenek karena ibuku baru saja melahirkan anak keduanya, adikku. Ditambah lagi ayah yang sibuk dengan rutinitasnya di kantor. Bersama waktu, nenek berjanji akan mengembalikkanku ke pangkuan ibu ketika adik sudah balita. Hingga usia lima tahun, hanya ada sawah dan kebun dalam duniaku. Ku nikmati kehidupan di daerah yang sejuk, setiap pagi bersama kakek dan nenek berjalan melewati pematang sawah sembari mendengar kicauan burung-burung yang merdu. Di kebun, nenek selalu bercerita tentang masa lalu yang pernah ia rasakan, sejak zaman orde baru hingga saat ini. Hingga tak ada waktu untuk mengenal film kartun, film kungfu, bahkan dunia boneka. Aku hanya mengenal monyet di kebun.
Memasuki usia lima tahun, aku kembali ke pangkuan orangtuaku. Aku pun sekolah di taman kanak-kanak atau yang biasa dikenal dengan TK. Di TK, aku sulit beradaptasi. Teman-temanku mahir berbahasa Indonesia, sedangkan aku hanya bisa berbahasa daerah. Tak mampu memegang pulpen, apalagi membaca. Guruku mungkin menyerah karena aku tidak pandai. Yang jelas ada ijazah yang ku miliki agar bisa lanjut di Sekolah Dasar. Akhirnya aku pun duduk di bangku SD dan mengenakan seragam putih merah.
Pelajaran dimulai, aku merasa terasing, entah bagaimana cara agar bisa berkenalan dengan teman-teman, aku hanya memilih sendiri di sudut kelas. Di luar kelas, terlihat banyak yang mengenakan seragam yang sama denganku. Ada yang bermain kelereng di lapangan, ada yang bermain kasti, sedangkan aku hanya membisu sembari melihat kiri dan kanan. Tiba-tiba ada yang menghampiriku.
“Niga asemmu?” Aku hanya mendongkol. Lalu ia kembali bertanya, “Niga asemmu?” Aku jawab, “Hilda Lestari Harmani, sering disapa Tari.” “Hay Tari, namaku Dian. Yuk kita main kasti.” ajak Dian. “Iya, terima kasih Dian. Aku duduk di sini saja.” “Ayolah Tariiiiiiiii!!” sambil menarik tanganku. Aku hanya geleng-geleng kepala.
Itulah aktivitas rutinku di sekolah, hanya ada diam dan diam. Hingga saat ini, aku menjadi anak bodoh. Tahun demi tahun berganti, setiap penyerahan raport, aku selalu mendapat peringkat terakhir. Bagaimana tidak, aku dididik oleh sawah, kebun, dan monyet. Tiada bimbingan bahkan secuil motivasi dari nenek, hingga kembali ke pangkuan ayah ibu. Beberapa semester telah ku lewati, semakin hari aku semakin bodoh. Hari itu, aku belajar matematika. Saat Ibu Ida menulis 8 X 7 di papan tulis, temanku menjawabnya dengan tepat. Tiba-tiba Ibu Ida menatapku lekat-lekat, “Jawabannya lima puluh enam! Dasar anak bodoh!”
Yah, luar biasa bodoh saat itu. Guru killer itu sangat mudah memvonisku “anak bodoh”. Padahal di lain sisi, ayahku adalah orang yang pandai. Buktinya, saat sekolah, selalu meraih peringkat satu, di bangku kuliah, nilainya selalu tinggi, ia juga aktif di Resimen Mahasiswa. Saat di Pascasarjana, ia adalah magister terbaik. Begitu pun dengan ibuku, saat sekolah selalu meraih peringkat satu, berbakat di bidang seni, ketika menyanyi suaranya sangat merdu. Tetapi, mengapa anaknya terlahir seperti ini? Oh Tuhan, sungguh ini adalah sebuah opini.
Seminggu kemudian, peristiwa memalukan terjadi, lagi-lagi belajar matematika. Saat giliranku untuk menjawab 9 X 9, aku hanya mendongkol luar biasa. Aku tak tahu sama sekali tentang perkalian. Tiba-tiba, Ibu Ida membentur kepalaku di dinding kelas lalu mencubit paha dan betisku hingga berdarah. Aku pun berlari tertatih-tatih menuju rumah. Aku anggap sekolah menjadi malapetaka. Kebetulan, hari itu ayah tidak masuk kantor. Ayah pun bergegas menemui guruku.
“Dasar guru tidak tahu aturan! Berani sekali menganiaya anak saya!” bentak ayah. “Maaf Pak. Begini, anak Bapak memang belum pandai berhitung. Mana bisa naik kelas kalau begini?” “Iya, saya tahu Bu. Bahkan saya sangat paham tentang dunia pendidikan. Menghukum anak itu wajar, tapi kalau keterlaluan seperti ini, saya jadi tidak suka dengan sikap Ibu.”
Akhirya kabar tak sedap itu pun tersebar dan guruku dipecat. Waktu berlalu begitu saja, namun masih meninggalkan cerita yang tak layak diperbincangkan lagi. Satu sekolah bahkan satu kampung sudah tahu bahwa Tari dianiaya oleh guru killer. Pernah suatu hari, ku urungkan niatku untuk putus sekolah. Aku hanya anggap bahwa menuntut ilmu itu membuat hati dan tubuh menjadi teraniaya. Aku berdiam diri di rumah. Saat ayah kehabisan akal membujukku, ayah mengambil sebatang kayu kecil lalu memukul betisku hingga kayu itu patah. Saat itu aku berpikir bahwa aku harus bangkit. Aku masih anak-anak, pikiran dan karakterku seperti orang dewasa.
