“Kamu pikirkan lagi deh, Mes. Apa yang kamu liat dari dia? Kamu itu satu-satunya harapan keluarga kita. Kamu satu-satunya anak Ayah dan Bunda yang sukses dan punya penghasilan tetap. Seharusnya kamu lebih selektif memilih pendamping hidup. Jangan seperti kakak. Kalau menyesalnya nanti setelah kamu punya anak, susah Mes. Kasihan anak kamu, kasihan Bunda. Untung kakak belum sempat punya anak. Mau dikasih makan apa anak kakak nanti?”
Kabar ini berhembus ke telinga Miranti kemarin sore, saat Bunda memintanya datang ke rumah untuk membicarakan sesuatu. Ternyata persoalan ini, Mesya yang ingin menikah. Miranti tidak habis pikir dengan keputusan adiknya itu. Bukan persoalan kapan Mesya akan menikah, namun dengan siapanya. Miranti berharap sosok yang mendampingi Mesya adalah sosok yang bisa dibanggakan dan bisa menjamin kehidupan adiknya kelak.
“Mesya sudah pikirkan, Kak. Mesya sudah yakin.” Mesya menjawab dengan tenang. Ditawarkannya secangkir teh pada Miranti namun Miranti menggeleng. Mesya tidak tahu kakak tertuanya itu akan datang ke kontrakan miliknya sore ini. Namun Mesya sudah tahu apa yang akan dibahas oleh kakaknya, karena baru kemarin Mesya bertemu dengan Ayah dan Bunda untuk membicarakan masalah pernikahannya.
“Hilman itu kerjanya apa?” Miranti bertanya dengan nada kesal. “Dia montir motor, Kak. Kakak pasti sudah dengar dari Bunda.” Mesya tahu Miranti sedang berusaha merubah keputusan yang sudah bulat Mesya buat. “Ya karena itu! Kakak mau memastikan apa kamu lupa kalau dia itu cuma montir motor.” “Montir itu bukan ‘cuma’. Dia ahli dalam pekerjaannya dan penghasilan dia halal, Kak. Nggak ada masalah sama sekali.” Mesya tersenyum memandang wajah kakaknya yang berkerut cemas. “Kakak tau Mesya kerja apa?” “Konsultan keuangan,” jawab Miranti ketus. Ia belum bisa menebak ke mana arah pembicaraan adiknya ini karena menanyakan hal yang sudah pasti ia tahu. “Kakak tau penghasilan Mesya berapa per bulannya?” “Paling sedikit dua puluh juta,” lagi, Miranti menjawab tanpa ragu. “Dan menurut Mesya itu sudah cukup, Kak. Ditambah penghasilan Hilman, hidup kami akan lebih dari cukup. Kakak tau Mesya juga nggak biasa hidup mewah karena Bunda sudah mengajarkan kita hidup sederhana dari kecil dulu. Yang terpenting, Mesya tau kalau Hilman itu laki-laki bertanggungjawab. Dia nggak akan mengajak Mesya menikah kalau dia belum merasa mampu lahir dan batin.” Penuturan panjang dari Mesya sama sekali tidak menyentuh hati Miranti, hal itu terlihat dari wajahnya yang masih saja masam. “Kenapa mesti dia, Mes? Kamu carilah laki-laki yang lebih pantas buat kamu. Masa tukang bengkel begitu. Kakak pernah kenalkan kamu sama Setyo. Dia itu manajer BUMN, ganteng, dari keluarga baik-baik. Sekelas sama kamu. Nanti kakak hubungi dia lagi. Kakak yakin dia mau nikah sama kamu.” “Kak,” Mesya menghela nafas berat. Ternyata berbicara dengan kakaknya jauh lebih sulit ketimbang berbicara dengan orangtuanya. Ayah dan Bunda memang tidak secara langsung memberikan persetujuan mereka. Namun Mesya tidak pernah mendengar mereka mengeluarkan nada penuh hinaan saat menyebut pekerjaan laki-laki yang ingin ia nikahi itu. “Mesya nggak berasal dari kelas manapun. Dan apapun pekerjaan laki-laki yang akan jadi suami Mesya, selagi itu halal, Mesya akan terima. Tujuan manusia itu bekerja untuk mendapat penghasilan supaya bisa