Namaku Nathania biasa di panggil Tania, aku merupakan murid SMA Bakti kelas 12. Aku memiliki hobi menyanyi, bahkan aku memiliki grup band yang bernama Latte. Nama grup band kami tercetus ketika aku dan teman-teman ku berkumpul bersama di cafe shop.
Saat itu kami sedang berdiskusi tentang nama grup yang cocok karena kita akan ikut pentas band antar sekolah.
Janet sebagai keyboard, Lutfi gitaris, Dani Basis, Dio drummer dan aku sebagai vokalisnya. Grup band kami baru mengikuti pentas setelah sekian lama hanya untuk memberikan kenang-kenangan ke sekolah.
"Kamu udah daftar Tan?" tanya Dio.
"Udah, aku udah daftar online kemarin."
"Gaes-gaes dengerin deh ini lagu barunya band Sean sebelum bubar." Janet membesarkan volume musik yang ia putar di ponselnya. "Baguskan kita bawain lagu ini aja gimana?"
"Oke tuh Net, gimana Tan kamu bisa gak nyanyiinnya?"
"Bisalah, ini yang nyanyi idolaku jadi aku harus menyanyikan dengan baik agar fillnya dapet."
Dio mulai menabuh drumnya di ikuti Lutfi, Dani serta Janet yang mulai memainkan musik. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul lima sore, Janet yang sadar akan hal itu bergegas membereskan keyboardnya.
"Ayo kita pulang ini udah jam lima."
"Apa!" serempak.
Kita berlima pun segera pulang ke rumah masing-masing. Saat aku berjalan ke rumah, aku harus melewati rumah kosong terlebih dahulu sebelum sampai ke rumahku. Banyak yang bilang jika rumah kosong disamping rumah ku itu berhantu.
Langit mulai gelap, aku mempercepat jalan ku karena takut berpapasan dengan hantu penunggu rumah kosong. Saat aku melewati rumah kosong itu tiba-tiba saja semua lampu taman menyala dan membuat ku ketakutan setengah mati.
"Argh," teriakku sekencang mungkin sambil berlari ke rumah.
Mamah yang saat itu sedang menutup jendela terkejut saat melihat ku berlari ke arah pintu.
"Kamu kenapa De, lari-larian gitu kayak habis lihat hantu aja."
"Ma-mah, ak-aku lihat hantu di rumah kosong itu."
"Hantu apa si, ngaco deh kamu mana ada hantu."
"Mah percaya deh sama Ade, tadi tiba-tiba aja lampu taman di rumah kosong itu menyala semua. Argh, takut."
Aku bergegas lari ke kamar ku, kemudian menutup jendela kamar ku yang pas dengan jendela kamar rumah kosong itu.
***
Seperti biasa setiap hari minggu keluarga ku sering melakukan kerja bakti. Semua penghuni rumah akan sibuk membersihkan seluruh ruangan serta membersihkan halaman.
Hari ini aku kebagian membersihkan halaman rumah, aku mulai membersihkan rumput liar terlebih dahulu sebelum menyapu dedaunan kering, lalu menyiram bunga.
"Permisi."
"Argh," teriakku saat mendengar suara bariton di belakangku. "Ad,ada apa?" mataku membulat saat melihat pria yang berada di hadapan ku. "Darel, OMG mimpi apa aku semalam bisa bertemu dengan idolaku," batinku.
"Aku di suruh mengantarkan kue ini ke tante Desi." Aku masih fokus melihat wajah tampan Darel sampai tak mendengar apa yang dia ucapkan. "Halo, tante Desi ada?"
"Ah maaf, mamah ada di dalam."
Aku segera merapihkan pakaian ku, lalu menyimpan selang yang akan aku gunakan untuk menyiram bunga. Darel kemudian mengikuti langkah ku masuk ke dalam rumah.
"Mah, mamah ada tamu."
Desi kemudian keluar dari kamarnya, "Eh nak Darel, ada apa?"
"Ini tante, tadi mamah sebelum balik ke Surabaya menitipkan ini untuk tante." Darel terlihat begitu risih saat aku terus menatap wajahnya dari samping.
"Ehm, kamu lagi apa Tania udah puas belum mandangin wajah Darel."
Seketika aku ingin menghilang dari hadapan Darel saat mendengar ucapan mamah kandung ku sendiri yang sudah membuat ku malu di depan orang yang aku suka.
Aku mengumpulkan semua rasa malu ku agar aku tidak membuat kesalahan saat berkenalan dengan Darel.
"Oya kak kenalin nama aku Nathania."
"Darel, tetangga baru di sini."
"Oya," teriakku yang langsung menjadi pusat perhatian mamah dan Darel. "Ehm maksudnya kak Darel tinggal di samping rumah ku, di rumah hantu itu?"
Darel tertawa mendengar ucapan ku, padahal aku sudah sekuat tenaga untuk tidak mempermalukan diri ku sendiri di hadapan idolaku. "Jangan-jangan yang kemarin malam teriak sambil lari-larian itu kamu."
