Kupandangi langit malam yang cerah mengandung rembulan dengan balutan sinar keemasan. Tak mau kalah, jutaan bintang gemintang yang gemerlap pun tersebar luas bagai hamparan permadani. Aku yakin, diantara jutaan bintang itu pasti ada satu milikku dan suatu saat nanti aku akan dapat menggapainya dengan kemauan dan tekad yang kuat.
Aku memang terlahir dari keluarga yang berlatar belakang ekonomi rendah. Atau mungkin ekonomi paling bawah. Namun hal tersebut bukan masalah bagiku, dan tak sedikitpun menyurutkan niatku untuk terus belajar dan bersekolah setinggi mungkin supaya semua impianku dapat menjadi nyata.
Beberapa tahun yang lalu, tepatnya saat aku hendak mamasuki jenjang pendidikan menengah atas. Aku dan kedua orangtuaku kembali dipusingkan oleh masalah ekonomi yang semakin sulit. Dulu wajib belajar hanya 9 tahun, dan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi adalah hal yang mustahil untuk masyarakat ekonomi rendah sepertiku. Ditambah lagi beban hidup di kota besar seperti ini, dimana setiap langkah kaki harus beralaskan lembaran permadani bernominalkan rupiah. Namun lagi-lagi kutepis semua pemikiran mustahil yang ada di benakku. Setiap pulang sekolah aku selalu meluangkan waktu untuk bekerja demi sepeser rupiah dan berusaha mencari peluang beasiswa-beasiswa agar aku bisa belajar di bangku Sekolah Menengah Atas.
Bersyukur, adalah sebuah kata dalam kamus hidupku yang tidak akan pernah usang dikikis masa. Tuhan telah menititipkan kecerdasan padaku, sehingga dengan kondisi ekonomiku yang seperti ini aku masih memiliki peluang sekolah yang cukup besar. Tuhan memang maha Adil, dibalik kesulitan selalu ada kemudahan.
“Mas, kowe iseh pengen nglanjutke sekolahmu meneh po?” Ibu masih sibuk dengan gorengan ditampahnya. “Njih bu, Dimas arep usaha nggolek beasiswa ben iso sekolah meneh.” “Halah Mas, mbok rasah mimpi. Kowe kuwi mung anak bakul ronsok, sopo sing arep mbayari sekolahmu?” Kalimat terakhir dari bapak benar-benar menjadi anak panah yang dengan cepat bersarang di relung hatiku. Kalau dipikir dengan logika memang ucapan bapak benar. Namun, akankah aku meyerah begitu saja pada kalkulasi takdir?
Lagi-lagi Tuhan memang selalu memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan. Berkat usah dan kerja kerasku, akhirnya aku berhasil duduk di bangku salah satu SMA Negeri Favorit Jakarta. Kini aku kembali berhasil mengalahkan kemustahilan dari kalkulasi takdir yang bersarang di kehidupanku. Namun tak lama setelah aku bersekolah di tempat itu Bapak pergi meninggalkan aku, ibu dan adikku untuk selamanya.
“Aku tahu, saat ini perasaanmu hancur lebur bercampur layaknya bubur yang hambar tanpa bumbu. Tapi yakinlah selalu ada jalan untuk orang yang mau mengubah hidupnya.” Alin turut berduka atas kepergian bapakku. “Sungguh, aku tidak ingin kehilangan bapak untuk selamanya. Aku tidak sanggup menatap apa yang akan terjadi nantinya.” Tanpa kusadari tangisanku pecah, tumpah-ruah. “Aku mengerti betul perasaan yang kau rasakan, aku pun pernah merasakan hal yang sama. Jika kau ingin menangis, menangislah sampai menelaga. Menangislah selagi kau masih bisa menangis, karena itu manusiawi.” Alin memang selalu mengerti kondisiku, ia adalah teman seperjuanganku yang sama-sama menggantukan kehidupannya dari tumpukan sampah Ibu Kota.