bertahan hidup. Bukan mengharap pujian dan bisa dibangga-banggakan ke manusia lain. Mesya menikah bukan ingin menambah jumlah harta Mesya, Kak. Mesya ingin membina keluarga dan menjadi istri yang mengabdi dengan suami.” “Sekarang kamu bisa bicara begitu karena kamu belum tau kenyataan pernikahan itu seperti apa. Ujung-ujungnya pasti uang, uang, dan uang. Sekarang kamu merasa bisa mengandalkan cinta dan rasa tanggung jawab. Tapi nanti, saat kebutuhan rumah tangga bahkan keperluan suami kamu menghabiskan seluruh gaji kamu, kamu pasti menyesal. Kamu baru sadar kalau ucapan kakakmu ini benar. Realistis sajalah, Mes. Kalau bukan karena gaji yang bagus, kamu nggak mungkin bertahan bekerja di perusahaan itu. Kamu berkomitmen karena kamu mendapatkan umpan balik yang pantas. Pernikahan juga sebuah komitmen. Apa menurut kamu kakak menikah dulu bukan karena cinta? Tapi lihat, uang hilang, surat cerai yang datang.” “Kak,” Mesya goyah. Tidak pernah disangka olehnya ia akan goyah mendengar ucapan sang kakak. “Mesya… akan pikirkan lagi.” Kali ini Miranti menyunggingkan senyuman. “Itu yang kakak mau, pikirkan dulu matang-matang. Nanti kakak hubungi Setyo. Kamu juga harus coba jalan dengan orang yang sejajar dengan kamu.” Ingin sekali rasanya Mesya melakukan perlawanan saat lagi-lagi kakaknya merendahkan Hilman secara tidak langsung. Namun bibir Mesya seolah terkunci. Entah hal itu berarti ia mulai ragu pada keputusannya atau hanya lelah mendengar Miranti berusaha merubah pikirannya.
Hari ini Mesya memenuhi janjinya pada Miranti. Ia akan pergi makan siang dengan Setyo di restoran ternama yang ada di kota, tanpa sepengetahuan Hilman. Hubungan Mesya dan Hilman baik-baik saja. Mereka tidak memberi label apapun pada hubungan mereka karena Hilman ingin langsung menikahi Mesya jika Mesya sudah siap, tanpa bertunangan terlebih dahulu. Mesya hanya tidak ingin terjadi kesalahpahaman dan tidak ingin menyinggung perasaan Hilman jika Hilman tahu bahwa kakaknya sedang berusaha menjodohkannya.
“Aku dengar kamu jadi konsultan sekarang?” tanya Setyo disela acara makan siang mereka. “Iya, Alhamdulillah. Begitu selesai S2 aku langsung dikontrak.” “Kenapa nggak buka firma sendiri saja?” “Mungkin nanti, setelah banyak pengalaman. Aku juga masih banyak belajar dari senior-senior di kantor.” Setyo mengangguk mendengar jawaban Mesya.
Mesya tidak akan berbohong kalau Setyo memang laki-laki yang menarik. Setelan bermerek, sikap dan percaya diri yang mengesankan, ditambah wawasan yang luas. Setyo memiliki segala kelebihan dan keunggulan yang diharapkan oleh para orangtua untuk menjadi calon menantunya. Mungkin respon Ayah dan Bunda akan berbeda jika Mesya mengatakan akan menikahi Setyo. Ayah dan Bunda pasti akan langsung menyetujuinya tanpa harus mempertanyakan rencana masa depan mereka. Berbeda dengan respon yang Mesya terima saat ia mengatakan akan menikahi laki-laki sederhana tamatan SMA yang bekerja sebagai montir di bengkel kecil. Tanpa harus bertanya, Ayah dan Bunda sudah bisa menebak jumlah penghasilan Hilman yang bahkan tidak sampai setengah dari gaji yang Mesya terima setiap bulannya. Saat kedua orangtuanya menanyakan kenapa Mesya begitu yakin dengan Hilman, Mesya memberikan jawaban yang sama seperti yang ia katakan pada kakaknya, Miranti. Ia yakin dan percaya Hilman adalah laki-laki yang bertanggungjawab.