Aku terpaksa harus menyunggingkan senyum meski hati ini sangat malu. Sebenarnya banyak pertanyaan yang ada di otak ku, kenapa band Sean bubar, bagaimana karir musiknya? Namun aku tidak berani menanyakan hal itu karena takut dia akan menyinggung perasaannya.
Aku merasa menjadi fans yang benar-benar beruntung, bisa begitu dekat dengan idolaku. "Tetanggaku rupanya Idolaku," batinku saat menatap wajah Darel yang sangat tampan.
Sore harinya aku dan teman-teman ku pergi ke sebuah studio, namun hampir semua studio di daerah ku penuh dengan anak-anak band yang sedang berlatih.
"Bagaimana ini, kita gak bisa latihan dong." ucap Janet.
"Telepon papah dulu ya," ucapku.
Tak lama papah mengangkat panggilan ku, "Halo kenapa De?"
"Pah peralatan band papah waktu dulu masih bisa di pake gak?"
"Kenapa memangnya?"
"Ade sama temen-temen mau latihan tapi semua studio penuh sama anak-anak yang juga ikut kompetisi." Hening seketika, Janet, Dio, Dani dan Lutfi menunggu jawaban ku. "Iya pah," aku mematikan panggilan. "Ayo kita let's go."
Akhirnya kita latihan di rumah ku, papah yang dulunya anak band masih menyimpan peralatan musiknya di ruang belakang. Meski sudah lama tidak di gunakan namun semua peralatan band milik papah masih berfungsi dengan baik.
Suara musik menggema di seisi ruangan, kita berlatih menyanyikan beberapa lagu grup band Sean hingga menarik perhatian Darel.
prok, prok, prok.
Darel bertepuk tangan saat kami selesai menyanyikan lagu terakhir grup band Sean. Semua teman-teman ku terkejut ketika melihat penyanyi aslinya melihat penampilan kami.
"Wah bagus sekali," pujinya.
"Oh my god kak Darel," teriak Janet. Namun Dio langsung menarik Janet untuk tidak bereaksi berlebihan.
"Apa kalian akan ikut kompetisi antar sekolah?" tanya Darel.
"Iya kak, kami sedang berlatih agar bisa menampilkan yang terbaik," ucap Dani. Tiba-tiba saja Darel mendekati ku mengambil alih microphon. "Ayo mainkan lagi musiknya."
Dio, Janet, Dani serta Lutfi bersemangat karena mengiringi penyanyi aslinya. Setelah selesai menyanyikan satu lagu, Darel kemudian mengkoreksi beberapa bagian melodi yang menurutnya kurang sesuai. Bahkan Darel memberikan sedikit warna agar kita tidak terlalu mengikuti band aslinya. Setelah selesai berlatih, tinggal aku dan Darel di ruangan tersebut. Aku mencoba bertanya mengapa dia keluar dari grup bandnya. Darel menjelaskan jika tak selamanya sebuah tim akan baik-baik saja. Lima kepala dengan pemikiran yang berbeda kadang sulit untuk di satukan, karena tidak memiliki titik temu akhirnya mereka memilih jalan masing-masing.
"Aku akan bersolo karir."
"Wah benarkan? Sebenarnya aku penggemar kak Darel. Aku sangat kecewa saat tau grup band Sean bubar, aku pasti tidak akan pernah melihat karya kakak lagi. Tapi setelah mendengar ucapan Kakak yang akan kembali ke dunia musik aku menjadi bersemangat."
"Benarkah," ucap Darel. Dia kemudian mengambil gitar memainkannya di hadapan ku. Darel mulai menyanyikan sebuah lagu yang tak pernah aku dengar sebelumnya. Aku menikmati alunan gitar dipadukan suara Darel, suara bariton yang selalu menjadi candu di telinga ku.
***
Hari yang dinantikan itu pun tiba, aku dan teman-teman ku bersiap mengikuti kompetisi bersaing dengan grup band dari sekolah lain. Ingatan ku kembali saat Darel datang ke kamar ku untuk memberikan syal kecil yang biasa dia bawa ketika sedang performance.
"Semoga berhasil, aku harap grup band kalian menang," ucapnya sambil mengelus rambut ku.
Perhatian kecil namun sanggup meluluh lantakkan hati ku. "Terima kasih kak."
Aku kemudian mengikatkan syal di tangan ku, seperti yang biasa Darel lakukan. "Jika dia datang berarti cinta ku tidak bertepuk sebelah tangan. Namun jika dia tidak datang berarti dia hanya menganggap ku seorang fans," batinku. Aku mulai menatap dan menyapa para juri dan penonton di sana. Suara ketukan drum mengisyaratkan jika kita akan mulai menunjukan performa kita di atas panggung.
"One, two, three let's go."
Penampilan kami rupanya menarik perhatian penonton yang ikut terhanyut dalam irama musik. Bahkan para juri tersenyum dan menikmati alunan musik yang kita bawakan.