Begelantunan merebah malam yang kian tawar dengan dihantui rasa kesedihan yang tak kunjung sirna. “Sampai kapan kau akan seperti ini? Ibu dan Azizah membutuhkanmu, ayo bangkitlah bangkit! Bangkiitt! Bangkiiitt!!” Aku terkesiap bangun dari tidurku ketika sepasang suara dalam mimpi itu meneriakiku tanpa ampun. “Oh sudah subuh ya?” gumamku lirih melirik jam dinding usang yang menempel di dinding. Kuambil air wudhu dan segera melaksankan sholat sebagai salah satu kewajibanku kepada Sang Khalik.
Pagi datang menjelang. Mentari timbul menyingsing. Aku pun harus kembali ke sekolah dan kembali kepada keseharianku yang melelahkan. Tak terasa sudah hampir dua tahun aku menimba ilmu di sekolah ini. Aku bertekad untuk lulus dengan nilai terbaik supaya aku dapat dengan mudah meraih beasiswa untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Rupanya, harapan tak selalu sejalan dengan kenyataan. Dan impian tak selalu senada kehidupan. Perjalananku ketika menimba ilmu di sini tidak semudah yang ada dipikiranku. Banyaknya diskriminasi sosial yang aku dapatkan selama di sini kerap kali hampir menumbangkan mimpi-mimpiku dan tak sedikit dari teman-teman di kelas yang tidak menyukai keberadaanku. Mereka selalu beranggapan bagaimana bisa seorang anak yang menggantungkan hidupnya dari tumpukan sampah bisa bersekolah di sini? Namun sekali lagi, aku selalu berusaha mengokohkan kembali mimpi-mimpi yang hampir tumbang itu. Tak pernah kudengarkan cemoohan mereka, apalagi meladeninya. Kuanggap cacian yang bertubi-tubi dari bibir mereka semua adalah do’a yang akan mengantarkanku kepada kesuksesan.
“Dimas, mengapa belakangan ini prestasi belajarmu menurun?” Aku hanya menunduk, menggurat-gurat lantai keramik dengan sepatu dekilku. “Kalau prestasimu menurun seperti ini terus sepertinya saya terpaksa harus mencabut beasiswa pendidikanmu!” Tukas kepala sekolah dengan nada agak tinggi. “Tap.. tapi pak.. Saya mohon jangan cabut beasiswa saya. Saya baru saja kehilangan ayah saya.” Tak tega melihat rona hujan kesedihan di wajahku akhirnya kepala sekolah memberikanku satu kesempatan untuk memperbaiki prestasi belajarku yang menurun.
Lagi-lagi, cobaan itu datang menyerang tanpa kenal ampun. Menghantam tanpa kenal padam. Perlakuan kurang menyenangkan itu hadir lagi ketika aku hendak berusaha memperbaiki prestasi belajarku. Aku mendapat kecurangan dari pihak siswa dan guru yang tidak menyukai keberadaanku. Siswa tersebut memberikan sogokan kepada salah satu guru demi menurunkan reputasi prestasiku di sekolah. Dan benar saja karena kecurangan itu, kini beasiswaku dicabut oleh pihak sekolah. Masa tenggang pendidikanku di sini hanya tinggal satu tahun sebelum kelulusan. Namun, kini yang menjadi masalah adalah bagaimana aku menyelesaikan pendidikan ini? sedangkan saat ini aku tidak memiliki uang sepeser pun? Dan pada akhirnya, mau tidak mau kini aku harus bekerja lebih keras demi mencukupi biaya kebutuhan sehari-hari dan biaya bulanan sekolahku.
Jarum jam dinding usang di kamarku kini berpijak tepat pada sepertiga malam. Beralaskan sajadah kusam kurendahkan diri di hadapan sang Illahi demi memohon curahan kasih sayang dan anugerah-Nya. Air mata yang jatuh sudah tak terhitung lagi. kucurahkan segala keluh kesah yang menjadi beban terberatku. Semoga pada sepertiga malam ini sang Illahi mendengar rintihan satu lagi hambanya yang merindukan kasih dan sayang-Nya.
