Aku berjalan santai di sebuah kedai kopi dekat sekolah, seolah tak terjadi apa-apa barusan.
Mataku memandang sekeliling, berusaha mencari tempat duduk ternyaman, hingga kakiku tertarik untuk duduk di kursi pojok dekat jendela. Jangan salah kaprah dulu! Aku tak habis putus cinta, kok yang memilih pojokan untuk menangis tersedu-sedu.
Ya. Lagi dan lagi aku habis beradu mulut dan argumen dengan ayahku. Aku tahu, aku anak semata wayang mereka, tapi tak bisakah aku merasa bebas walau hanya sebentar?
Oh, iya. Aku memang selalu begini, entahlah. Aku mencari tempat duduk ternyaman walau selalu berakhir di kursi pojokan dekat jendela. Kurasa kaki dan mataku ini pilih kasih!
Ah! Hampir kulupa. Namaku Senja. Senja Valiona yang tinggal di kota hujan penuh cerita. Umurku baru saja menginjak 16 tahun beberapa hari yang lalu. Kalian tak ingin mengucapkan selamat bertambah umur untukku? Mumpung masih lewat beberapa hari, hehe.
Hari ini aku sedang menyeruput kopi luwak kesukaanku sembari memandang ke arah luar kedai yang basah akibat hujan. Baru saja memalingkan wajah dari jendela, aku dikejutkan dengan seorang yang menepuk pelan pundakku. Jangan membuatku takut! Aku orangnya parno-an! Apalagi saat malam. Astaga, siapa kira-kira?
Aku berbalik, dan seulas senyuman tipis nampak dari pria yang menggunakan almamater seperti milikku. Aku tak pernah melihatnya. Jangan-jangan ia sosok makhluk halus yang sering diceritakan Pak Udin
“Boleh duduk bareng? Tempat udah full dan hanya kau yang mungkin kukenali” Ujarnya masih dengan senyuman tipis yang setia merekah di wajah pekatnya. “Kenal?” Tanyaku bingung. “Ekhm, maksudku almamaternya” Jawabnya dengan cengiran sembari menggaruk tengkuknya yang kuyakini tidak gatal. Apakah ia salah tingkah? Hei, bocah tak kuapakan kau!
Aku hanya mengangguk dan mempersilahkannya duduk melalui simbol tangan, kuharap ia mengerti maksudku. Kaki jenjangnya kini beralih duduk di hadapanku. Apakah mulutnya tak merasa lelah tuk terus tersenyum seperti itu? Aish!
“Ah, iya. Kenalkan, aku Erlangga 11 IPA 2, murid baru pindahan Jogja. Mm, aku lebih senang jika kau memanggilku Elang. Salam kenal–” “Senja. Senja Valiona” Erlangga? Penerbit buku, bukan? Astaga aku hampir saja tertawa! Oh! ternyata dia kakak kelasku! Pantas terasa asing, ternyata murid pindahan. “Ah. Senang berkenalan denganmu, Senja” Ucapnya lagi masih dengan senyum.
“Sebelumnya, boleh kupanggil Liona? Aku merasa lebih nyaman memanggil seperti itu” “Kenapa tidak” Ujarku sebagai jawaban dari pertanyaannya barusan.
“Suka kopi?” Aku hanya mengangguk mengiyakan ucapannya, lalu melanjutkan, “Apalagi saat suntuk” “Artinya, sekarang kau sedang suntuk, ya?” Demi apa, huh! Lelaki ini banyak tanya! Terpaksa aku mengangguk kembali mengiyakan ucapannya.
Saku almamaterku bergetar, sepertinya ada panggilan masuk. Dengan segera aku mengambil telepon genggamku dan mengangkatnya. “Keluyuran kemana lagi kamu!?” Tanya seorang pria dengan suara rendah, tanda ia sedang marah. “Lagi? Tck” Maaf, tapi aku tak pernah keluar sendiri selain dalam area sekolah. Ini pertama kalinya. “Pulang sekarang atau ayah seret kamu!” “Hm” Tut Tut
“Orangtuamu?” “Lebih tepatnya ayahku” Aku membenarkan ucapan Erlangga. “Aku duluan!” Kataku sembari melangkahkan kaki keluar dari kedai.
