Mengendalikan Hasrat

Mengendalikan Hasrat

Author:usagi_18__

Bab 1.

Hasrat Yang Terpendam.

Alina menatap bayangannya di cermin. Gaun hitam yang membalut tubuhnya begitu pas, menampilkan lekuk tubuhnya tanpa berlebihan. Rambut panjangnya tergerai lembut, sedikit bergelombang di ujung. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang gelisah.

Malam ini adalah acara bisnis penting yang diadakan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Sebagai salah satu manajer pemasaran terbaik, Alina tidak bisa menghindar dari acara ini. Namun, ada sesuatu yang membuatnya ragu untuk datang. Atau lebih tepatnya, seseorang.

Reza.

Nama itu berputar di kepalanya seperti mantra yang sulit dihapus. Reza bukan hanya rekan bisnis, tetapi juga pria yang pernah membuatnya kehilangan kendali. Tatapannya tajam, suaranya berat dan menenangkan, serta sikapnya yang penuh percaya diri selalu berhasil membuat Alina merasa… berbeda. Ia bukan remaja labil yang mudah terpengaruh, tetapi di hadapan Reza, ia sering kali merasakan hal-hal yang berusaha ia redam selama ini.

Ia menegakkan bahunya. Tidak. Malam ini, ia bukan Alina yang lemah. Ia adalah wanita yang tahu cara mengendalikan diri.

...----------------...

Acara sudah berlangsung ketika Alina tiba. Aula hotel itu dipenuhi orang-orang penting, dengan denting gelas dan suara obrolan ringan di mana-mana. Ia tersenyum dan menyapa beberapa kolega, berusaha bersikap sewajarnya.

Dan kemudian, ia melihatnya.

Reza berdiri di sisi ruangan, mengenakan setelan hitam yang terlihat sempurna di tubuhnya. Ia tampak berbicara dengan beberapa orang, tetapi matanya tiba-tiba bertemu dengan Alina. Sejenak, waktu terasa melambat.

Alina menelan ludah. Ia bisa merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, tetapi ia segera mengingat dirinya sendiri. Ia harus tenang. Ia harus mengendalikan perasaannya.

Reza tersenyum kecil dan berjalan ke arahnya. "Alina," sapanya dengan suara rendah yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Ia membalas dengan anggukan sopan. "Reza. Lama tak bertemu."

"Benar. Kupikir kau tidak akan datang," katanya, nada suaranya terdengar seolah ia tahu sesuatu yang tidak dikatakan Alina.

"Aku hampir tidak datang," jawab Alina jujur. "Tapi kurasa aku harus menepati tanggung jawabku."

Reza tersenyum kecil. "Dan aku senang kau datang."

Ada sesuatu dalam caranya mengatakan itu yang membuat Alina merasa seperti sedang diuji. Seperti ada tantangan tersembunyi dalam setiap kata yang diucapkan Reza.

Mereka berbicara selama beberapa menit, membahas pekerjaan, proyek terbaru, dan rencana perusahaan. Namun, ada ketegangan yang tidak bisa diabaikan. Setiap tatapan mata Reza, setiap gerakan kecilnya, seperti memiliki makna yang lebih dalam.

"Masih berusaha mengendalikan semuanya?" tanya Reza tiba-tiba, membuat Alina tersentak.

"Apa maksudmu?"

"Dirimu sendiri," jawabnya dengan nada santai, tetapi matanya tajam. "Aku selalu penasaran, sampai kapan kau bisa terus menekan perasaanmu?"

Alina merasa seperti seseorang baru saja membuka rahasianya yang paling dalam. Ia ingin menyangkal, ingin berkata bahwa ia baik-baik saja, bahwa ia tidak menekan apa pun. Tetapi, ia tahu itu akan menjadi kebohongan.

Ia menarik napas pelan, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Aku harus berbicara dengan beberapa orang. Kita bisa mengobrol lain kali."

Reza tidak menahannya. Ia hanya tersenyum, seolah tahu bahwa Alina sedang melarikan diri.

Dan mungkin, itu memang benar.

...----------------...

Malam semakin larut, tetapi Alina belum bisa tenang. Ia berdiri di balkon hotel, mencoba menikmati angin malam yang sejuk. Tetapi pikirannya terus melayang pada kata-kata Reza.

Sampai kapan kau bisa terus menekan perasaanmu?

Ia benci mengakui bahwa kata-kata itu benar-benar mengganggunya.

Selama ini, ia selalu percaya bahwa menjadi kuat berarti bisa mengendalikan dirinya sendiri. Bahwa hasrat bukanlah sesuatu yang harus dibiarkan menguasai dirinya. Tetapi, apakah itu berarti ia harus menekannya sampai ia sendiri merasa tersiksa?

