Chapter 0
Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca novel ini. Novel ini mengangkat tema reinkarnasi dalam dunia politik, ekonomi, dan perkembangan sebuah negeri yang bertekad untuk maju. Meskipun berlatar dunia fiksi, beberapa elemen dalam cerita ini diadaptasi dari realitas yang ada di dunia kita, termasuk strategi politik, ekonomi, dan dinamika kekuasaan yang sering kali terjadi di berbagai negara.
Saya menyadari bahwa tema politik bisa menjadi topik yang sensitif, terutama karena dapat menyinggung berbagai sudut pandang yang ada di dunia nyata. Namun, tujuan utama novel ini bukan untuk mengkritik atau menyudutkan pihak tertentu, melainkan untuk mengeksplorasi bagaimana sebuah negeri bisa berkembang melalui keputusan strategis, aliansi, dan bahkan konflik ekonomi yang sering kali terjadi di balik layar pemerintahan.
Selain itu, novel ini juga menghadirkan motivasi dan inspirasi bagi mereka yang tertarik dengan strategi pembangunan, diplomasi, serta bagaimana kebijakan yang tepat dapat mengubah nasib suatu bangsa.
Semoga Anda menikmati perjalanan ini, merenungkan berbagai strategi yang dimainkan di dalamnya, dan mendapatkan perspektif baru tentang dunia politik dan ekonomi dalam balutan kisah reinkarnasi yang penuh tantangan.
Selamat membaca!
JATUHNYA SEORANG PEMIMPIN
Negeri ini tengah berada di ambang kehancuran. Kekacauan merajalela, menyusul konflik politik yang tak berkesudahan serta ekonomi yang runtuh. Inflasi melambung tinggi, harga kebutuhan pokok tak lagi terjangkau, dan jutaan orang kehilangan pekerjaan. Protes terjadi di mana-mana, massa yang marah turun ke jalan menuntut keadilan, namun tak menyadari betapa sulitnya mewujudkan hal itu di tengah situasi seperti ini.
Di balik tuntutan mereka, ada bayang-bayang kekuatan yang ingin menghancurkan segalanya. Para provokator menyusup, menyebarkan kebohongan, mengadu domba rakyat dengan pemerintah. Mereka memainkan emosi publik, menjadikan ketidakpuasan sebagai senjata untuk menggulingkan pemerintahan.
Aku adalah Raka, berusia 50 tahun, dan saat ini menjabat sebagai presiden negeri ini. Sebagai pemimpin, tanggung jawabku lebih dari sekadar menjalankan negara. Aku harus menghadapi intrik, pengkhianatan, serta permainan kotor para lawan politik yang tak segan menggunakan segala cara demi menjatuhkanku.
Mereka telah menyebarkan fitnah, merusak citraku di mata rakyat. Tuduhan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, hingga konspirasi dibuat untuk menyeretku ke dalam kehancuran. Namun, aku bertahan. Aku pikir selama aku tetap berdiri teguh, semua akan membaik. Sayangnya, aku salah.
Situasi semakin memburuk ketika tim oposisi berhasil membakar amarah massa. Tuduhan-tuduhan tanpa bukti mulai dipercaya, rakyat yang dulu mendukungku kini berubah menjadi algojo yang siap menuntut kepalaku.
“Pak, bagaimana ini?” Suara panik dari manajer kepercayaanku memecah keheningan di ruang kerja.
Aku menatapnya dengan senyum tipis. “Jangan panik. Aku akan menyelesaikannya sendiri.”
“Pak, Anda tidak bermaksud untuk menyerahkan diri, kan?”
Aku tak menjawab, hanya tersenyum sebagai jawaban. Dia tahu apa yang kupikirkan.
“Maafkan aku, mungkin kali ini aku akan turun... demi meredakan situasi ini.”
Aku sudah lelah. Selama puluhan tahun aku berjuang demi negeri ini, namun tak seorang pun peduli dengan semua pengorbananku. Jika menyerahkan diri bisa mengakhiri semua ini, maka biarlah demikian.
Aku melangkah keluar dari istana negara. Di depan gerbang, ribuan orang telah berkumpul, meneriakkan berbagai cacian kepadaku.
“Adili tikus negara!”
“Hukum presiden korup!”
Teriakan kebencian itu menusuk hatiku. Mereka tidak tahu kebenaran, namun mereka memilih untuk percaya pada kebohongan. Aku melihat wajah-wajah puas di antara kerumunan — para musuh yang selama ini bersembunyi di balik layar, tersenyum puas menyaksikan kejatuhanku.
Aku memasuki mobil hitam yang membawaku ke tempat sidang.
RUANG SIDANG
Di ruangan ini, keadilan hanyalah ilusi. Bukti-bukti palsu menumpuk di meja hakim, saksi-saksi yang telah dibeli dengan uang kotor memberikan kesaksian palsu, dan aku hanya bisa duduk mendengarkan vonis yang telah mereka putuskan sejak awal.
HUKUMAN MATI
Undang-undang yang kubuat untuk menindak tegas kejahatan korupsi, kini justru menjeratku pertama kali. Ironi yang menyakitkan.
Hari eksekusi tiba. Ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan kejatuhanku, baik secara langsung maupun melalui siaran media. Ini adalah sejarah — pertama kalinya seorang presiden dieksekusi di depan publik.
Saat aku diikat dan kepalaku ditutup kain hitam, eksekutor berbisik di telingaku.
“Pak... maafkan aku. Aku hanya menjalankan perintah.”
Aku tersenyum tipis. “Tidak apa-apa. Lakukan tugasmu dengan baik.”
Sebuah anggukan pelan. Kemudian—
DORR!
Tembakan tepat di kepalaku. Dunia menjadi gelap. Namun, kisahku belum berakhir di sini...