Syukurlah, inti acara berjalan lancar. Para tamu lainnya sedang menyantap hidangan yang telah disediakan. Kali ini, aku sedang duduk-duduk dengan beberapa teman sekolahku. Kami sedang membicarakan penilaian tengah semester yang akan dilaksanakan minggu depan, tepatnya pada tanggal 16 Maret 2020, hari Senin.
“Kalau nggak salah, kita sudah dapat jadwal PTS nya kan?” Tanya Indah. “Masa kamu nggak tahu ind? Sudah sejak Sabtu lalu kan bu Arum ngasih kita jadwal.” Terang Qlaris. “Berarti, besok waktunya Seni musik, IPS, bahasa Sunda, dan sejarah.” Lanjutku. Kami melanjutkan percakapan seperti biasa. Namun, tiba-tiba seseorang staff datang menghampiriku. Dia terengah-engah, dan mencoba untuk menghirup nafas panjang sebelum membisikkan sesuatu kepadaku.
“Buk, ayah kenapa? Kok bisa masuk rumah sakit? Tadi kan ayah baik-baik saja.” Tanyaku lesu kepada ibu. Waktu di dinding ruang tunggu sudah menunjukkan pukul 14.25. Pesta ulang tahunku sudah berakhir sekitaran 30 menit yang lalu. Mbak Maya dan saudara ayahku akan mengurus sisanya, sedangkan aku dan ibuku sedang berada di rumah sakit umum, sambil menunggu ayahku selesai diperiksa. Kami disini sejak 10 menit yang lalu, tepat setelah ayah dibawa oleh ambulans dari tempat pesta menuju rumah sakit.
“uhuk-uhuk, Kamu yang sabar ya nak, ayah- uhuk uhukk” Perkataan ibu terpotong karena batuknya yang lumayan parah. Aku tahu, jika ayah mengidap penyakit asma, tapi aku tidak mengira asmanya menjadi separah ini. Biasanya ayah akan mengambil inhaler agar pernafasannya tidak terlalu parah. Tapi, apa penyebabnya ayah sampai diperiksa di ugd?
Beberapa menit pun berlalu. Sejak tadi, ibuku merasa tidak enak badan. Semakin lama, semakin tinggi juga kekhawatiranku kepada mereka berdua. Aku lepaskan jaket biruku, lalu kupakaikan di punggung ibu. Siapa tahu, ibu akan menggunakannya. “ceklek, kriett…” Suara pintu ruang UGD terbuka. Terdapat seorang dokter dengan kemeja putih keluar dari sana. Tidak salah lagi, itu adalah dokter yang memeriksa ayah! “kriett.. klek.” Tiba-tiba seseorang yang mengenakan seragam Hazmat (APD) juga ikut keluar dari ruangan tersebut. Seketika aku menjadi heran. Untuk apa seragam APD seperti itu dikenakan dalam ruang UGD? Apa yang telah terjadi?
“Apa benar anda merupaka keluarga pak Ezra?” Tanya dokter tersebut pada ibu ku. Ibuku mengangguk. Ia mengusap hidungnya dengan sapu tangan yang ia bawa, berusaha untuk membersihkan kotoran yang keluar dari hidungnya. “Sebelum ke intinya, perkenalkan, nama saya Fahri, saya yang memeriksa keadaan pak Ezra ya buk.” “Jadi, disini saya memiliki kabar buruk, saya memohon untuk mempersiapkan diri agar dapat mendengarnya lebih baik.” Lanjut dokter Fahri. Apa? Apa yang dimaksudnya dengan kabar buruk? Apakah ayah mengalami sesuatu? Atau bahkan yang lebih parah dari yang kupikir? Ibuku menghirup nafas lebih dalam terlebih dahulu. Aku pun berusaha untuk tenang, agar ‘berita buruk’ yang akan kudengar ini tidak terlalu buruk bagiku. “Maaf bu, bapak Ezra terjangkit virus Covid-19..”
Kami berdua terdiam. Aku berusaha untuk mencerna perkataan dokter Fahri tadi. Tidak mungkin ayah terjangkit covid. Padahal, penyakit asma yang diderita ayah sudah lumayan parah baginya. Aku melihat ke arah ibuku. Seketika air mataku mengalir. Ibuku mengeluarkan air mata yang cukup deras, ia menangis tanpa suara. Tiba-tiba ibu menunduk lesu. Tidak lama, ibuku menangis sekeras-kerasnya. Namun, ia tidak dapat mengeluarkan satu suara pun. Suaranya terdengar serak. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Masalah satu ini, kita serahkan kepada tuhan yang mengatur alur hidup keluarga kami.