Aku yang dulu hidup bersama nenek di desa terpencil, setelah kembali bersama ayah ibu, akulah yang selalu melaksanakan rutinitas ibu, mencuci pakaian ibu, ayah, dan adik. Menjaga adik ketika ibu dan ayah sibuk dengan urusan masing-masing. Pernah suatu hari, ayah terlambat menerima gaji, saat adik menangis kehabisan susu, akhirnya susu formula yang diminum, diganti dengan air tajin.
Aku merenung. Jika sifat manja selalu ada, maka lingkungan akan murka kepadaku. Namun jika sikap dewasa itu selalu ada, aku yakin bahwa lingkungan akan cinta kepadaku. Di usia diniku, aku telah menulis sepuluh target terbesar. Target awal aku harus melanjutkan pendidikan di pesantren, setalah itu aku ingin menjadi seorang penulis.
Hari yang ku nanti telah tiba, saat penerimaan raport, aku mendapat peringkat sepuluh. Inilah menjadi kebanggan tersendiri, dari peringkat terakhir naik menjadi urutan kesepuluh. Libur panjang tiba, aku bersama ayah, ibu, dan adik berlibur ke Pulau Dewata, Bali. Keliling Indonesia adalah impianku sedari dulu, aku harap setelah liburan di Pulau Dewata, aku akan menjelajahi Negeriku mulai dari Sabang sampai Merauke.
Mengabiskan waktu di Bali sangatlah berkesan. Akhirnya liburan pun usai. Kini aku kembali beraktivitas di sekolah. Hari pertamaku di kelas lima. Semua adalah baru, wali kelas baru, seragam baru, dan suasana baru. Guruku sangat baik, ia tidak pernah memukul kami. Setiap minggu kami menghabiskan waktu bersama di pinggir pantai. Selama aku di kelas lima, di situlah aku belajar giat. Aku harus mendapat ranking satu, dengan semangat aku harus mengalahkan teman-temanku. Aku harus menjadi bintang gemerlap buat ayah dan ibuku.
Beberapa bulan terlampaui, aku diutus untuk ikut lomba olimpiade tingkat kecamatan, aku pun juara satu. Hingga ke tingkat provinsi, aku mewakili provinsiku menuju tingkat nasional. Di tingkat nasional itulah aku bertekad untuk juara satu agar aku mendapat hadiah tour ke Brunei. Tapi sayang aku juara dua, aku diberi hadiah satu unit sepeda motor. Hadiahku ku persembahkan buat ayah dan ibu yang selama ini berjuang untukku.
—
Hari-hariku terasa bahagia, bersama keluarga kecilku, bersama sahabatku, Dian yang senantiasa mendengar segala keluh dan kesahku. Setahun telah berlalu, setelah ujian nasional diadakan, hari penamatan pun tiba. Aku mewakili teman-teman untuk menyampaikan pesan dan kesan. Protokol membacakan susunan acara, acara kelima tibalah giliranku. Ku langkahkan kakiku dengan rasa gugup berdiri di depan orang banyak. Ku mulailah sambutanku.
“Bapak Bupati, Bapak Kepala Sekolah yang saya hormati, serta hadirin dan hadirat yang tidak sempat saya sebut satu persatu yang saya hormati pula, teristimewa kepada teman-temanku yang saya sayangi. Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Puji dan syukur kepada Allah SWT, yang memberikan berkah kepada kita semua, juga nikmat yang tiada tara. Shalawat dan salam senantiasa kita curahkan kepada Nabi Muhammad Saw, nabi yang menjadi uswatun hasanah bagi kita sekalian. Saya berdiri di sini, mewakili teman-teman untuk berbicara menyampaikan kata sambutan bukan berarti saya orang hebat, tapi yang saya miliki hanyalah tekad kuat dan semangat menimba ilmu di sekolah tercinta ini.”
“Alhamdulillah kami lulus seratus persen setelah berjuang menuntut ilmu selama enam tahun dan melewati ujian nasional dengan penuh perjuangan. Akhirnya kita berpisah, dengan berat hati itu sudah menjadi sunnatullah bahwa dimana ada pertemuan, di situ ada perpisahan. Terima kasih kepada orangtua yang telah berjasa, memberikan kami dukungan, tanpa kalian kami tidak bisa apa-apa. Saya meraih prestasi bukan karena saya jago, tapi berkat dari doa dan dukungan Ibu dan Ayah saya.”
“Begitu pun ucapan terima kasih kepada Ibu dan Bapak guru, terima kasih atas segala dedikasimu, tanpamu kita tidak bisa menulis, membaca hingga berhitung. Tanpamu kita tidak bisa membedakan baik dan buruk. Semoga kami sukses dengan ilmu yang engkau berikan bisa menjadi tatanan hidup kedepannya. Juga buat teman-temanku sekalian, terima kasih atas persahabatan yang selama ini kita telah jalin bersama.”
“Saya berharap semoga selamanya kita selalu menjadi sahabat yang baik, jangan ada rasa benci di antara kita. Akhirnya, saya ucapkan sekian dan terima kasih. Mohon maaf bila ada kekurangan. Wassalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Setelah menyampaikan sambutan, semua yang hadir bertepuk tangan.
—
Setiba di rumah, ibu dan ayah bertanya, “Kamu mau lanjut sekolah di mana?” Aku hanya tunduk dan menjawab terbata-bata, “Maunya sih di Pesantren.” Ayah dan ibu mengiyakan keinginanku.
Cerpen Karangan: Waode Utari Tantri Rahmani Facebook: Waode Utari Tantri Rahmani Nama saya Waode Utari Tantri Rahmani.