“Setelah ini kamu mau mampir ke suatu tempat?” tanya Setyo setelah membayar tagihan mereka. Mesya mengangguk pelan. “Singgah sebentar ke rumah orangtuaku, nggak apa-apa?” “Nggak masalah.” Setyo menyetujui.
Sepanjang perjalanan pulang, Setyo berbagi pengalamannya selama bekerja di BUMN. Ia seorang teknisi yang digaji dua kali lipat dari penghasilan Mesya. Mesya bisa menangkap rasa bangga saat Setyo bercerita mengenai usaha dan kerja kerasnya hingga bisa mendapatkan posisi di sana. Wajar saja, untuk mendapatkan pendidikan yang harus dibayar saja begitu susah apalagi mendapat pekerjaan yang bersedia membayar tinggi untuk kerja keras kita.
“Kelihatannya sepi,” kata Setyo saat mendapati pagar dan pintu rumah tertutup rapat. “Mungkin Ayah dan Bunda sedang keluar.” Mesya membuka pagar, kemudian mengambil kunci rumah yang disimpan di bawah salah satu pot bunga. “Ayo masuk,” ujarnya setelah membuka pintu. “Ayah dan Bunda kamu cuma tinggal berdua?” tanya Setyo. “Iya,” Mesya mempersilahkan Setyo duduk dengan sopan. “Kamu mau teh?” tawarnya. “Ya, terimakasih. Jangan terlalu manis,” jawab Setyo. Kemudian Mesya berlalu ke dapur. “Assalamualaikum,” Setyo mendengar ucapan salam dari luar. Ia berdiri dan berjalan ke pintu depan.
Seorang laki-laki paruh baya sedang berjalan dari pagar menuju ke rumah. Setyo perhatikan laki-laki itu baik-baik. Pakaian lusuh dengan kopiah hitam dan kain sarung dengan tangan kanannya memegang sebuah map. Setyo menggeleng heran dan menunjukkan raut tidak sukanya. Oh Setyo begitu benci para pencari uang instan. Mengemis atas belas kasihan ataupun meminta sumbangan mengatasnamakan mesjid dan perkumpulan agama sama saja artinya dengan orang-orang berjiwa pemalas. Segala sesuatu bisa dijadikan lahan pekerjaan yang menghasilkan imbalan sesuai dengan usaha yang diberikan. Hanya uang bentuk itulah yang pantas didapatkan oleh manusia yang masih memiliki kelengkapan fisik dan tenaga. “Maaf, Pak… Pak…” Setyo mengangkat tangannya dan menghentikan langkah laki-laki tersebut. “Datangi rumah yang lain saja,” kata Setyo. Wajah laki-laki itu berkerut marah. “Apa?” tanyanya dengan nada tersinggung. “Manusia zaman sekarang kalau sudah tau cara gampang cari duit, sudah nggak mau bekerja keras lagi. Saya lihat bapak masih sehat dan sanggup bekerja. Jangan pakai cara mudah untuk mendapatkan uang dari orang yang mati-matian mencarinya. Bapak cari saja orang lain yang bisa dibodohi dan gampang merasa kasihan.” Setyo menunjuk pintu gerbang dengan tangannya, secara tidak langsung mengusir laki-laki tersebut. “Kurang ajar!” Laki-laki tersebut membanting map yang dibawanya ke tanah. Kedua tangannya mengepal menahan emosi. “Satu lagi sifat manusia zaman sekarang. Kalau sudah terbiasa dikasih apa yang diminta, sekalinya tidak dikasih malah jadi emosi. Kalau saja bapak tau bagaimana susahnya mencari uang, bapak tidak akan marah melihat sikap saya.” Setyo berbalik dan kembali ke rumah, meninggalkan laki-laki tua itu di luar dengan muka merahnya.
