Sore itu aku masih duduk dibangku halte bus tidak jauh dari sekolah. Sepasang mataku sedari tadi tak luput memperhatikan dua orang muda mudi yang berada di warung seberang. Seolah tengah mendukung keberadaan ku disana hujan pun tengah datang dengan begitu derasnya.
Mereka seolah olah menahanku agar menetap disana dan membiarkan aku kembali tersakiti.
Entah karena aku yang terlalu berpikir negatif atau apa tapi aku merasa hidupku memang tak pernah diberikan kebahagiaan.
"Hey,"
Aku tersentak saat merasakan bahuku ditepuk seseorang. Aku menoleh dan terpaku saat menemukan sepasang mata yang begitu indah tengah menatapku dari jarak yang begitu dekat. Dia yang ku kira tak akan pernah merasakan kehadiranku kini justru berada sangat dekat denganku.
Entah berapa lama aku melamun hingga tak menyadari jika saat ini hujan sudah mulai reda. Bahkan orang orang yang tadi bersamaku di halte kini telah menghilang.
"Lo gak pulang?" tanya orang tersebut. Sesaat matanya menatap ke sekitar sebelum aku menemukan sepasang mata itu kembali tertuju padaku. "Hujan sudah mulai reda," katanya
"Gue---," suaraku terpotong kala handphone yang berasal dari saku lelaki itu tiba tiba saja berbunyi. "Sebentar ya," dia terlihat menjauh untuk mengangkat panggilan telepon hingga membuatku akhirnya tersadar dari pesonanya yang begitu membahayakan. Aku bahkan baru tersadar jika sedari tadi aku begitu terlena menatapnya.
Aku menghembuskan nafas lelah dan segera menunduk. Senyum miris kembali terbit di bibirku. Lagi lagi seperti ini. Aku harus terima kenyataan jika aku memang tidak ditakdirkan untuk bahagia. Dia bukan orang yang bisa ku gapai dengan mudah. Bahkan untuk menatapnya saja terasa salah.
Maka aku memutuskan untuk segera pergi dan meninggalkannya. Dan berharap jika rasa itu juga akan semakin menghilang sebagaimana jarak kami yang menjauh.
Tapi takdir kembali bermain main. Aku mungkin baru melajukan langkahku yang ke tujuh saat sebuah suara kembali terdengar. Aku segera membalikkan badan.
"Lo mau kemana?" aku merasa bingung dengan tatapannya yang tiba tiba saja terlihat tajam. Tapi lebih daripada perasaan bingung aku justru lebih sedih karena tertampar dengan kenyataan. Dia terlalu sempurna dan aku jelas bukan radarnya.
Tuhan, aku menyerah.
"Pergi," lirihku
Dia hanya menatapku dengan begitu intens. Begitupun denganku. Dua orang yang tidak pernah saling berbicara justru kini saling menatap dengan penuh arti. Meskipun raga mereka selama ini tidak terhubung tapi siapapun yang melihat mereka saat ini akan tau jika perasaan keduanya terhubung.
"Enggak, Lun. Lo gak boleh pergi lagi," kata Liam dengan begitu lancangnya.
Aku merasakan nafasku yang seolah tersendat. Diiringi dadaku yang terasa menyesak.
"Kenapa?" aku mempertahankan suaraku agar tidak terdengar bergetar
"Maaf," Liam berjalan mendekat. Lelaki itu berhenti tepat di hadapanku yang kini menatapnya dengan mata memerah.
"Gue minta maaf Lun, maaf karena selama ini gue berpura pura gak tau dengan perasaan lo. Maaf karena gue berpura pura gak peduli sama lo," kata Liam. "Tapi Lun---,"
Aku tidak yakin bisa bertahan lagi. Bahkan sekarang aku menyadari jika air mataku tengah mengalir membasahi pipi.
"Gue mau pulang," potongku. Aku tidak mau seperti ini. Tolong jangan permainkan aku.
"Gue sayang sama lo Lun," dia menahan pergelangan tanganku yang hendak menjauh. "Tolong jangan pergi," ucapnya
"Gue butuh lo," kata Liam. "Gue sayang lo, Luna,"
Dan tubuhku tiba tiba saja luruh. Aku berjongkok dengan kedua tangan menutup wajah. Menangis. Itulah yang kulakukan sekarang. Entah berapa lama aku tidak mendengar kalimat tersebut di tujukan padaku.
Inikah bahagia? Kenapa masih terasa menyakitkan?
Ayah, ibu, apakah benar kalian telah menitipkan dia untukku? Aku memang menginginkan dia, tapi jelas aku lebih butuh kalian.
"Maaf Lun, maaf atas keterlambatan gue,"
Aku merasakan tubuhnya melingkupiku. Memelukku. Menjagaku dari kesepian yang mungkin akan kembali datang.
"Sekarang ada gue. Tolong terima gue dalam hidup lo," pintanya membuatku semakin menenggelamkan kepalaku di dadanya.
Tangisku kian menyesak.
"Apa gue bisa merasakan bahagianya di cintai?" aku menatapnya dengan penuh kesedihan
"Bisa Lun," jawab Liam yakin. "Gue yang akan selalu ada bersama lo. Cinta, sayang, waktu dan semua yang ada dalam diri gue bisa lo ambil sepuasnya,"
Dia mencium dahiku dan aku kembali menangis. Bukan lagi kesedihan tapi kebahagiaan.
Inikah bahagai? Apakah sekarang waktunya aku benar benar merasa bahagia?
#Cerita Romantis
Arin