“TIDAK BOLEH! KAMU HARUS MASUK KEDOKTERAN!” Itulah yang selalu kudengar ketika membahas masalah jurusan perkuliahan bersama orangtuaku. Hari ini adalah yang terparah, kedua kakakku pun juga sependapat dengan mereka. Bagaimana tidak ingin minggat dari rumah jika seperti ini? Hidupku selalu saja ditentukan oleh mereka, dari masuk SMA dan sampai masuk ke universitas saat ini. Aku merasa hidup sebagai orang lain. Tak tentu arah dan hanya mengikuti bisikan yang tertangkap oleh telingaku. Tak henti-hentinya aku menyesal setelah menuruti bisikan yang semakin mengatur hidupku itu. Akulah Bimo Wirasakti, bukan kakakku Ocha ataupun Rezki. Memang akulah anak terakhir, tapi apa sebegitu melas hidupku ini. Hidup atas kehendak orang lain.
Tak henti-hentinya doa kulantunkan kepada sang kuasa atas kehendak yang aku inginkan ini, sholat untuk meminta petunjukpun juga setiap malam aku lakukan. Aku tidak ingin salah dalam menentukan tujuan hidupku. Karena inilah saatnya, aku belajar dewasa dan memulai hidup baru sebagai diriku sendiri. Ah tidak, teriakan hatiku yang semakin melantur ini membuatku makin frustasi. Aku tak akan pernah bisa menjadi diriku sendiri, karena garis takdir mungkin sudah memilihku hidup sebagai orang lain.
“Ya Rahman Ya Rahim, berikan aku petunjuk untuk masuk universitas. Hanya Engkaulah yang tahu mana yang terbaik untukku.” Sholat shubuhku kali ini kuharapkan akan menjadi perantara doaku agar terkabul. Walau kasur dan selimut di depan mataku terus menggoda, kuniatkan pagi ini untuk bersemangat masuk sekolah. Semoga pagi ini adalah awal yang baik untukku, amin.
Sudah saatnya ku gas skuter merahku ini, bismillah dalam batinku. 15 menit pun telah berlalu setelah kusapu jalanan yang tajam.. Kulangkahkan kaki dengan berhati-hati ke kelas bersama temanku yang kebetulan bertemu di parkiran. Kelas pun sudah ramai, sebagian besar dari mereka sedang membaca ataupun mengerjakan tugas. Karena ujian nasional sudah dekat pun menjadi faktor utama mereka mendadak rajin. Dan pastilah ada sekumpulan orang di kelas yang sedang bergosip layaknya ibu-ibu yang kurang kerjaan. Aku pun hanya diam dan membaca buku biologiku tak menghiraukan hiruk piruk kelasku ini yang akan membuatku serasa berada di tengah kota yang ramai.
“Eh Bim, kamu mau masuk jurusan seni tari ya!” salah seorang temanku menepuk pundakku dari belakang. Sontak aku pun kaget. “I…Iya” balasku dengan sedikit gagap. Semua orang langsung menatapku dengan pandangan yang aneh, senyum di wajah mereka mulai bermunculan. Dan semakin lama berubah menjadi tawa. Aku pun tak tahu apa yang mereka pikirkan, hanya saja dari raut wajah mereka sangat terlihat jika mereka semua heran kepadaku. “Are you seriously Bim?” Andini temanku bertanya dengan wajah bertuliskan tanda tanya besar. “Em.. Ya of course” aku hanya menjawabnya sambil tersenyum. “Hahaha..hahahaha” tiba-tiba kelasku menjadi sangat riuh dan penuh dengan tawa dari segala sumber arah. Aku pun semakin bingung, hanya diam dan semakin aku berpikir keras dengan apa yang terjadi pagi ini. Apa salahku? Apa yang lucu dari perkataanku? Apakah mukaku penuh dengan cemong sehingga mereka semua tertawa? “Halah sudahlah, lupakan saja mungkin mereka hanya sedang mengerjaiku” pikiran positif selalu menghiasi hari-hariku. Karena ku tahu, tanpa adanya hal itu aku takkan bisa hidup menjadi orang yang lebih baik lagi. Hari ini tetap kulanjutkan menjadi hari yang biasanya, walau tatkala aku merasa banyak temanku yang sedang berbisik-bisik tentangku. Tapi, aku percaya itu hanya perasaanku yang terlalu kudramatisir.
Sampai di rumah pun orangtuaku kembali membahas jurusan perkuliahanku, tak dapat kupungkiri aku hanya mengiyakan seluruh perkataan orangtuaku. Aku bukan seorang penakut, tapi aku sadar mereka adalah orangtuaku dan tak mungkin aku berbuat bodoh dengan bantahanku yang kasar. Karena nilai-nilai taatku selalu ditanamkan sejak kecil oleh kedua orangtuaku meski aku tak menyetujuinya. Waktu SD dan SMP ekstrakulikuler nari memang aku ikuti. Tak jarang dari setiap semester hanya akulah seorang lelaki yang mengikuti ekstra tersebut. Bagai seekor jerapah di kerumunan gajah itulah diriku saat itu. Orangtuaku pun tak tahu jika aku mengikuti ekstrakulikuler tersebut, karena aku pun sudah tahu jawabannya pasti “tidak!”
