Cinta Sabrina

Cinta Sabrina

Author:cacasakura

Ep. 01

Malam itu langit seakan menangis, menemani jeritan kesakitan seorang wanita yang tengah berjuang antara hidup dan mati.

“Aaaaargh....sakit sekali” teriak seorang wanita yang tengah akan melahirkan.

Seorang wanita tua senantiasa berada di sampingnya

“Sabar bu, yang kuat ya bu. Sebentar lagi anaknya akan lahir” perintah seorang wanita yang merupakan seorang bidan.

“Bi ijah, mana....mas... Arman...” Tanya wanita yang akan melahirkan itu dengan terbata-bata menahan rasa sakit di perutnya.

“Tuan sudah saya hubungi nya, beliau bilang akan segera sampai di rumah, Nyah” kata bi Ijah menggenggam tangan majikannya.

“Aku...udah...nggak kuat bi. Sakiiit banget” keluh wanita itu yang memegangi terus perutnya.

“Rianti....rianti....” terdengar suara seorang pria yang membuka pintu kamar tempat wanita yang akan melahirkan itu.

“Rianti...sayang....kamu harus kuat sayang” hibur pria itu pada wanita yang di panggilnya Rianti.

“Mas Arman...aku...nggak...kuat mas” kata Rianti yang akan menyerah karena sudah kehabisan tenaga.

“Jangan kamu berkata seperti itu sayang, kamu harus kuat demi anak kita. Mas sangat mencintaimu” Arman duduk di samping istrinya.

Darah sudah merembes keluar dari tempat jalan lahir membasahi tempat tidur. Arman ingin membawa istrinya Rianti ke rumah sakit segera namun bidan melarangnya karena kondisi Rianti yang semakin lemah.

Dengan tenaga yang tersisa, Rianti terus berusaha melahirkan anak yang sangat dia sayangi. Bidan terus menerus memberi instruksi, Arman menggenggam erat tangan istri yang sangat ia cintai.

Oaaak....oaaaak...ooaaaak

Terdengar tangisan keras dari makhluk mungil yang baru datang ke dunia, suara tangisannya begitu nyaring membahana di dalam kamar itu.

“Selamat tuan besar, putri anda telah lahir dengan selamat dan fisik yang sempurna. Saya akan menyuruh perawat membersihkan putri anda dahulu”

Rianti tersenyum bahagia, bidan yang membantu persalinannya menatap aneh ke arahnya. Wajah cantik Rianti berubah pucat pasi dengan di hiasi rasa sakit yang di sembunyikannya dengan senyuman.

Bidan itu langsung memeriksa, dia sangat terkejut karena Rianti mengalami pendarahan yang hebat.

“Tuan...cepat kita bawa nyonya ke rumah sakit” perintah bidan itu.

Arman mendengar perintah bidan itu segera akan mengangkat Rianti. Namun, tangan Arman di tahan oleh Rianti dengan gelengan lemah darinya.

“Tidak mas...sudah terlambat. Aku hanya ingin di sini bersamamu dan putri kita”

“Apa maksudmu Rianti? tidak...tidak sekarang kita ke rumah sakit. Kamu akan cepat sembuh”

“Mas....aku sudah tidak kuat.... lagi... mas.... bi.... ijah... di... mana... putriku” tanya Rianti terbata-bata.

Setelah bayi mungil itu di bersihkan dan di bedong, bayi itu di serahkan pada Rianti yang kini menyandarkan tubuhnya di dada bidang suaminya.

“Mas....lihat....putri kita sangat.... Cantik” Rianti menggendong putrinya dengan senyuman.

Arman menitikkan air matanya saat merasakan tubuh istrinya yang mulai terasa dingin dan lemah.

“Rianti, ayo kita ke rumah sakit sekarang. Kamu akan sembuh dan kita akan merawat putri kita bersama-sama, kamu sudah berjanji padaku untuk selalu bersamaku walau apapun yang terjadi” Arman memeluk istrinya dari belakang membantu memegangi putri mereka bersamaan.

Tak ada jawaban yang terdengar dari bibir istri yang sangat di cintainya. Hanya keheningan dan tangisan bayi mereka yang menjawab pertanyaannya.

Semua yang hadir di sana meneteskan air mata dan mengetahui jika nyonya mereka telah berpulang kembali menghadap sang Khalik. Arman perlahan-lahan menidurkan istri yang di cintainya di tempat tidur, di perhatikannya wajah cantik istrinya kini telah memucat.

“Rianti....Rianti, bangunlah sayang... Kamu tidak bisa meninggalkanku seperti ini. Bangunlah sayang ku” Arman membangunkan istrinya, bi Ijah mendekat perlahan.

