Love (Nahyuck)

Love (Nahyuck)

Author:

Meet you

Hilmi berlari secepatnya menuju toilet yang ada di ujung koridor. Jaraknya dari perpustakaan lumayan jauh memang, tapi apa boleh buat jika ia membutuhkan tempat yang sepi. Sebenarnya ada beberapa toilet dalam satu lantai, termasuk yang ada di sebelah perpustakaan. Tapi meskipun termasuk sepi juga, masih sesekali ada yang masuk. Jadi menurutnya lebih aman toilet di ujung koridor yang ada di samping tangga, walaupun sering di rumorkan berhantu.

Memasuki salah satu bilik kosong, bahkan tanpa repot menutup pintu biliknya, Hilmi segera membuka beberapa kancing depan kemeja yang dia pakai. Tampaklah sebuah kain putih yang melilit dadanya, yang segera ia lepas juga.

Dada putih dan lembut segera tumpah, yang sedikit tak biasa di tubuhnya yang sebenarnya laki-laki, tapi entah bagaimana masih tampak serasi.

Ia memijat pelan salah satu dadanya yang terasa nyeri, yang sepertinya semakin bengkak dan berat. Mendesis pelan, terus coba ia gosok perlahan, berusaha meredakan ngilu sambil menahan air mata yang hampir tumpah. Dalam kepala terus merutuki nasib yang mengapa harus terjadi padanya.

Sebelumnya dia memiliki tubuh laki-laki normal, yang tak ada bedanya dengan laki-laki lainnya. Hanya saja hampir setahun belakangan ini, tubuhnya mulai berubah. Dia tak berani memeriksakan diri ke rumah sakit, karena memang dia tak merasakan sakit. Hanya sesekali situasi seperti ini terjadi, yang bisa di hitung jari sejak pertama kali ia menyadarinya. Penyebabnya tak pernah ia tahu.

Hilmi yang sibuk, dengan posisi berdiri membelakangi pintu bilik, tak menyadari jika di belakangnya ada seseorang yang mengamatinya lekat.

Nalan lelah dengan tugas-tugasnya yang bertumpuk, yang terus antre untuk di selesaikan. Dia bukan perokok, tapi di saat seperti ini benar-benar ingin mencoba nikotin hisap itu. Maka untuk menenangkan pikirannya yang mulai semrawut, ia putuskan untuk meninggalkan sejenak semua barangnya di perpustakaan, untuk mendinginkan diri di toilet sebentar.

Dipilihnya toilet sepi diujung koridor, yang sepertinya lebih dingin daripada toilet lain karena jarang ada orang di sana. Tak ia pedulikan rumor toilet yang berhantu, sebab jika berlarut-larut, ia sendiri yang sepertinya akan menjadi hantu.

Sedari awal merenung di toilet sepi, ia tiba-tiba di kejutkan oleh kedatangan seseorang yang masuk dengan begitu rusuh. Awalnya ia acuhkan saja, berpikir jika itu hanya mahasiswa kebelet, dan masih terus berdiam diri di biliknya yang tertutup. Tak melakukan apa pun memang, selain duduk di dudukan toilet, bersandar ke belakang sambil menatap langit-langit yang putih.

Hanya saja tak berselang lama, terdengar suara rintihan dan desisan pelan, yang entah bagaimana jadi terdengar sedikit desahan juga di telinganya. Ah, mungkin efek dia kelelahan, juga sudah lama ia tak sempat memanjakan diri, sehingga tubuhnya memberikan sinyal bahwa ia butuh pelampiasan.

Tapi lama-kelamaan, suara itu bukannya hilang, malah semakin menjadi. Ia penasaran, tentu saja. Maka ia buka perlahan pintu biliknya, lalu keluar. Betapa terkejutnya ia saat mendapati bilik sebelah, yang jeda satu bilik dari tempatnya, terdapat seseorang sedang melakukan hal yang mengundang di sana.

Jika diamati bentuk tubuhnya dari belakang, sepertinya Nalan dapat sedikit menebak tentang siapa dia. Mungkinkah adik tingkatnya yang dari sastra inggris itu? Yang terkenal manis dan murah senyum itu? Sepertinya mirip sekali dengannya, atau memang dia?