Pendaftaran online universitas sudah dibuka, inilah saatnya aku harus bertarung dengan batinku. Antara ikut keinginanku atau orangtuaku yang amat kucintai. Aku takut mengecewakan mereka dengan mengikuti pilihanku. Tapi inilah hidupku, akulah yang seharusnya menentukannya bukan siapapun.
“Kamu yakin Bim? Nggak salah masuk seni tari? Kamu ngaco kali ya?!” Tanya si Doni teman sekelasku. “Enggaklah Don, yakin banget malahan.” Tatapku dengan serius. “Mau jadi apa kamu Bim? Ambil jurusan yang jelas ajalah! Nggak usah yang neko-neko..” Sahut Doni dengan balasan muka yang serius juga.
Hari ini aku berpikir kembali, mengapa jurusan seni tari dianggap sebelah mata? Apa yang salah darinya? Seni tari kebanggaan Indonesia, titik tak bisa diganggu gugat.
“Bapak Ibu, pilihan jurusan kedua akan saya pilih seni tari UNY.” Ucapku tanpa memandang mata mereka. “Kamu nggak pernah berpikir tentang hidupmu po Bim?” “Tapi ini sudah menjadi pilihan saya Pak Bu.” “Tidak boleh! Kamu tidak boleh masuk seni tari, kamu itu laki-laki Bim. Apa kata tetangga kalau tahu kamu masuk seni tari hah?” “Maafkan saya Pak, tapi…” “Sudahlah! Terserah kalau nantinya kamu kecewa. Bapak tidak akan peduli denganmu.”
Kuputuskan dengan kemantapan hati, jurusan kedokteran UGM sebagai pilihan pertamaku dan seni tari UNY pilihan kedua. Universitas yang aku idam-idamkan sedari kecil. Sejak pertama kali aku menonton pagelaran tari daerah di TBY. Detik itu juga, rasa cintaku terhadap tari semakin meluap-luap. Dan aku tak mampu sejengkal pun melupakan setiap gerak liuk tubuh dari para penari itu. Hingga saat ini, aku ingin suatu saat tampil di Taman Budaya Yogyakarta seperti saat aku melihat para penari waktu itu.
Hasil SNMPTN telah keluar, betapa kecewanya orangtuaku mengetahui hasil SNMPTN ku tak diterima di UGM. Namun betapa bahagianya aku mampu hidup sebagai diriku sendiri. Aku sangat bersyukur, karena inilah garis takdir yang aku dambakan. Aku datang wahai budayaku. Tunggulah aku melestarikanmu.
Satu semester di perkuliahan sangat menarik untukku. Hal-hal baru aku temukan di dalamnya. Meski tak jarang banyak orang mencibirku tak berpikir sedikitpun. “Eh, itu si Bimo masak masuk seni tari. Mau jadi apa dia? Penari keliling desa? Hahaha.” Sudah sering kudengar cemoohan yang membuatku semakin termotivasi untuk sukses. Dan bulan depan akan kutunjukkan. Saatnya aku mengikuti seleksi penari di UNY untuk mewakili universitasku.
Tak banyak berharap, termasuk 11 finalis yang lolos pun aku sangat senang. Walau sebenarnya hanya dibutuhkan 10 finalis. Tapi itu sudah menjadi kebanggan tersendiri bagiku. Dan inilah waktunya masuk ke ruangan seleksi. Hatiku semakin mencuat-cuat ingin keluar dari tubuhku. Kucoba untuk tenang dan melakukan segalanya sesempurna mungkin. Bismillah kulangkahkan masuk kedua kakiku ini.
Saat ini hanya tinggal menunggu pengumuman, 2 minggu lagi akan diumumkan para pemenangnya. Kuharap akulah salah satunya. Hariku menjadi semakin runyam memikirkan lomba ini. Karena hanya 4 tahun sekali lomba ini diadakan. Aku bisa, pasti bisa!
Aku berlari menuju papan pengumuman, senyum telah hadir di wajahku. Kucari satu-persatu tulisan Bimo Wirasakti dari setiap tulisan yang ada. Akhirnya kutemukan namaku, dengan kata TIDAK LOLOS menampang di sampingnya. Aku gagal, batinku. Aku hanya bisa meratapi segalanya yang telah terjadi. Kesempatanku kali ini gagal, aku harus berusaha mengais kesempatan lain yang tak bisa datang dua kali padaku. Aku berharap ini akan baik-baik saja.
