Jantungku seakan berayun-ayun seumpama buah mangga yang digoyangkan oleh angin. Berdegup kencang, darahku serasa mengalir deras. Ubun-ubunku bagaikan mendidih, serupa direbus di dalam panci. Bergulat di dalam benakku pikiran-pikiran negatif, yang tumbuh akibat kabar-kabar yang dikatakan orang. Jujur, aku belum punya pendirian. Pendirian hidupku masih tak teguh, ditambah lagi pengaruh negatif orang-orang luar yang menghasutku.
Keinginanku untuk bersekolah, seakan patah dibuatnya. Kemarin, aku baru saja mendapatkan amplop putih yang terbungkus rapat. Kami, seluruh kelas 9 SMPN 2 LELEA menunggu di halaman sekolah untuk mendapatkannya. Berdiri di bawah teriknya mentari yang mengejek dari atas sana. Kami basah kuyup, keringat mengucur deras. Karena sudah 2 jam kami menunggu. Setelah lama menanti, Pak Rikky datang, seseorang yang membawa amplop itu. Kami semua tak sabar menunggu giliran. Satu per satu maju ke depan. Bayangkan saja, 300 anak lebih, berapa lama lagi kami harus duduk manis di lapangan yang panasnya seperti kompor itu. Pantat kami seakan di panggang dari bawah, ubun-ubun kami serasa akan dicairkan dari atas.
Satu jam setengah, berlalu sudah. Giliranku dipanggil, maju ke depan. Pengeras suara hampir tak terdengar. Histeria anak-anak menyamarkan suara petugas pemanggil, ada yang menangis, dan ada yang menjerit-jerit tak karuan. Kini giliranku, aku memantapkan langkahku. Perlahan tapi pasti, aku melangkah sempoyongan. Rasa lelah, penasaran, bercampur aduk dalam situasi ini.
“Harry Handika, kelas 9 d,” pengeras suara terdengar memanggilku lantang. Aku maju ke depan. “Ini surat kelulusanmu. Silakan di buka, apapun hasilnya tetap semangat.” Ucap Pak Rikky sambil mengulurkan amplop putih itu, terbungkus rapi, tak ada celah sedikitpun. Wajahnya pias, suaranya sendu. “Terima kasih, Pak.”
Bergegas aku meninggalkan, detak jantungku berdebar-debar. Tanganku gemetaran memegang amplop. Badanku dingin, aku segera mencari tempat yang sepi. Aku tak suka keramaian. Di belakang sekolah, merupakan tempat yang pas menurutku. Berderak langkahku menuju pembukaan amplop paling bersejarah dalam hidupku. Di dalamnya, kelanjutan hidupku tersimpan. Akankah aku bisa melanjutkan pencaharian ilmuku, ataukah terhenti di sini saja. Sangat menyedihkan jikalau tak lulus, bersekolah tiga tahun lamanya tak mendapat ijazah sama sekali. Tanpa predikat lulus, menyeringai dalam benakku bayang-bayang keputus asaaan.
Aku duduk di atas batang pohon yang tumbang dihantam angin. Sembari kupandangi hamparan sawah yang hijau, luas membentang dalam pandangan. Kutatap langit yang setiap hari mengawasiku dari atas. Aku tak mau buru-buru membukanya. Ingin kurasakan fenomena kelulusan dengan suasana yang berbeda. Bergelayut dalam benakku, masa-masa SMP yang begitu penuh kenangan. Dijejali ilmu-ilmu setiap hari, digembleng untuk menjadi pribadi yang bermoral. Setiap pagi, aku selalu berangkat pertama ke sekolah. Di saat penjaga-penjaga sekolah masih sibuk dengan sapu-sapu kesayangannya, mengusir sampah yang menjajah. Setiap hari, aku diantarkan oleh ayahku dengan sepeda motornya yang butut, tiga tahun lamanya. Diejek sebagai anak pecundang, sudah sering kuterima.
Sering rasanya, aku tak mendapatkan uang jajan sepeser rupiah pun. Waktu itu, krisis ekonomi keluargaku berada di puncaknya. Aku hanya melihat anak-anak yang lain jajan dengan wajah yang riang, sementara aku hanya duduk mengamati, air liur seakan mencair dalam mulutku. Terkadang aku iri dengan mereka, mendapatkan fasilitas yang sangat mencukupi. Tapi aku tetap menerima apa yang dideraku selama ini.
Bayangan-bayangan itu berkelebat. Aku masih menggenggam amplop itu, sedikit basah, terkena keringat dingin yang keluar dari tanganku. Jika lulus pun, aku tak tega meninggalkan kenanganku begitu saja. Pernah suatu kali, aku kehabisan uang. Perutku lapar, seakan dikocok dari dalam. Dengan senang hati, penjaga kantin menawarkanku makan gratis. Tak sampai di situ saja, beberapa kali aku meraup rupiah di sekolahku itu. Ketika ada tugas dari guru untuk membawa sesuatu, maka aku menjualnya kepada teman-temanku. Tanpa rasa malu, aku berkeliling menawarkan yang kubawa, spidol warna, karet gelang, lilin malam pun pernah ku jual. Hasilnya lumayan, laku habis.
Semakin lama rasa penasanku menggunung. Dengan perasaan yang gemetaran, aku menarik nafasku dalam-dalam. Aku menutup mataku, aku menghitung mundur untuk membukanya. “Bismillahirohmanirohim, 3, 2, 1,” aku menghitungnya sambil membukanya perlahan. Aku membuka mataku, sedikit demi sedikit. Perasaanku sangat lega ketika aku melihat tulisan di dalamnya “LULUS” dengan rata-rata nilai 92. Aku langsung sujud syukur, air mata menetes membasahi pipiku. Namun, aku masih memikirkan. Perjuangan dan perjalanan hidupku akan semakin berat. Aku harus mencari sekolah baruku nanti. Aku hanya mempunyai tekad yang kuat, untuk mengangkat ekonomi keluarga.
Aku pasrah, dengan hanya bermodalkan lembaran sertifikat-sertifikat juara aku berharap bisa bersekolah gratis di sekolah yang aku idam-idamkan. Aku berharap menempuh hidup yang lebih layak. Aku menatap hidupku sejauh mata memandang. Kutatap masa depanku dengan sejuta mimpi-mimpiku.
Cerpen Karangan: Harry Handika Facebook: Harry Handika
SEKILAS TENTANG PENULIS: Nama: Harry Handika TTL: Indramayu, 06 September 2000 Alamat: Desa Tunggulpayung Kec.Lelea Kab.Indramayu NO HP: O89668149646 Email aktif: harryhandika8[-at-]gmail.com Pengalaman menulis: – juara 1 fls2n smk cipta dan baca cerpen tingkat prov.jawa barat 2016, – juara 1 fls2n smk cipta dan baca cerpen tingkat kab.Indramayu 2016, -juara harapan 1 fls2n smp cipta cerpen berbahasa indonesia tingkat kab.Indramayu 2014.