Aji Toba

Aji Toba

Author:IG @nuellubis

Dalam Perjalanan menuju Samosir

Tujuannya adalah selatan Danau Toba. meski, nanti, kata Batubara, Aji dan lainnya akan dibawa ke Pulau Samosir. Begitulah juga kesepakatan yang dibuat oleh Batubara dan beberapa pemimpin lainnya. Akankah mereka mengizinkan Aji dan lainnya terus tinggal, lalu memberikan perlindungan?

Sebetulnya, untuk Sari (adiknya Aji), Nawang Wulan (bidadari dari kahyangan), Tumijan, dan Wijaya, tidak terlalu dipermasalahkan untuk tinggal di kampung tersebut. Masalahnya adalah pada Aji. Aji dan... sesuatu dalam diri Aji. Pun, dengan hal-hal aneh yang Aji alami. Contohnya seperti Aji yang sewaktu-waktu bisa dijemput oleh lubang hitam dan terbawa ke dunia yang lainnya lagi.

Hal seperti itulah, yang membuat Aji seperti menjadi magnet dari orang-orang yang memiliki energi jahat seperti Khrisna dan Harris dari abad 21.

Aji memandangi jalan berbatu yang menurun perlahan menuju tepian Danau Toba. Udara sore itu terasa dingin, menusuk, tetapi indah. Kabut tipis menggantung rendah, seolah bersiap menutup seluruh tepian danau saat malam tiba. Tumijan berjalan di belakangnya. Nawang Wulan berjalan paling depan, langkahnya selalu ringan, hampir seperti tidak menyentuh tanah. Sementara Sari dan Wijaya berada paling belakang, sibuk berdiskusi soal apa yang harus mereka lakukan jika benar-benar tinggal di kampung yang dimaksud oleh Batubara.

“Kalau tinggal di sana, apakah makanannya enak-enak?” tanya Sari pelan. "Mereka seramah Mas Batubara dan Mas Bonar, bukan?"

Wijaya, yang lebih dewasa beberapa tahun, hanya mengangguk. “Kau jangan takut, Sari. Kalau ada yang macam-macam, Mas kamu itu, juga aku dan Tumijan, pasti akan melawan. Lagi pula, Bonar juga, kan, baik."

Sari menelan ludah, sedikit was-was sekaligus penasaran. Ia menengarai kampung itu bukan kampung biasa. Ada energi lain yang menyelimuti. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan.

Aji mendengarnya, tetapi tidak menoleh. Tidak punya tenaga untuk menenangkan adiknya. Ia sendiri dipenuhi kecemasan yang jauh lebih besar.

“Tujuannya selatan Danau Toba,” ucap Batubara beberapa jam sebelumnya, sebelum mereka turun dari rumah panggungnya. “Tapi kalian tidak akan berhenti di situ saja. Kita akan ke Samosir. Di sana, kalian akan bertemu pemimpin lain. Kalau diizinkan, kalian bisa tinggal.”

Aji sempat ingin bertanya banyak hal, tetapi Batubara mengangkat tangan.

“Kalian semua bisa tinggal. Kecuali kalau ada masalah dengan… sesuatu dalam diri Aji.”

Itulah yang terus terngiang-ngiang sampai sekarang. Sesuatu dalam diri Aji. Lalu ia menoleh pada bayangan dirinya sendiri di permukaan air danau. Mata itu masih mata yang sama. Tubuh itu tubuh yang sama. Akan tetapi energi yang kadang berkedut dari ujung jarinya, atau cahaya samar yang muncul saat ia mimpi buruk, atau suara aneh yang memanggilnya setiap kali ia sendirian. Itu tidak pernah ia pahami sampai sekarang. Hingga, yang membuatnya takut bukanlah kekuatan, melainkan kenyataan bahwa kekuatan itu justru menarik orang-orang jahat.

Ada Khrisna dan Harris. Dua nama dari abad 21 yang masih membuat bulu kuduknya merinding. Mereka itu seperti bayangan yang selalu mengintai. Orang-orang yang menurut Batubara, mereka hidup dari menyerap kekuatan supernatural orang lain. Entah mengapa, hanya Aji yang mereka incar keras-keras.

“Nah,” Batubara berhenti di sebuah tikungan tajam. Di depan mereka, hamparan danau membentang luas. “Kita akan naik perahu itu.”

Sebuah perahu kayu panjang, bermotif ukiran Gorga, menunggu. Tiga laki-laki tampak duduk di dalamnya, masing-masing menatap Aji dengan tatapan yang sulit dipahami. Antara campuran antara kagum, waspada, dan sedikit takut.

Aji menggigit bibir. Ia hampir ingin mundur.

Nawang Wulan, yang sejak tadi diam, perempuan itu mulai mendekat dan berbisik, “Tak perlu khawatir. Kahyangan sudah lama melihatmu. Apa pun yang kau bawa dalam tubuhmu… bukan kutukan.”

“Lalu apa?” tanya Aji tanpa menatapnya.

“Petunjuk.” Nawang tersenyum samar. “Petunjuk bagi dunia.”

Aji makin bingung. “Aku bahkan tidak tahu dunia mana yang dimaksud.”

“Apa saja,” balas Nawang Wulan. “Termasuk dunianya Pretty yang pernah kau datangi.”

Tumijan menyenggol Aji sambil mengangkat alis. “Artinya kamu itu penting, Aji. Sampai-sampai, terus menerus dikejar-kejar."

Aji mendengus lelah. “Itu masalahnya.”