Baru saja aku membuka kenop pintu, suara berat milik ayahku menyambut kedatanganku. “Udah berani ngebantah? Ingat kondisi kamu!” Aku mengerlingkan mata. Lagi-lagi kondisiku! “Aku butuh hib-” “Hiburan macam apa? Kondisimu lebih penting, Senja Valiona!” “Ayah terus saja berbicara kondisiku, kondisiku. Apa-apa kondisiku. Dibawa ke rumah sakit, periksa ini itu, diberi ini itu, disuruh minum obat pahit. Aku gak tahu apa apa, Yah?! Ayah rahasiain semuanya!” Aku mengaku, aku berlebihan saat ini. Tapi, coba kalian bayangkan bila berada dalam posisiku!
Air mataku lolos membasahi pipiku begitu saja. Kulihat ayah menghela napas frustasi, kurasa ia ingin memberi tahu sesu- “Kanker hati stadium A” Ucapan Ayah barusan membuat kakiku lemas, hampir jatuh. “Kanker hati turunan dari ibumu. Kuharap kau mengerti mengapa ayah terlalu membatasimu, Ja. Selagi masih stadium awal dan belum menyebar, dengar kata-kata ayah. Ayah takut sesuatu yang lebih buruk terjadi”
—
“Liona!” Kupikir tak perlu kujelaskan siapa lelaki yang baru saja memanggilku. Ya karena hanya dia yang memanggilku Liona. Erlangga orangnya. Aku berbalik. Namun senyumnya yang sumringah kian pudar menjadi raut khawatir, ditambah kedua bola matanya yang melebar. Aku hanya memiringkan sedikit kepalaku, menyiratkan ‘ada yang salah?’
“Kau mimisan, Li! Seragammu kotor!” Ah, yang benar saja! Kini aku melihat seragam putihku yang tak berbalut almamater. Ternyata benar.
Aku berlari secepat mungkin hendak ke toilet, namun rasanya aneh. Kakiku lemas, perutku terasa nyeri betul, pandanganku berkunang-kunang, dan aku seperti ingin memuntahkan sesuatu.
“Liona!?” Panggil seseorang yang sepertinya Erlangga. Aku tak tahu apa apa. Aku terjatuh lemas dan pandanganku mulai menggelap.
“Sini kubantu duduk, Li” Mataku mulai terbuka dan mulai menyesuaikan dengan penerang ruangan. Suara Erlangga membuatku menolehkan kepala padanya. Padahal baru bertemu kemarin, ia sudah repot repot membantuku, bahkan membawaku kerumah sakit.
Erlangga membantuku bangkit dari posisi tidur menjadi duduk. “Li, maaf. Tapi kuharap kau tak terkejut. Aku mendapat informasi dari dokter. Katanya kau-” “Kanker hati stadium A?” Kulihat wajahnya terkejut, namun ia melanjutkan, “Iya, tapi lebih tepatnya stadium C” “Aku turut bersedih atas kondisimu, Li. Ah, Ayahmu sedang di administrasi” Maksudnya? Apakah aku terlihat menyedihkan saat ini? “Jangan kasihani aku seakan aku gadis yang lemah” Tuturku datar. “Buk- Ah, lupakan saja. Terserah kau menanggapi ucapanku dari perspektif apa. Aku hanya-Ah! Lekas sembuh!”
Erlangga kini berjalan keluar ruang inapku dan aku hanya menatap punggung lelaki itu yang sekarang telah terhalang oleh pintu.
Aku menundukkan kepala bersamaan dengan helaan napas. Semakin berjalan waktu, aku termenung.
“Ja,” Panggil ayahku. Entah seberapa larut aku termenung sampai tak sadar akan kehadiran ayahku. Aku mengangkat kepalaku dan memandang wajah ayahku yang terlihat sangat letih. “Kamu harus dirawat inap disini gapapa, kan?” Aku hanya mengangguk sembari memperlihatkan senyum tipis seolah berkata ‘semua bakal baik-baik aja, Yah’.