“Ada apa?” Mesya kembali ke ruang tamu dengan secangkir teh di tangannya. Ia perhatikan mimik muka Setyo terlihat tidak nyaman. “Pengemis,” lirih Setyo kemudian meraih cangkir teh untuknya. “Assalamualaikum,” mendengar salam tersebut, alih-alih menjawabnya, Setyo justru bangkit dengan emosi dan memandang ke arah pintu depan. “Pak!” teriaknya marah. Bibir Mesya terkunci beberapa saat, begitu terkejut melihat sikap Setyo tersulut emosi. “Mesya…,” panggil laki-laki tua tersebut. “A-ada apa ini Ayah?” “AYAH?” Mata Setyo membulat kemudian ia melihat ke arah Mesya. Wajahnya menunjukkan semburat merah pertanda malu. Ia melangkah mendekati Ayah Mesya dan meraih tangan lelaki tersebut. “Pak, maafkan saya. Saya tidak tau. Maafkan saya,” ucap Setyo penuh penyesalan. Ayah Mesya membiarkan tangannya disentuh oleh orang yang baru saja menghinanya dan menyangkanya seorang pengemis. Meski terluka, ia tahu adalah hal salah jika kita menghakimi orang yang tidak tahu. Hanya sebentar Setyo sanggup berdiri di depan Ayah. Tidak lama setelah itu ia pamit pulang dengan sopan kepada Mesya dan ayahnya. Rona malu itu masih terpampang jelas meskipun Setyo menundukkan wajahnya.
“Sebenarnya ada apa, Yah? Kenapa Setyo jadi salah tingkah begitu?” Mesya membawa ayahnya duduk di sofa. “Dia siapa?” tanya Ayah. “Setyo, laki-laki yang dikenalkan Kak Miranti sama Mesya, Yah.” “Pekerjaannya apa?” tanya Ayah lagi. “Teknisi di perusahaan BUMN, Yah. Gajinya lebih besar daripada gaji Mesya. Berpendidikan tinggi dan menurut Kak Minarti, dia bisa dibanggakan oleh keluarga kita,” jawab Mesya dengan maksud tersembunyi. “Kamu mau menikahi dia?” Lagi-lagi, Ayah hanya terus bertanya tanpa menjelaskan apa yang terjadi. “Kalau Mesya mengenalkan dia sebagai calon suami Mesya, apa Ayah akan terima?” “Pendidikan yang tinggi membuat dia pintar, tapi menghilangkan rasa hormatnya pada orang yang lebih tua. Dan gaji yang lebih besar dari gaji kamu membuat dia merasa begitu berat untuk memberikan secuil dari gajinya kepada pengemis tua ini. Kebutuhan hidupnya pasti begitu banyak.” Ucapan Ayah membuat mata Mesya terbelalak. “Maksud Ayah apa?” “Dia mengira Ayah ini pengemis tua yang hanya bisa meminta-minta tanpa mau bekerja. Bukan soal Ayah yang dikiranya pengemis tua, tapi ucapannya yang merendahkan orangtua menunjukkan orang seperti apa dia sebenarnya.” Mesya melingkarkan tangannya pada pundak Ayah. Ia menyandarkan kepala pada bahu Ayah dan mulai tersedu. “Ayah…,” panggil Mesya lembut. “Ayah mau bertemu Hilman dengan cara Ayah bertemu Setyo? Kalau Hilman memperlakukan Ayah seperti itu juga, atau walaupun hanya mendekati, Mesya nggak akan menikah dengannya, Yah. Mesya janji.” Tidak ada jawaban yang didengar Mesya. Namun Mesya bisa merasakan anggukan kepala sang ayah. Apapun yang terjadi, Mesya sudah siap menerima konsekuensinya. Apakah Hilman akan menyentuh atau menyinggung hati Ayahnya, semua itu kembali pada Hilman sendiri. Hilam sendiri yang akan menunjukkan seperti apa ia yang sebenarnya.