Hari-hari selanjutnya kujalani tanpa ada suatu hal yang berbeda. Aku tetaplah Bimo Wirasakti yang sedang menjalani rutinitas perkuliahan pada jurusan seni tari UNY. Tak banyak juga orang yang mengenalku. Karena memang aku tidak terlalu mencolok di universitasku. Namun, tiba-tiba dering telepon berbunyi dari Handphoneku. “Hah? Apa ini serius? Baiklah nanti saya akan datang ke kantor Bapak.” Seorang laki-laki yang ku tahu dosen di universitasku memberi tahu jika aku masuk 10 finalis yang akan dilatih untuk mengikuti lomba 3 bulan lagi mewakili universitasku. Sebenarnya, aku gagal. Namum hanya saja keberuntungan sedang berpihak padaku. Salah seorang finalis mengalami kecelakaan dan terpaksa tidak bisa melanjutkannya. Dan akulah yang terpilih. Aku. Ya benar ini aku, akhirmya 1 dari sekian juta cita-citaku tercapai. Dan aku akan menjalaninya dengan sungguh-sungguh tanpa ada keraguan sedikitpun.
Pelatihanku bersama para peserta lomba lainnya sangat memberi kesan yang berharga dariku. Karena ternyata, mereka tidak hanya orang-orang Jawa. Orang berkulit hitam dari pulau nanjauh pun ikut masuk bersamaku. Mereka semua menari tarian daerah Jawa bersamaku. Jaipong menjadi pilihannya, hari ini dan seterusnya aku akan terus memiliki hari yang berkesan dari kami para pelestari budaya (sebutan dariku) yang berbeda menjadi satu tubuh yang saling bekerja sama.
Tinggal 1 minggu lagi kami akan mengikuti lomba tari daerah se-Indonesia. Pemenangnya pun tak main-main, akan dilombakan kembali pada tingkat internasional. Aku sedikit gundah akan hal itu, karena sesungguhnya melestarikan budaya bukan ajang untuk mana budaya yang lebih bagus. Tapi mencintai budaya itu sendirilah faktor yang paling penting dari para pelestari budaya. Tapi, inilah perlombaan. Kita harus siap dengan segala keputusan yang ada.
Selamat pagi. Hari inilah semangat harus kami bakar. Hari yang telah kami hitung tiap menitnya telah datang. 18 Agustus 2012, hasil kerja keras kami akan ditampilkan. “Semuanya harus tenang jangan sampai grogi ataupun nerveous. Harus yakin di setiap gerakan tari kalian, cepat masuk.” “Siap Pak!” Jawab kami serentak atas dukungan dari pembimbing kami selama ini.
Akhirnya telah kami tampilkan segalanya dengan sebaik mungkin. Tak dapat ku percaya kami lolos untuk dilombakan pada tingkat internasional seminggu lagi. Diadakan di Thailand, perlombaan ini akan menggerogoti pikiranku. Aku harus berlatih dengan keras dan fokus pada satu hal ini.
Seminggu kami lewati dengan penuh tekanan, inilah saat yang sama seperti lomba seminggu yang lalu. “Kami harus tampil lebih baik lagi.” Batinku dalam hati. Hari ini menjadi awal kisahku berpetualang di negeri orang dengan membawa budayaku dan membuktikan bahwa budaya Indonesia tak bisa dicuri bahkan di beli dengan seberapapun uang. Karena inilah bukti berdirinya Indonesia dengan sejuta budaya yang patut untuk dilestarikan.
Sorak ramai terdengar di ruangan yang begitu luas hingga mampu menampung sekitar 5000-an orang. Keringat terserap oleh kostum tari jaipongku ini. Demam panggung kurasakan ketika pertama kali berdiri di depan orang dengan berbagai macam budaya ini. Dan detik demi detik berlalu, akan diibacakan nominasi pemenang lomba budaya ini dan “Juara ketiga diraih oleh Negara India dengan tarian Kathakali, juara kedua Indonesia dengan tari Jaipong, dan jua….” “Yay! kita menang! Alhamdulillah.” Sorak ramai dari kelompok kami mengacuhkan suara pembawa acara yang sedang membacakan juara selanjutnya. Kami tak sanggup menahan rasa senang dan bangga atas kemenangan ini. Walaupun tak menjadi yang pertama, tapi kamilah para pelestari budaya Indonesia yang akan selalu membuat Indonesia bangga memiliki generasi seperti kami. Dan khususnya akulah Bimo Wirasakti sang pecinta tari, yang saat ini sedang berada di ruang istana presiden mendapat sambutan dari Presiden SBY setelah pulang dari Thailand.
Aku bukanlah orang gila yang bertemu orang nomor satu di Indonesia hanya dengan mencintai budayaku sendiri. Tapi inilah bukti, bahwa budaya tak bisa di pandang sebelah mata.
Cerpen Karangan: Dhani Meylindra