"Pak, maaf, dokter sudah tidak ada visit, sampai kapan di sini? mending besok aja balik lagi"
"Sampai kutemukan jasadku"
Wajahnya pucat separuh hancur, matanya bolong, dari bagian perutnya merembas darah. Dia mencari jasadnya sendiri."
---
Desc:
Utas ini menggunakan sudut pandang orang pertama (narasumber). Segala bentuk nama dan tempat telah di samarkan.
2013, dari meja jaga perawat ruang ICU samar terdengar suara bunker roda berjalan mendekat. Namun ada yang aneh, bunker roda itu diiringi suara serentak bak pengantar jenazah,
"LAILLAHAILLAH”
“LAILLAHAILLAH”
“LAILLAHAILLAH”
Dari kejauhan, suara itu kian dekat dan semakin jelas. Aku yang sedang terlenyap di bawah meja jaga tersentak bangun. Kepalaku pening, pandanganku berbayang, kuraih kacamataku yang tergeletak di atas meja
Tubuhku mematung seketika melihat satu bunker kosong didorong oleh empat perawat berwajah pucat pasi, bibir biru dan tanpa bola mata.
Mengalir darah dari tiap-tiap kepala perawat, lebih mengerikan lagi, mata putih milik satu perawat yang berdiri di baris paling depan seketika menggelinding ke lantai seperti habis di congkel.
Aku terkesiap ketakutan setengah mati, kuperhatikan sekeliling, tak ada tanda-tanda orang lain di sekitar selain aku.
Mereka terus berjalan mendekat menelusuri lorong temaram seolah tak memperdulikan rasa sakit dan darah yang merembas di kepala dan badan
Aku terpaku tak dapat menggerakan sendi-sendi tubuhku sendiri. Ingin berteriak sekeras-kerasnya namun leher seolah tercekat.
Aku hilang kendali diri, panik dan takut menguasaiku sepenuhnya—satu-satunya yang dapat kulakukan ialah menatap sosok-sosok mengerikan itu yang berada di garis lurus yang sama
mereka kian mendekat ke arahku seraya hendak menjemputku untuk naik ke bunker kosong yang mereka bawa.
Gilanya, mereka juga terus mengucap kalimat doa yang biasa dilafalkan para pengantar jenazah,
"LAILLAHAILLAH”
“LAILLAHAILLAH”
“LAILLAHAILLAH”
Bisa kalian bayangkan bagaimana posisi aku saat itu?…
satu-satunya yang kuingat hanya wajah ibuku di kampung halaman yang belum sempat kukunjungi.
Langkah mereka semakin cepat, menggaung suara tawa memekik dari berbagai arah, aku seperti berada di jalan buntu yang mana hanya bisa nangis.
Secepat kilat keempat perawat mengerikan dan bunker roda itu menabrakku keras.
Berikutnya, pandanganku gelap.
****
Aku tersadar membuka mata di ruang IGD. Bu Desi, salah seorang perawat senior menghampiri untuk memeriksa kondisiku.
Dia mengatakan semalam aku kejang-kejang di meja jaga dengan mata mendelik ke atas.
Untung saja, cepat ditemukan Pak Manto, satpam rumah sakit yang sedang keliling.
Aku masih ingat betul apa yang menimpaku tadi malam, rasanya begitu nyata. Sekujur tubuhku remuk, ada luka lebam membiru dibeberapa bagian badan seperti bekas benturan benda tumpul.
“Sebenarnya tadi malam kamu kenapa tih?” Tanya Bu Desi.
Aku gagap menjawab, tetapi Bu Desi melanjutkan kalimatnya,
“Kamu Indigo?
Sebelumnya ada perawat juga yang indigo, dia resign karena sakit, gak kuat katanya, tapi sebelumnya persis kayak kamu, kejang begitu pas lagi jaga rawat.”
Aku menggeleng pelan, menyangkal. Entah mengapa aku tidak suka dan merasa tidak pantas mendapat predikat sebagai ‘anak indigo’ meskipun aku memang peka dan kerap bersinggungan dengan mereka yang tak kasat mata.
Namun kenyataan itu, bagiku seperti hal memalukan yang harus kusembunyikan rapat-rapat. Lagi pula aku bukan seorang praktisi, mengontrol mataku sendiri saja aku tak bisa—ya, kadang ‘mereka’ terlihat jelas, kadang samar, bahkan kadang hanya suara saja yang kudengar.
Aku tidak tahu apa yang menyebabkan begitu, namun yang pasti, sejak aku menstruasi pertama sampai saat ini usiaku menginjak 24 tahun, aku masih belum bisa terbiasa dengan keberadaan mereka disekitarku.
Rasanya seperti aku bisa saja mati jantungan sewaktu-waktu.
Aku memang terhitung baru menjadi perawat di Rumah Sakit ini, sebelumnya aku hanya berani bekerja menjadi perawat di sebuah klinik kecil tak jauh dari rumah.
Ya, kepekaanku terhadap ‘mereka’ menjadi alasanku memilih bekerja di klinik. Bagiku, kala itu rumah sakit seperti tempat penyiksaan mental.
Bagi kalian yang bekerja di rumah sakit, pasti setuju kalau shift malam selalu jadi tantangan tersendiri, meskipun sudah biasa tapi rasa getir, takut, merinding jadi tamu setia yang hinggap setiap malamnya.
Namun satu tahun ke belakang, aku merasa diriku sudah tak lagi sepeka dulu. Aku bahkan sudah jarang bersinggungan apalagi melihat mereka.
Paling parah, aku hanya melihat gumpalan asap membentuk sosok, siluet bayang hitam, dan suara-suara aneh yang masih bisa dihiraukan—
karena itu lah, aku memberanikan diri melamar untuk bekerja lagi di rumah sakit, selain sudah merasa aman, gaji yang kudapat juga lebih besar bekerja di Rumah Sakit dibanding di klinik.
“Kenapa bisa begitu bu, perawat itu kenapa?” tanyaku balik ke Bu Desi, penasaran.
“Mending kamu gak usah tau deh, lagi sering jaga malam kan? “ kekeh Bu Desi.
Sejak aku membuka mata. Aku merasa ada yang berbeda dari sekitarku—rasanya rumah sakit ini nampak lebih padat sesak dari biasanya, banyak lalu lalang melintas wajah-wajah perawat dan dokter yang tak kukenali.
Ada apa di rumah sakit ini?
*****
Tak terlalu kupikirkan mengenai peristiwa tempo hari—kadang kala, sakit juga bisa merenggut alam sadar dan membuat kita berhalusinasi, jadi kusimpulkan saat itu aku hanya sedang tidak sehat.
Sekarang, Aku mendapat gilir jaga IGD, baru saja seluruh pasien IGD ditransfer ke kamar rawat, jadi IGD malam ini tampak sepi, hanya tersisa satu pasien koma yang masih menunggu pihak keluarganya tiba.
Suara sirine ambulan berbunyi nyaring memeceh hening malam. Ramai sentakan langkah para perawat sigap menghampiri membawa bunker roda. Tari, rekan perawatku menyiapkan satu tempat tidur di IGD.
Aku ikut membantu,
“Ada pasien darurat apa tar? Kok tumben gak ada info dulu ke IGD kalau mau ada pasien dari ambulance kita?” ujarku.
Tari tak menjawab, namun raut wajahnya tampak begitu serius. Tak lama, suara bunker roda terdengar mendekat. Rombongan para perawat dan satu dokter membuatku tersisih menepi.