Siang itu langit terlihat kelam, awan mendung senantiasa menyapa bumi. Tak hujan, pun tak cerah. Entah mengapa matahari enggan menampakkan diri.
Semilir angin berhembus sejuk, damai menusuk ke dalam relung kalbu. Aku menikmati suasana Minggu siang ini di halte bus depan trotoar.
Tiga tahun lalu, lewat bus yang selalu aku tunggui untuk membawaku pergi ke kampus. Aku bertemu dengannya, pemuda yang satu kampus denganku, namun, berbeda gedung.
Hanya saling melempar senyum, awalnya, lalu hati terpaut akan seyumnya, wajahnya, suaranya dan seluruh yang ada di dalam dirinya.
Namanya terpatri, terukir di sini. Di sebuah gumpalan tampat melabuhkan segala lara dan rasa.
Halte bus tempat yang paling sering kami bertemu, bercanda atau sekadar berdiam dan melepaskan rasa. Sejatinya cinta tak selalu diungkapkan lewat kata, atau ditunjukkan dengan sikap.
Kadang diam bisa menjadi penyalur rasa yang paling dalam. Hanya saling menatap, tersenyum, dan hati mulai berdegup, hidup, karena rasa itu telah lebih dulu muncul.
Tiga tahun menjalin kisah, jangan tanya tentang sedih dan kecewa. Atau tentang suka dan bahagia. Semuanya ada, karena dua hati, dua sifat dan dua kepala, akan sering bertentang rasa dan juga pendapat. Terlebih tentang ego yang tak bisa dikuasai dan muncul merasuki diri.
Bertengkar, lalu berbaikan lagi. Karena rasa akan lebih berwarna saat kami bisa melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.
Rintik hujan mulai menapaki bumi, angin semakin kencang berembus menepi di hati.
Jari terus memutari sebuah benda, bibir berlafazkan sebuah nama. Tuhanku.
Sementara tangan di sebelah lagi mulai digenggam, menyalurkan kehangatan dari sebuah sentuhan. Lelaki itu melirik, lantas ia tersenyum. Manis sekali, sayang dirinya tak mampu aku miliki.
"Dingin, ya, Khal." Satu tangannya ia masukan di dalam saku jaket. Sedang tangan yang lainnya, masih mengenggam jemariku.
"Kamu belum pergi, Troy?" tanyaku, mengingatkan tujuan awal lelaki itu duduk di halte ini.
Menunggu waktu, sedangkan aku, menemaninya untuk sampai ke waktu itu.
Ia melihat jam yang melingkari lengan kirinya, lalu kembali melihatku.
"Sebentar lagi, ya, Khal. Lagian kamu juga belum ada panggilan, kan?"
Aku hanya tersenyum, menundukkan pandangan seraya menatap tasbih di dalam genggaman.
Ada desiran yang tak bisa kujelaskan setiap kami berada di halte ini. Aku rindu, juga pilu. Aku cinta, namun, terluka.
"Troy," panggilku lirih.
Lelaki itu menatapku, lalu pandangannya menatap ke arah yang sama denganku. Butiran cokelat yang selalu ada di dalam tasku. Karena dulu aku adalah mahasiswi di salah satu jurusan agama Islam. Aku terbiasa membawa serta kemana pun aku pergi.
Troy terdiam, jemarinya semakin erat menggenggam jemariku.
"Kita akhiri saja, sebelum semua semakin dalam, Troy."
Diam, hening dan tak ada balasan. Troy akan seperti itu jika kuajak untuk mengakhiri segala rasa ini.
Cinta yang dibalut sebuah luka. Sesak, karena kami sadar, selama apa kami bersabar. Kami berdua tetaplah berseberangan jalan.
"Troy."
"Aku, belum siap, Khal," lirih, kali ini dia menjawabnya. Tak bungkam seperti sebelumnya.
"Belum siap apa, Troy?" tanyaku lagi. Secercah harapan ada, aku berharap bahwa Troy mau mengalah. Namun, itu tak mungkin terjadi.
"Aku belum siap meninggalkanmu." Lelaki berwajah teduh itu menundukkan kepala, memandang liontin kalung yang tergantung di dada.
Aku pun sama, memandang tasbih yang ada di dalam genggamanku.
Saat kamu harus memilih meninggalkan Tuhanmu atau cintamu, mana yang akan kamu pilih?
Perbedaan itu tak nampak, namun, dia sangat nyata. Ada tembok besar yang terbentang, hanya bisa dihancurkan jika kamu mampu melepaskan iman.
Aku mau pun Troy, tak siap untuk itu. Akan tetapi, tak siap juga untuk pergi. Entah, sampai kapan hubungan ini berjalan. Walau kami tahu, akhirnya akan tetap menyesakkan.
Ketika assalamualaikum yang aku ucapkan, dan dijawab shalom olehnya. Atau tasbihku yang bertemu dengan kalung rosario milikmu.
Aku yang membuka tangan saat memanjatkan doa dan kamu yang mengenggam kedua tangan. Sujudku bertemu dengan simpuhmu. Antara kiblatku dan altarmu. Islamku dan Katolikmu.
Bisakah bersatu?
Troy bangkit dari duduknya, tangannya masih menggenggam jemariku. Sedikit menarik agar aku ikut bangkit.
"Troy," panggilku lirih. Lelaki itu melirik ke arahku.
"Bisakah katakan pada Yesusmu, ada wanita mukmin yang mencintai hamba-Nya."
Lonceng dari gereja di seberang jalan berdentang. Memanggil hamba Yesus untuk segera datang.
Troy hanya menatapku, telanan salivanya terlihat begitu berat. Sampai azan dari masjid berkumandang, panggilan untuk para muslim yang beriman.
"Beritahukan pada Allahmu. Di sini ada lelaki Katolik yang ingin menghalalkan umat Muhammad."
Kupejamkan kedua belah mata, menikmati desiran rasa yang begitu sesak di dada. Bahagia berbalut luka, cinta kita berseberangan langkah.
Troy melangkah ke depan, sementara aku melangkah ke samping kanan. Saling memandang, Tuhan yang kami tuju sama. Namun, caranya berbeda. Jalannya berbeda, kitab dan juga tuntunannya berbeda.
Antara indahnya masjidku dengan kubah putih. Dan megahnya gerejamu dengan salib di puncak tertinggi.
Tiga tahun kita bersama, dan selalu jalan ini pada akhirnya yang kita pilih. Setiap Minggu kita bersama, lalu berpisah dengan cara yang sama.
Sakit, namun tetap dijalankan. Salah, namun tetap dipertahankan. Karena cinta, tak mengenal perbedaan. Namun agama dan iman, kita tak akan pernah sejalan.
Hal yang sangat jelas, saat cinta yang begitu kuat harus terlepas dari genggaman.