“Mas, bisa jemput aku di kantor? Tadi aku nggak bawa mobil.” “Sekarang?” tanya Hilman. “Iya,” jawab Mesya. Mesya mendengar helaan nafas berat dan ragu dari telepon genggamnya. “Kenapa?” tanyanya heran. Biasanya Hilman tidak pernah keberatan menjemputnya. “Bengkel sedang ramai, Mes. Tiga puluh menit lagi nggak apa-apa? Kamu di kantor, kan? Tunggu saja di lobi. Nanti kalau Mas sudah jalan Mas kabari kamu.” “Iya, sampai ketemu.” Mesya tidak bisa menyalahkan keadaan Hilman. Hilman bekerja sendiri dan jika ia harus menjemput Mesya sama saja artinya Hilman harus menutup bengkelnya. Ditambah lagi jarak bengkel ke kantor Mesya cukup jauh.
Hilman menepati ucapannya. Tiga puluh menit kemudian ia sudah tiba di depan gedung kantor Mesya. Setelah menyerahkan helm untuk Mesya kenakan, mereka berangkat menuju rumah orangtua Mesya. “Mampir sebentar nggak apa-apa, kan Mas? Ada barang yang aku ambil di kamar lama aku.” “Ya nggak apa-apa. Sekalian lewat juga.” Hilman menghentikan laju motornya saat lampu lalu lintas berubah menjadi merah. “Maaf kamu jadi nunggu ya Mes. Tadi ada ibu-ibu yang mau jemput anaknya sekolah. Kalau motornya nggak Mas perbaiki dulu, kasihan anaknya kecarian nanti.” “Nggak apa-apa Mas.” Mesya tersenyum, merasa bahagia sekaligus tersentuh.
Mereka tiba di rumah orangtua Mesya. Tidak ada siapa-siapa. Rumah sepi seperti tak berpenghuni. Mesya mengajak Hilman masuk yang langsung ia tolak dan bersikeras ingin menunggu di luar saja. Baru setelah Mesya mengatakan ia akan lama berada di dalam dan di luar matahari sedang terik-teriknya, barulah Hilman mengikuti Mesya masuk. “Kamu tunggu aku di sini ya Mas,” ucap Mesya sambil menghidangkan teh hangat untuk Hilman. Kemudian ia berlalu ke lantai dua, meninggalkan Hilman yang masih sedang berusaha membuat nyaman dirinya sendiri duduk di ruang tamu keluarga Mesya.
“Assalamualaikum,” Mesya mendengar suara salam yang diucapkan Ayahnya meski ia berada di lantai atas. Jantung Mesya bedetak dua kali lipat cepatnya seketika. Dalam hati, ia takut Hilman akan mengecewakan Ayahnya yang sudah bisa dipastikan akan mengecewakan dirinya juga. Mesya menaruh harapan besar pada Hilman. Mesya ingin menikahi Hilman.
Sudah sepuluh menit berlalu sejak Mesya mendengar suara salam dari Ayahnya. Perasaan Mesya menjadi tak keruan. Dengan ketidak tenangan itu ia memutuskan untuk turun menemui Hilman dan juga ayahnya. “Mas?” panggilnya saat tidak melihat sosok Hilman duduk di ruang tamu. Teh yang ia buatkan tadi pun belum tersentuh. Mesya berjalan ke arah pintu depan yang tertutup kemudian membukanya. Mesya melihat ayahnya duduk mematung di beranda, sendirian. “Yah, Mas Hilman mana?” tanyanya. Ayah menengadah dan menatap ke dalam mata Mesya, membuat jantung Mesya jatuh rasanya. Mata ayahnya berkaca-kaca. Apa yang sudah Hilman lakukan pada Ayahnya? “Hilman… Pu-pulang,” jawab Ayah dengan ekspresi yang sulit Mesya artikan.