Batubara mendekat, menepuk pundak Aji. “Dengar aku baik-baik. Samosir adalah tempat yang aman. Lebih aman dari sini. Di sana para pemimpin sudah bicara dengan… sesuatu dari masa depan. Mereka menunggu kedatanganmu.”

Aji membelalakkan mata. “Sesuatu dari masa depan?”

Batubara hanya mengangguk, tidak memberikan jawaban tambahan.

Mereka lalu naik perahu. Air Danau Toba terdorong pelan oleh dayung. Sinar matahari sore memantul di permukaan air, menghasilkan kilauan keemasan. Angin dingin bertiup dari sisi selatan. Tak ada yang bicara selama beberapa menit. Hanya suara air dan dayung yang menembus keheningan.

Hingga salah satu laki-laki pendayung menoleh dan berkata, “Aji.”

Aji terkejut. “Iya?”

“Jangan takut jika malam nanti ada suara yang memanggilmu.” Ia berkata dengan tenang namun tegas. “Di Danau Toba, banyak suara yang bukan berasal dari manusia.”

Sari langsung merinding. “Maksudnya apa, Mas?”

Laki-laki itu tersenyum tipis. “Di sini, arwah leluhur hidup berdampingan dengan manusia. Kadang mereka memberi tanda. Kadang memperingatkan. Dan kadang…”

Ia menatap Aji lama. “Mereka mencari seseorang yang bisa melihat apa yang tidak terlihat."

“Aku bukan siapa-siapa,” gumam Aji.

Tumijan mendekat dengan alis terangkat. “Aji, sejak dulu kamu memang bukan siapa-siapa. Tapi sejak kejadian lubang hitam itu, kurasa, yang dari segala hal yang kamu sudah pernah ceritakan, statusnya kamu menjadi bukan siapa-siapa tapi punya sesuatu. Paham?”

Aji menghela napas berat. Ia tahu Tumijan mencoba membuatnya tenang, tetapi justru membuat perutnya makin mual.

Nawang Wulan memejamkan mata, seperti sedang mendengar suara yang tidak bisa didengar manusia biasa. “Ada angin yang berbeda hari ini,” ujarnya lirih. “Sepertinya mereka sudah tahu kita dalam perjalanan.”

“Siapa?” tanya Wijaya.

“Dua bayangan dari masa depan,” jawabnya. “Khrisna dan Harris.”

Sari langsung memegang tangan Aji erat-erat. “Mas, mereka menyusul lagi?”

Aji tak mampu menjawab. Ia merasakan denyut aneh di dada. Seperti ada magnet yang ditarik dari dua arah, entah ke depan atau ke belakang, menghancurkan konsentrasinya.

Batubara berdiri dari kursinya, mencoba menjaga keseimbangan perahu. “Tenang semua. Kekuatan mereka tidak bisa menembus Danau Toba dengan mudah. Air ini… adalah penjaga yang tua. Bahkan sebelum manusia datang.”

Nawang Wulan mengangguk. “Danau ini hidup. Ia akan menolak energi gelap."

Aji menatap air yang bergerak pelan. Tiba-tiba, ia mendengar suara.

'Aji…'

Aji menegang.

'Aji… jangan takut…'

Suara itu datang dari dalam air. Dari kedalaman yang gelap.

“Ada… ada yang memanggil aku!” Aji berteriak lirih.

Batubara menunduk, memeriksa kilauan di permukaan air. Matanya menyipit. “Itu… bukan suara jahat.”

“Apa itu?” tanya Wijaya.

“Leluhur,” jawab salah satu pendayung. “Mereka sedang mengukur hati Aji. Apakah ia pantas dilindungi atau tidak.”

Aji ingin berteriak bahwa ia bukan siapa-siapa. Bahwa ia tidak meminta ini semua. Bahwa ia hanya ingin hidup normal. Namun suara itu datang lagi, yang lebih lembut dan makin mendekat.

'Aji… kami menunggumu…'

Aji memejamkan mata. Perahu bergoyang sedikit. Tiba-tiba, ia melihat sesuatu. Bukan di dunia nyata. Itu terjadi dalam bayangannya. Dalam benaknya, ada sebuah pulau. Pohon-pohon tinggi. Batu-batu besar berukir simbol kuno. Lalu ada sebuah rumah adat besar dengan cahaya biru menyala dari dalamnya. di depan rumah tersebut, berdiri sesosok perempuan tua berambut perak, matanya bercahaya seperti bulan.

“Kau akhirnya datang,” suara itu berkata.

Aji terbangun. Ia terengah-engah, memegangi dadanya.

Sari menggoyang bahunya. “Mas Aji! Kenapa?!”

Aji menatap Batubara. “A-aku melihat seseorang.”

Batubara menelan ludah. “Perempuan tua?”

“Iya.”

“Berambut perak?”

“Iya.”

“Matanya bercahaya?”

“Iya!"

Batubara memejamkan mata panjang-panjang. “Kalau begitu… tidak ada pilihan lain."

Ia membuka mata, menatap seluruh rombongan. “Kita harus tiba di Samosir sebelum fajar. Karena yang memanggil Aji… bukan sembarang leluhur.”

“Lalu siapa dia?” tanya Tumijan waspada.

Batubara menjawab dengan suara sangat pelan. “Mungkin berkaitan dengan lubang hitam yang Aji sudah ceritakan. Tentang perjalanan waktunya.”

Semua terdiam. Karena mereka sadar bahwa Aji bukan hanya membawa sebuah kekuatan.

Ia membawa sebuah takdir. Lalu, takdir itu, ia baru saja mengarahkan Aji ke banyak pengalaman baru, dan itu tak biasanya.