"Raya, luka tersakit yang kau rasa, aku harap sampai sini saja."
Sekuat genggaman Abimayu begitupun jerit hati Raya kala kalimat itu terucap dari bibir sang Kekasih, saat yang menjadi ketakutan Raya terjadi juga.
Dua tahun menjalani asrama terlarang, kisah cinta di atas titian luka. Sesakit itu Abimayu mempertahan rasa, perbedaan di antara mereka tak sedikitpun bercelah.
Bertahan demi cinta, berharap dinding permisah diantara mereka akan musnah. Nyatanya, semakin kuat Abimayu genggam, keduanya sama-sama sakit.
Luka Raya, begitupun Abimayu, baris kata yang Raya tuliskan tentang pangerannya hanya sebatas goresan tinta. Selamanya tak ada ruang untuk mereka.
"Lupakan aku, Ra, hapus semua yang kau rasa ... karena nyatanya, sesakit apapun kita berusaha yang kau terima hanya luka, Sayang."
Tidak, bukan ini yang ia mau. Raya tak sedikitpun menginginkan perpisahan ini, Aceh terlalu jauh jika hanya demi mencari cara berpisah.
"Bisakah kau tetap di sini? Jika memang tak dapat bersama tak apa ... izinkan aku untuk tetap menjadi bagian darimu, terima wanita itu tanpa harus melepasku dari jiwamu."
Abimayu menggeleng, jalan keluar yang Raya berikan tak baik sama sekali. Jika itu terjadi, maka akan lebih banyak luka nantinya.
"Aku tidak bisa menentang Mama, Ra, dan aku juga tak mungkin menyiksamu dengan luka."
Berpisah jalan terbaik bagi Abimayu saat ini, karena pecuma berusaha menggenggam Raya. Bukan hanya Mama yang ia khianati, tapi juga Tuhannya jika terus berpegang pada cinta
"Pergilah, sampaikan salamku untuk Ayah."
Hem, tak ada alasan bagi Raya. Anak pendeta sepertinya memang terlalu berani mencintai Abimayu. Sudah tahu jika yang ia dapat hanya luka, namun keduanya tetap nekat dengan janji Raya akan leluasa menerima bagaimanapun nantinya.
"Sebelum aku pergi, boleh aku bertanya?"
"Hm, apa?"
"Kau mencintainya?"
"Maaf, Ra ...."
Raya memejamkan mata, sakit yang ia terima berkali lipat. Raya bisa tak menyerah jika yang menjadi rintangannya hanya keluarga Abimayu. Tapi, tidak dengan wanita yang Abimayu cinta.
Seberapa kuat ia mencinta, jika hati kekasihnya telah berani mencintai wanita lain. Artinya, saat itulah ia mundur dan terpaksa harus berlapang dada.
"Baiklah, terima kasih, Abimayu Navendra, luka termanis yang akan selalu aku peluk sebagai kenangan."
"Lupakan, Ra, mengenangku hanya akan membuatmu semakin sakit," tuturnya dengan wajah setenang mungkin, menunjukkan bahwa kini ia baik-baik saja.
"Aku tidak mau."
"Kenapa kau begitu batu, biasanya kau patuh, Ra?"
"Tapi tidak untuk ini, Abimayu ... biarkan aku dengan pilihanku, layaknya aku mempersilahkanmu dengan apa yang kau pilih."
Terserah, Abimayu hanya mengangguk pasrah. Wajah kecewa Raya dapat ia baca, tapi inilah jalan satu-satunya. Kepergian Raya dengan langkah lemahnya begitu ingin Abimayu tahan, ingin ia rengkuh kembali tubuh mungil wanitanya itu.
"Maafkan aku, Raya."
Sungguh, hatinya sesakit ini menutupi fakta. Berbohong demi cinta, mengatakan hal yang membuat keduanya sakit agar Raya cepat melupa justru menyiksanya jua. Faktanya hingga akhir keduanya sama-sama saling melukai, walau tujuannya bukan demikian.