—
“Saya terima nikahnya Mesyarahmah binti Surya Herman dengan mas kawin seperangkat alat solat dibayar tunai.” Suara itu begitu lantang dan penuh keyakinan. Seluruh saksi berteriak ‘sah’ tanpa ada keraguan. “Alhamdulillah…” Seluruh hadirin mengucapkan serempak. Kemudian suara isak tangis haru memenuhi ruangan. Dengan mata berkaca-kaca, Mesya menyalami tangan suaminya, laki-laki yang ia terima dengan sepenuh hatinya, begitu juga dengan Ayah dan Bunda. Tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan yang meragukan kesungguhan lelaki itu yang dilontarkan oleh kedua orangtuanya. Rasa percaya itu tidak diraih dengan sulit, cukup dengan menjadi apa adanya tanpa menutupi apapun.
“Hilman,” Ayah menepuk lengan Hilman. “Jaga hati kamu tetap seperti itu, apapun masalah yang kalian hadapi nanti,” kata Ayah dengan senyuman yang mengembang. “Iya, Yah. Pasti. InshaAllah,” kata Hilman sedikit tersedu. Kemudian ia maju untuk memeluk Ayah. Rasa bahagia ini tidak pernah Mesya bayangkan bisa terjadi. Tidak peduli apa kata mereka yang tidak mengenal siapa suaminya, yang tidak tahu bahwa apa adanya Hilman-lah yang membuat Mesya jatuh cinta. Bahagia tidaknya mereka nanti memang tidak ada yang menjamin. Tapi Mesya dan Hilman sudah bertekad bahwa keadaan apapun akan mereka hadapi bersama. Selama mereka bersama, Mesya yakin semua akan baik-baik saja.
Satu bulan sebelumnya… “Assalamualaikum,” suara salam itu Hilman dengar begitu jelas. “Waalaikumsalam,” jawab Hilman sambil berjalan keluar. Ia melihat laki-laki paruh baya berdiri di depan pagar dengan pakaian lusuh, kopiah hitam dan kain sarung yang sudah sobek. Tangan kiri lelaki itu memegang map sedangkan tangan kanannya memegang salah satu tiang pagar. “Ya, Pak? Bapak mencari siapa?” tanya Hilman sopan. “Sa-saya,” Surya dibuat terbata-bata olehnya. “Saya tidak mencari siapa-siapa,” ucap Surya kemudian menunduk. Ia berpikir apa yang harus ia lakukan untuk melihat apa adanya Hilman. “Bapak butuh sesuatu?” tanya Hilman pelan, takut menyinggung perasaan lawan bicaranya. “Y-ya. A-anak saya di rumah sakit dan bu-butuh biaya. Sa-saya tidak punya u-uang,” Kebohongan itu mengalir begitu saja dari mulut Surya begitu mendengar Hilman bertanya begitu padanya. “Kita duduk di beranda saja Pak, di sini panas. Ini bukan rumah saya, maaf saya nggak bisa undang bapak masuk,” kata Hilman sambil meraih lengan Surya dan menuntunnya menuju beranda. “Ka-kamu siapa?” tanya Surya setelah mereka duduk di kursi yang ada di beranda. “Saya Hilman, Pak. Ini rumah orangtua teman saya,” jawab Hilman. “Bagaimana keadaan anak Bapak?” Surya menelan ludah mendengar pertanyaan dari Hilman. Tidak disangkanya ia harus berperan seperti adegan sinetron seperti sekarang ini. “Anak saya harus dioperasi, nak Hilman. Uang saya tidak cukup. Saya bingung mau ke mana lagi.” “Bapak butuh berapa?” Hal yang tidak disangka Surya justru ditanyakan oleh Hilman. “Li-lima juta,” jawab Surya dengan wajah memelas. Hilman diam sejenak, tampak sedang berpikir. “Pak, lima juta itu uang yang besar untuk saya,” Surya sudah menduga Hilman akan menolaknya secara halus seperti ini. Tapi ini lebih baik ketimbang ia dikira sebagai pengemis. “jadi saya nggak bawa uang sebanyak itu di dompet saya. Saya punya