Semakin berjalannya waktu, kondisiku sudah semakin membaik. Untung saja waktu itu penyebaran sel kanker belum menyebar luas dan masih bisa disembuhkan. Selama di rumah sakit, aku tak pernah merasa kesepian. Ada ayah yang selalu siap sedia menjagaku, bahkan sampai lupa akan pekerjaannya yang sekarang sudah menumpuk. Ada sepupuku yang selalu menyuapiku ketika makan. Juga, ada Erlangga yang sering datang menjenguk dan menghiburku. Bersyukur aku bisa mengenal mereka semua. Tuhan baik banget, kan? Aku bahagia. Sangat. Beberapa minggu lalu, berita gembira baru saja kami dengar. Aku, dinyatakan sembuh dari penyakitku.
Namun sebenarnya, itu bukan akhir dari penderitaanku. Saat aku menjalani pemeriksaan rutin dua bulan sekali untuk mencegah timbulnya sel kanker lagi, ternyata hal menakutkan terjadi lagi. Hal yang sangat kami hindari. Aku, divonis menderita kanker hati, lagi. Bahkan penyebarannya sudah sangat sangat luas dibanding yang sebelumnya.
Saat ini, aku terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Rasanya sesak melihat ayah terus-menerus menangis. Andai ini baru stadium awal, aku bisa saja melakukan pemotongan atau reseksi. Namun, ini? Aku bahkan sudah mencapai stadium akhir, stadium D. Cara satu-satunya adalah melakukan transplantasi hati. Hhhh, rasanya ingin menyerah saja.
Hari ini, Erlangga datang menjengukku lagi. Ia hendak mengajakku ke suatu tempat dan untungnya Ayah menyetujuinya. Aku pergi dengan menggunakan kursi roda. Entahlah ia mau membawaku kemana.
“Mau ke kebun raya?” Aku tersenyum lebar. Erlangga seakan tahu keinginanku! Aku mengangguk antusias sembari tersenyum lebih lebar lagi. Aku dituntun Erlangga untuk naik ke mobilnya dan dengan segera ia melajukan mobilnya, membawaku ke Kebun Raya.
Sekitar 15 menit dalam perjalanan dari Rumah Sakit Bogor Senior ke Kebun Raya Bogor.
Kembali Erlangga menuntunku turun dari mobil dan memindahkanku ke kursi roda. Mataku berbinar bahagia! Aku sangat merindukan saat aku, Ayah, dan Ibu dulu bersama-sama ke Kebun Raya ini. Tapi, entahlah. Kebun Raya saat ini terlihat sepi dibanding tahun tahun sebelumnya.
“Kamu suka?” Tanya-nya sembari membantuku mendorong kursi roda. “Sangat! Makasih ya, Elang!” Ujarku penuh semangat.
Erlangga mendorong kursi rodaku ke arah bangku taman terdekat. Ia mendudukkan dirinya lalu memutar kursi rodaku berhadapan dengannya. Ia tersenyum. Entah untuk keberapa kalinya.
“Ada kota yang ingin kau kunjungi?” Sejenak aku berpikir. “Jogja” Erlangga menautkan kedua alisnya. Aku yang peka melanjutkan ucapanku, “dari namanya aja Daerah Istimewa Jogjakarta. Ga perlu alasan buat ngunjungin Jogja”
Kembali lagi Erlangga tersenyum. “Bogor juga istimewa, kok” Kini berbalik. Aku yang bingung. Bogor? “Karena hujan terus?” Erlangga menggeleng saat mendengar ucapanku. “Ada Kebun Raya?” Erlangga menggeleng lagi. “Ah, sudahlah aku gak tau. Apa yang istimewa dari Bogor?” “Kamu” Jawabnya sembari menatap kedua manik mataku intens. Apakah Erlangga selalu begini pada perempuan yang ia dekati? Bukankah ini berlebihan?
“Ayo, kuantar jalan-jalan” Putusnya. Kurasa ia risih karena tak ada perbincangan lain setelahnya–terlepas dia tipe yang tak bisa berhenti berbicara. Selalu saja ada pertanyaan! Namun aku merasa mual ditambah perutku yang nyeri. Kumohon jangan sekarang.
“Liona? Kau baik-baik saja?” “Li, Li!?” Menggelap dan aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya.