Hingga sampailah pada penggumuman seleksi tahap ketiga, di sini hanya akan di pilih lima grup band yang akan melanjutkan ke babak selanjutnya.
"Baiklah selanjutnya saya akan bacakan lima grup band yang lolos ke babak final, yang pertama Dark, kedua Sanders, ketiga Latte."
Aku dan teman-teman ku bersorak ketika nama band kami masuk ke babak final. Tanpa aku sadari ada sepasang mata yang terlihat bangga kepada kami. Aku dan teman-temanku keluar dari gedung untuk merayakan masuk ke babak final namun saat kami berjalan sebuah mobil berhenti di depan ku.
"Butuh tumpangan?"
"Kak Darel." Janet bergegas masuk ke dalam mobil Darel di ikuti Dio dan yang lainnya. Aku kemudian ikut naik dan duduk di samping Darel.
"Selamat ya kalian masuk ke babak final."
"Dari mana kakak tahu?" tanya ku penasaran. Namun Darel lagi-lagi hanya tersenyum dan mengusap rambut ku.
Seperti mimpi saat tau Darel menonton pertunjukan kami dan duduk di bangku penonton. Ia memakai masker serta kacamata agar tidak ada yang mengenalinya. "Dia menyukai ku," batinku. Namun aku mencoba mengenyahkan pikiran ku. "Tidak Tania, dia datang untuk mensupport band kita."
Langkah Darel terhenti saat aku berjalan di depannya. "Tania," ucapnya.
"Apa, selamat ya. Kau akan sukses sebagai penyanyi, kau memiliki suara yang khas dan enak di dengar."
"Makasih kak, kalau begitu aku masuk dulu ya."
"Tunggu," Darel kemudian mendekati ku dan memberikan sebuah kotak kecil yang dihiasi pita di sana. "Masuklah."
"Makasih kak."
Aku yang berusaha biasa-biasa saja di depan Darel, berubah histeris ketika mendapat hadiah dari idolaku sendiri. Bahkan aku berteriak tanpa suara menunjukan kebahagiaan ku. Perlahan aku membuka Hadiah yang di berikan Darel. Sebuah gelang kecil yang bertuliskan namaku, namun saat aku membalikan tulisannya terdapat nama Darel di sana. Kemudian aku memakai gelang pemberian Darel lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh ku. Tanpa aku sadari ponselku terus bergetar menunjukkan nama Darel di sana.
***
Keesokan paginya Janet, Lutfi, Dio dan Dani datang kerumah ku untuk latihan terakhir sebelum performance sore nanti. Papah, mamah dan Abang ku ikut mensupport kami, mereka bahkan membawa banner bertuliskan nama Latte serta foto kami berlima.
Acara grand final pun di mulai, satu persatu grup band menunjukan performa mereka dengan baik. Termasuk Latte yang bersemangat menunjukkan karya yang aku buat sendiri dan di aransemen oleh Darel. Awalnya aku ragu untuk memperlihatkan karya ku, namun Darel malah meminta kami untuk menunjukkan karya band ku sendiri.
"Untuk juara ketiga, selamat untuk Sanders. Juara kedua grup band Angkasa," semua bertepuk tangan. Tak terkecuali aku dan teman-temanku yang mulai putus harapan. "Dan pemenang pertama kita adalah, Latte."
Kami berteriak dan saling berpelukan, bahkan kami meneteskan air mata bahagia. Papah, mamah dan abangku datang lalu memeluk kami serta memberikan ucapan selamat.
Setelah acara selesai, ada seorang pria datang dan berbicara dengan papah. Entah apa yang mereka bicarakan namun sepertinya sangat serius.
"Ehm," semua menatap papah. "Sepertinya langkah kalian harus terhenti." seketika wajah kami muram mendengar ucapan papah. "Tapi kalian harus melanjutkan perjalanan karir kalian bersama label besar."
"Yes," sorak kami bersama-sama.
Iya, pria yang berbicara dengan papah adalah perwakilan dari salah satu label terbesar di Indonesia. Kami akan memulai karir dengan membawakan lagu ciptaan kami sendiri.
Kabar bahagian ini pun ingin ku bagikan kepada Darel yang tidak datang ke acara final. Namun sepertinya dia tidak ada di rumah karena lampu rumahnya masih gelap. Aku kemudian membuka laci dan menyimpan gelang pemberian Darel ke kotaknya lagi. Tapi saat aku membuka kotak gelang tersebut terlihat secarik kertas. Aku pun membuka kertas tersebut dengan mata berkaca-kaca.
"Selamat Tania band mu sudah menjadi juara, dan kau juga berhasil menjadi juara di hati ku."
"Argh," Aku berteriak sekeras mungkin karena bahagia, ternyata diam-diam Darel juga menyukai ku. "Tetanggaku Rupanya Idolaku, dan Idolaku rupanya orang yang aku suka."