Satu lagi pagi, satu lagi mimpi terlewati. Entah sebuah keajaiban atau jawaban dari Tuhan atas do’aku malam itu, hari ini aku kembali dipanggil oleh kepala sekolah. Dan ternyata beliau memberikan kembali beasiswa itu kepadaku. “Dimas, saya berikan kembali kepadamu beasiswa pendidikan di sekolah ini. Saya baru saja mendapatkan bukti bahwa telah terjadi moneypolitik di belakang ini semua. Memang prestasi belajarmu sempat menurun, namun kini kamu telah membuktikan prestasi yang baik. Selamat!”
Hingga tiba saatnya hari kelulusan. Dengan perjuangan yang keras Alhamdulillah aku dapat lulus dari sekolah ini dengan predikat siswa terbaik. Dan tak hanya itu, impianku untuk melanjutkan ke jenjang Perguruaan Tinggi pun berhasil kuraih. Satu lagi mimpiku yang dapat menjadi nyata. Sungguh besar anugerah Tuhan untukku, dan hanya dengan bersyukurlah caraku untuk berterima kasih. Namun, dibalik kabar bahagia itu. Kabar duka kembali menghampiri hidupku, ternyata Tuhan lebih menyayangi keluargaku. Kini ibu dan adikku yang harus pergi menyusul bapak untuk menghadap sang Illahi.
Rona warna gelap mucul di timur Negeri yang penuh hinar binar Menembus beberapa digit kesedihan yang tertuang Aku hanya seorang diri, menyendiri, sendiri Terperangkap dalam kehidupan yang fana Terbang bersama sejuta mimpi yang tak tahu mana ujungnya Meniti kehidupan yang hakiki Bersama sang Illahi
Kini aku telah berhasil melewati serangkaian tikungan, turunan dan tanjakan yang Tuhan persembahkan untuk kehidupanku. Tujuan utamaku dulu adalah menjadi pahlawan untuk Negeri Indonesia tercinta ini. Bukan seorang pahlawan yang mengangkat senjata dan berperang menumpahkan darah, namun menjadi pahlawan pendidikan yang akan mencerdaskan jutaan anak bangsa yang hidup diambang garis takdir yang memilukan.
Perjuanganku kembali dimulai saat aku mulai merintis “Istana Pendidikan Anak Pinggiran”. Sekolah ini kudirikan bersama segenap rekanku sebagai dedikasi untuk Negeri. Seuntai layanan untuk anak pinggiran yang haus akan pendidikan. Sudah cukup lama sekolah ini berdiri. Dan cukup tinggi antuasias masyarakat yang senantiasa mendukung serta membantu menghidupkan kegiatan pembelajaran di sekolah ini.
Namun kala itu, perlahan satu-persatu rekanku yang sekaligus tenaga pengajar di sini pergi meninggalkan sekolah kami. “Saya butuh kehidupan yang menjanjikan.” Itu adalah salah satu alasan yang mereka utarakan. Beruntungnya, masih ada beberapa dari mereka yang dengan sukarela mengajar di sini. Aku sangat bersyukur sekolah ini tidak jadi kandas di persimpangan. Aku berharap masih ada diantara ratusan manusia berdasi yang memikirkan nasib anak-anak pinggiran disini. Masih ada segores pilu dalam qalbu mereka yang lena duduk diatas empuknya kursi Dewan untuk memperhatikan pendidikan orang-orang berkebutuhan. Ya, itulah harapaku dalam langkah perjuangan. Perjuangan ini belum usai. Belum usai.
Hari-hari yang berlalu kian pasti Satu demi satu melangkah untuk menaiki anak tangga kehidupan Meneteskan peluh dijalanan gersang ibukota Berjuang meraih asa demi sebuah pendidikan Kalau aku bisa kirimkan proposal kepada Tuhan Akan kukirim jutaan proposal Agar kehidupan dan pendidikan Terus beriringan bersama dengan kesejahteraan.
Cerpen Karangan: Nazri Tsani Sarassanti Blog: nazritsani.blogspot.com