tabungan, untuk pernikahan saya nanti, tapi uang itu ada di rumah. Apa bapak bisa menunggu sebentar, saya jemput dulu ke rumah saya?” lanjut Hilman. Saat itu juga Surya ingin menitikan air mata rasanya, namun sekuat tenaga berusaha ia tahan. “Tap-tapi pernikahan kamu?” “Untuk pernikahan sederhana, uang saya sudah cukup. Calon istri saya pasti mengerti. Dia perempuan yang sangat baik.” Kemudian Hilman berdiri dan menutup pintu depan. “Maaf Pak, nggak ada orang di rumah selain teman saya. Bapak tunggu di sini sebentar. Saya janji saya akan kembali. Semoga anak Bapak bisa segera sembuh.” Hilman menghidupkan sepeda motornya dan berlalu, meninggalkan Surya yang masih sulit percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
“Yah, Mas Hilman mana?” Mesya muncul dari pintu dan bertanya. Surya menengadah dan menatap ke dalam mata Mesya. “Hilman… Pu-pulang,” jawab Surya dengan hati berkecamuk rasa bahagia dan haru. “Apa?” Mesya terlihat begitu terkejut. “Ayah usir?” tanya anak gadisnya itu tak percaya. “Bukan,” Surya menggeleng kuat. “Ayo masuk, kita bicara di dalam.” Surya membawa putrinya yang masih memasang wajah ketakutan itu masuk.
“Ayah…” Mata Mesya sudah berkaca-kaca. Surya belum juga menceritakan apa yang terjadi dan kenapa Hilman tidak lagi berada di sini. Tiba-tiba Mesya mendengar ringtone telepon genggamnya. “Mas Hilman!” serunya saat melihat nama Hilman tertera di sana. “Waalaikumsalam, ya Mas?” “Mes, Mas pulang sebentar. Mas nanti ke sana lagi jemput kamu. Oh ya itu ada bapak-bapak di luar. Kalau kamu nggak keberatan, tolong buatkan teh dulu. Maaf merepotkan kamu, Mes.” Hilman mengucapkannya terburu-buru. Sepertinya sedang berhenti di lampu lalu lintas.
“Ayah, sebenarnya ada apa?” Surya menceritakan segala yang terjadi, tanpa mengurangi dan menambahkan bumbu apapun. Mendengar cerita sang Ayah, Mesya menangis tersedu. “Kebaikan dan ketulusan itu, Yah, yang nggak pernah lagi Mesya temui ada di diri laki-laki sekarang ini. Belum ada yang pernah menyentuh hati Mesya sedalam ini. Pendidikan masih bisa ditempuh, harta masih bisa dicari dengan usaha, tapi kebaikan hati, di mana bisa kita beli? Kebanyakan orang bahkan mungkin Mesya sendiri, baru melakukan kebaikan hanya bila ada kepentingan dan pada orang tertentu yang memberi umpan balik. Kalau tidak menguntungkan apa-apa, nggak ada alasan untuk berbuat baik.”
Surya memetik banyak pelajaran siang itu. Meski pendidikan dan kemapanan menjadi pertimbangan penting bagi orangtua manapun untuk memilihkan suami untuk anak mereka, namun pada akhirnya hati hanya bisa disentuh dengan hati. Hilman sudah menyentuh hati putrinya. Dan baru saja Hilman menyentuh hatinya. Hilman bukan hanya berbicara, tapi sudah menunjukkan bahwa ia laki-laki yang bisa Surya percaya untuk menjaga Mesya.
Satu hal lagi, manusia seperti Hilman mungkin sudah jarang kita temui. Namun begitu juga dengan perempuan yang mau menerima apa adanya laki-laki seperti Mesya menerima apa adanya Hilman. Tidak banyak perempuan seperti itu. Segala keinginan dan harapan atas sesuatu kembalikan pada diri kita masing-masing. Segala yang kita tanam akan kita tuai kelak. Dan ingat, tidak akan rugi diri jika kita melakukan kebaikan untuk orang lain.
END
Cerpen Karangan: Dhea CLP