3 hari berlalu, ibuku juga memasuki rumah sakit yang sama dengan ayahku. Ibu tiba-tiba pingsan di hari itu. Tubuhnya melemah, karena terlalu sering memikirkan ayah, ibu tidak sempat makan beberapa kali. Alhasil, dibawa lah ke rumah sakit, daripada semakin parah. Ibu dirawat oleh orang yang sama, yaitu dokter Fahri. Dokter Fahri menyatakan, bahwa ibu juga terjangkit covid-19, sama seperti ayah. Aku sedikit terkejut. Padahal ibu jarang terkena penyakit, apapun itu jenisnya, ibu selalu terhindar dari penyakit-penyakit tersebut. Alhasil, aku dirawat oleh saudara ayahku, sedangkan mbak Maya dan mas Alif isolasi mandiri di rumahnya masing-masing.
Banyak tamu undangan menelepon nomer keluarga kami, jika mereka juga terjangkit covid-19 selain ayah dan ibu. Teman-temanku, saudara, bahkan tetangga banyak yang terjangkit. Aku tidak mengira hal ini akan terjadi. Dokter Fahri, mengucapkan kepadaku, terdapat Seorang OTG yang datang ke dalam pesta ulang tahunku. Orang itu tidak menyadari bahwa ia sedang terjangkit oleh sebuah virus yang berbahaya. Dokter Fahri belum tahu pasti siapa yang menyebabkan masalah ini, tetapi aku tahu ‘orang itu’ siapa. Aku tidak akan menyebutkan namanya, karena itu sudah pasti akan membuat orang itu sadar dan malu terhadap dirinya sendiri.
Dokter Fahri berkata kepadaku, saat ia memeriksa keadaan tubuhku, dia sedikit terkejut. “Bagaimana anak kecil seperti kamu bisa terhindar dari covid?” herannya Yahh, aku tidak tahu juga persoalan itu. Karena aku sudah berjanji jika tuhan lah yang mengatur semua kehidupan di alam semesta. Aku akan menerimanya meskipun itu akan membebani alur hidupku. Tetapi.. Aku juga tidak bisa menerimanya secara langsung. Aku yang sekecil ini sudah diberikan percobaan yang sangat berat. Terkadang, aku perlu menyuarakan isi hatiku juga kepada orang lain.
1 tahun telah berlalu. Hari Kamis ini, tanggal 11 Maret 2021, kakakku pulang dari kuliahnya. Ia berkunjung ke rumah sebentar, lalu 2 minggu lagi ia akan pergi melanjutkan pendidikannya lagi. Dia memasuki kamar ayah dan ibu, lalu menemukanku sedang berbaring sambil menatap layar handphone. Yap! Aku saat itu sedang melihat-lihat foto ayah dan ibu yang sedang foto Bersama di 2 tahun yang lalu. Kak Ezra duduk di sebelahku, namun ia tidak mengeluarkan satu pun kata. Maka dari itu, aku mencoba untuk memulai topik pembicaraan.
“Selamat pulang kak, kak Ezra sudah ke makamnya ayah ibuk? Kalau belum, ayo ajak Saras ke sana.” Ajakku kepada kakak sambil tersenyum lebar. Kak Ezra hanya bisa menghembuskan nafas. Setelah itu, ia pun tersenyum kembali kepadaku. “Kamu kan dah tahu kalau kita gak bisa kesana, ada bahaya yang berkumpul dek..” “Gimana kalau kita berdoa aja untuk mereka, setelah itu, kita akan merayakan ulang tahunmu berdua sambil memakan makanan kesukaan ayah sama ibuk.” Lanjut kak Ezra.
Aku pun mematikan layar handphoneku, dan meletakkannya di atas laci meja. Lalu bangun dan menanyakan sesuatu kepadanya. “Kalau gitu, gimana ajak mbak Maya juga, kan sekalian buat berdoa buat mas Alif, biar nanti ngerayainnya bisa rame-rame meski gak ada bahaya hehehe.” Candaku Kakak pun mengangguk, ia berdiri lalu mengulurkan tangannya kepadaku. Aku menggenggam erat tangannya, dan beranjak keluar dari kamar ayah dan ibu.
Aku penasaran, apa yang ayah dan ibu pikirkan jika aku merayakan ulang tahunku yang ke 12 tanpa kehadiran mereka? Apakah mereka marah, sedih, atau pun, mereka justru Bahagia melihat anaknya yang ceria?