Tiba-tiba matanya sedikit berkilat, dan senyuman jahat muncul di sudut bibirnya.

Perlahan Nalan berjalan mendekat, semaksimal mungkin meredam langkah kakinya. Dimatanya kini yang ada hanya bahu mulus di depannya. Kemeja krem yang seharusnya menutupi rapat-rapat, malah meluruh turun, memamerkan hingga setengah punggung terbuka.

Nalan menelan ludahnya.

Begitu jarak semakin menyempit, dari balik bahu ramping itu, dapat Nalan mengerti permasalahan yang tengah di alami oleh si manis ini. Sepertinya ada yang salah dengan tubuhnya, yang memiliki hal yang seharusnya tidak dimiliki oleh laki-laki. Tapi entah mengapa senyum Nalan malah semakin melebar, yang mana jika teman-temannya ada di sekitarnya, mereka akan segera lari ketakutan.

Menurut kesaksian teman-temannya, jika Nalan telah menampilkan senyum tersebut, maka hanya hal buruk yang akan terjadi.

Hilmi masih menahan dirinya, saat tiba-tiba kehangatan ia rasakan menyelimuti. Bukan hanya sekedar di punggung, tapi merambat hingga ke depan, mengambil alih hal-hal yang digenggamnya.

Tentu saja ia sangat terkejut dan marah, dan hendak menyikunya saat sebuah suara rendah tiba-tiba terdengar di samping telinganya, berbisik pelan, seolah iblis yang menggoda untuk melakukan kejahatan.

“Butuh bantuan?”

Sambil berkata demikian, salah satu tangannya membantu Hilmi menggosok lembut dadanya, sedang tangan yang lain melingkari perut ratanya. Punggung Hilmi menempel erat di dada bidang yang begitu luas dan hangat, membuatnya sejenak melupakan pelecehan yang sedang di alaminya.

“Ah....” sebuah suara kecil lolos dari sela bibir kemerahan itu, membuat bibir lain di belakang telinganya menampilkan senyuman yang semakin melebar.

Hilmi menggenggam erat tangan yang masih berusaha membantunya. Di belakang telinga ia rasakan lembap dan basah, ciuman kecil serta bisikan pelan juga dirasakannya. Sepertinya dia tahu siapa orang di belakangnya.

Semakin di goda, tubuh Hilmi semakin melemah. Bahkan kedua kakinya tak dapat lagi menumpu tubuh, yang kini hanya mengandalkan sosok di belakangnya sepenuhnya untuk menopang berdiri.

Ciuman Nalan semakin turun, ke wajah hingga leher Hilmi. Bukannya menolak, si manis malah mengangkat lehernya, memberikan akses lebih jauh, membuat Nalan semakin bersemangat. Diraihnya bibir menggoda itu, yang ternyata rasanya semanis wajahnya.

Di tengah kekacauan yang terjadi antara keduanya, tiba-tiba Nalan berhenti, lalu tertegun. Ia menunduk, memperhatikan tubuh si manis di lengannya. Hilmi yang merasakan jika Nalan tiba-tiba berhenti, sedikit bingung, lalu menatap ke arah mata Nalan memandang. Ia juga terkejut.

“Apa ini?” mengangkat tangannya, Nalan memperhatikan dengan lekat. Mendekatkan ke bawah hidung, Nalan mencium aroma manis, juga sedikit aroma lembut susu.

Saat menjulurkan lidahnya, Hilmi yang selalu memperhatikan gerakan Nalan, sedikit terkejut dan segera menampar pelan tangan pria itu. “Apaan sih?!”

Nalan yang ditampar tangannya, tak marah sama sekali, hanya menunduk dan memperhatikan kembali wajah merah di bawahnya. “Ini apa?” tanyanya pelan, sambil menunjukkan tangan yang sebelumnya di tampar oleh Hilmi.

Di tangannya, ada bercak putih sedikit keruh, yang sangat mencurigakan.