Aku membuka kedua bola mataku yang terasa sangat berat. Aku merasa sangat sesak, sulit untuk bernapas. “A-ayah” Aku memanggil ayahku. Namun, sayang. Aku tak melihat siapapun disini. Mereka semua kemana? Aku butuh mereka. Aku lapar, ingin disuapi Jeane, sepupuku. Aku butuh hiburan dari Erlangga. Aku– Aku tak kuat. Rasanya semakin sesak. Pandanganku buram dan menggelap.
– Jogjakarta, 26 Mei 2009 “Elang, Elang! Temenin Lio, yuk ke kedai kopi sana!” “Astaga Lio! Kamu udah dilarang Ibu minum kopi. Gak. Elang gak mau!” “Ih! Kok Elang jahat banget sama Lio! Yaudah, Lio pergi sendiri aja”
– Jogjakarta, 1 Juni 2009 “Mah, Lio marah banget, ya sama Elang sampai ga main bareng Elang lagi” “Elang kok ngomong gitu? Siapa tau Lio-nya lagi banyak tugas jadi ga sempat main sama Elang”
– Jogjakarta, 2 Februari 2013 “Mah,” “Iya, Elang? Kenapa?” “Elang rindu Lio, Mah. Elang yakin, Lio udah gak mau ketemu Elang lagi” “Elang kok mikirnya gitu, sih?”
– Jogjakarta, 12 Maret 2016 “Mungkin sekarang kita harus jujur sama Elang” “Tapi aku takut Elang jadi merasa bersalah!” “Merasa bersalah karena apa, Mah? Pah?” “E-Elang?” “Liona? Kalian tau sesuatu tentang Lio? Atau?” “Elang, ingat tidak saat Lio pengin-” “Pah!” “Biarin Elang tau semuanya” “Saat Lio pengin diantar ke kedai kopi dan Elang gak mau. Lio saat itu ga sengaja ditabrak saat mau nyebrang. Trus, karena parah, Lio akhirnya dibawa keluar kota biar dapat perawatan lebih intensif” “Kenapa Mama sama Papa baru ngasih tau?” “Karena Lio kehilangan ingatannya. Permanen”
– Bogor, Kedai Kopi, 16 Desember 2019 Erlangga berlari kecil menuju ke sebuah kedai dekat sekolahnya. Ia terpaksa menunggu hujan reda lalu pulang. Dengan penuh pertimbangan, akhirnya ia masuk ke dalam kedai. Setidaknya ia bisa menyeruput kopi sembari menunggu hujan reda.
Ia memesan kopi susu kesukaannya. Matanya menjelajah ke seluruh ruangan, namun ia tak mendapat kursi kosong. Hingga akhirnya, matanya menangkap sosok perempuan yang beralmameter sama dengannya. Mungkin ia bisa duduk bersama? Ia menghampiri perempuan itu dan duduk setelah mendapat persetujuan.
Erlangga, pemuda itu meneliti dengan jelas wajah perempuan di hadapannya. Perempuan itu–mirip seseorang. Liona. Nama itu kembali menghantui pikiran Erlangga.
Demi mengetahui nama perempuan dihadapannya ini, ia lebih dahulu basa basi memperkenalkan dirinya. “Salam kenal-” “Senja. Senja Valiona” Erlangga mematung sebentar, kemudian menetralkan kembali ekspresinya lalu menanggapi ucapan perempuan yang dikenalnya sebagai Senja Valiona. ‘Minumanmu, tempat kesukaanmu, namamu, dan wajahmu mengingatkanku pada seseorang’ Batin Erlangga.
– Bogor, Rumah Sakit, 17 Desember 2019 “Sebelumnya terima kasih karena kamu udah bawa Senja kesini” “Iya, om. Gapapa” “Oh, iya. Nama kamu siapa?” “Erlangga. Atau yang om kenal dulu dengan nama Elang” “E-Elang? Ini kamu? Astaga sudah semakin besar rupanya!” “Hehe. Om, kalau boleh tau, Senja kenapa?” “Hhhh. Kata dokter, kanker hati stadium C. Awalnya hanya stadium A, tapi sekarang sudah semakin menyebar” Lio. Gak mungkin!
Cerpen Karangan: Si Januari