“Tuan ikhlaskan tuan, nyonya sudah pergi menghadap sang Ilahi. Jangan bebani langkah nyonya tuan” bi Ijah menasehati Arman.

Tangannya terulur menggendong bayi Rianti yang tidak henti-hentinya menangis.

“tuan, azanilah putri anda terlebih dahulu” pinta bi Ijah seraya menyerahkan bayi mungil itu pada Arman yang sudah mulai diam.

Arman tidak bergeming, matanya memandang hampa pada istrinya.

“Tuan” panggil bi Ijah.

Bi Ijah mengulurkan bayi mungil itu pada Arman. Mata Arman menatap nanar bayi tidak berdosa itu.

“jauhkan pembawa sial itu dari ku” hardik Arman, bi Ijah dan seluruh yang hadir di sana terkejut saat mendengar perkataan Arman.

“tuan, anda tidak boleh berkata begitu. Semua ini adalah titipan dari Allah, dan semuanya akan kembali pada-Nya”

“Dia adalah pembawa sial bagiku, tidak hanya merenggut orang yang sangat ku cintai. Kehadirannya di dunia ini sudah menjadi kesalahan dan kesialan bagi ku”

“Tuan....jangan anda berkata begitu. Walau bagaimanapun dia adalah putri anda yang sangat di cintai nyonya”

“di cintai....hahahaha.....jika dia mencintai putrinya kenapa dia meninggalkan kami?” Arman kembali meratapi dirinya sendiri. Tidak terbayangkan olehnya selama ini akan kehilangan istri yang di nikahinya dengan begitu cepat.

“Tuan, semua sudah menjadi suratan takdir. Anda harus ikhlas tuan, kasihan putri anda. Sudah menjadi tugas anda untuk mengazaninya?” nasihat bi Ijah.

“Tidak, dia adalah pembawa sial bagiku. Tidak hanya mengambil nyawa istri yang sangat ku cintai, dia juga membuatku kehilangan segalanya. Perusahaanku bangkrut, semua meninggalkanku” Arman meratapi dirinya, putus asa dengan takdir yang di hadapinya.

Bi Ijah hanya bisa pasrah menatap iba pada bayi di gendongannya.

Tangisan bayi itu menyiratkan rasa sedih yang harus di tanggungnya yang mendapat penolakan dari ayahnya sendiri.

Bi Ijah menenangkan bayi yang masih menangis di pangkuannya. Dengan telaten bi Ijah merawat bayi yang baru di lahirkannya, dengan terpaksa bi Ijah mengazani bayi mungil itu. Arman tidak pernah sekalipun menjalankan perannya sebagai ayah, dia meratapi kesedihan dan kegagalannya. Bisikan setan membuatnya menjadi gelap mata dan menyalahkan putrinya atas apa yang menimpa dirinya.

“Kasihan kamu nduk. Baru kamu menghirup udara di dunia ini, kamu sudah di tolak oleh papamu. Semoga papamu menyadari kesalahannya dan di tunjukki jalan yang benar oleh sang Illahi” bi Ijah membelai lembut pipi dan rambut bayi itu.

“bahkan ayahmu tidak mau memberimu nama" bi Ijah menghela nafas berat

"Maaf ya non seharusnya bukan bibi yang memberi nama untuk non, tapi bibi ndak bisa membiarkan tuan memanggil non dengan sebutan pembawa sial. Bibi akan memberi namamu Sabrina Zalfa Kusumo, bibi berdoa kelak kamu menjadi anak yang sholehah dan kebanggaan bagi keluarga Kusumo” doa bibi Ijah untuk putri majikannya yang kini di asuhnya.

Tahun berganti tahun, sabrina kini berusia 8 tahun. Selama 8 tahun pula Arman tidak pernah menganggap Sabrina putrinya, Arman selalu bersikap dingin dan sangat membenci Sabrina.

Arman pun tak akan segan melayangkan tangannya saat Sabrina tidak sengaja melakukan kesalahannya. Hukuman demi hukuman telah menjadi makanannya sehari-hari, hanya bibi Ijah yang membesarkan hati putri majikannya.

Walaupun bi Ijah yang mengasuh sabrina, bi ijah tetap memberitahu jika Sabrina adalah putri majikannya. Bibi Ijah memperlihatkan foto ibu kandung sabrina, Rianti yang telah mengorbankan nyawanya untuk melahirkan Sabrina.

*************

terus dukung Author

dengan cara like, vote dan tipnya.....😊😊😊

jangan lupa juga kasih rate nya ya....😊😊😊

( Π_Π )

makasih..... tetap semangat 🤗🤗🤗🤗