Suara langkah kaki membuyarkan lamunannya.

"Aku tahu aku akan menemukanmu di sini," suara Reza terdengar lagi.

Alina menoleh, sedikit terkejut. "Aku hanya butuh udara segar."

Reza bersandar pada pagar balkon, menatap langit malam. "Kau terlihat gelisah."

Alina menghela napas. "Aku hanya lelah."

"Atau kau sedang memikirkan kata-kataku?"

Alina menegang, tetapi berusaha tetap tenang. "Mungkin sedikit."

Reza tertawa pelan. "Aku tidak bermaksud membuatmu merasa tidak nyaman. Aku hanya ingin kau berpikir… apakah yang kau lakukan selama ini benar-benar membuatmu bahagia?"

Alina terdiam.

Ia ingin berkata bahwa ia baik-baik saja. Bahwa hidupnya sudah sempurna. Tetapi, dalam keheningan malam, ia menyadari sesuatu.

Ia tidak bahagia.

Ia merasa hampa.

Mengendalikan hasratnya selama ini bukanlah pilihan yang ia buat dengan kesadaran penuh, tetapi lebih kepada ketakutan. Takut kehilangan kendali, takut melakukan kesalahan, takut membiarkan dirinya terbawa arus yang tidak ia inginkan.

Reza menatapnya dengan penuh pengertian. "Aku tidak meminta jawaban sekarang. Tapi kupikir, kau harus mulai jujur pada dirimu sendiri."

Alina menatapnya dalam diam.

Malam itu, ia tahu bahwa ia telah menghadapi pertanyaan yang selama ini ia hindari.

Dan untuk pertama kalinya, ia tidak tahu jawabannya.

...****************...

Alina tidak langsung menjawab. Kata-kata Reza masih bergema di pikirannya, menelusup ke sudut-sudut hatinya yang selama ini ia tutup rapat. Udara malam yang sejuk pun tidak cukup untuk menenangkan kegelisahannya.

Mengapa ia selalu berusaha mengendalikan semuanya?

Selama ini, ia menganggap bahwa mengendalikan diri adalah tanda kedewasaan, tanda bahwa ia tidak mudah terbawa arus emosi dan keinginan sesaat. Namun, pertanyaan Reza membuatnya ragu.

Apakah semua ini benar-benar pilihannya?

Atau hanya ketakutan yang ia bungkus dengan alasan ‘mengendalikan diri’?

Alina menatap Reza yang masih berdiri di sampingnya, bersandar santai pada pagar balkon. Pria itu terlihat tenang, seolah yakin bahwa suatu saat Alina akan menemukan jawabannya sendiri.

“Aku tidak tahu harus menjawab apa,” kata Alina akhirnya.

Reza menoleh, senyum tipis terukir di wajahnya. “Tidak apa-apa. Kadang, kita tidak harus selalu tahu jawabannya.”

Alina tertawa kecil, meski ada kegetiran dalam suaranya. “Aku selalu merasa harus tahu. Harus punya kendali atas segala hal dalam hidupku.”

“Dan bagaimana rasanya?” tanya Reza, nadanya lembut namun tajam.

Alina terdiam.

Ia ingin menjawab bahwa semuanya baik-baik saja. Bahwa hidupnya berjalan sesuai rencana, tanpa kekacauan, tanpa emosi yang berlebihan. Tetapi, apakah itu yang benar-benar ia rasakan?

Bukankah ada malam-malam di mana ia merasa kesepian?

Bukankah ada saat-saat di mana ia ingin melepaskan diri dari semua aturan yang ia buat untuk dirinya sendiri?

“Aku…” Alina menghela napas panjang. “Aku merasa lelah, Reza.”

Untuk pertama kalinya, ia mengakui perasaannya dengan jujur.

Reza tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, seolah memahami lebih banyak tentang Alina daripada yang ia sadari sendiri.

“Kau selalu terlihat begitu kuat, Alina,” katanya akhirnya. “Tapi menjadi kuat tidak selalu berarti harus menekan semua perasaanmu.”

Alina menatapnya, matanya berkilat dalam cahaya redup balkon. “Lalu apa artinya menjadi kuat?”

Reza tersenyum kecil. “Menurutku, kuat berarti berani menghadapi apa yang sebenarnya kau inginkan, tanpa rasa takut. Bukan menolaknya, bukan mengabaikannya, tapi menghadapinya dengan sadar dan bijak.”

Alina terdiam cukup lama.

Ia tahu, apa yang dikatakan Reza ada benarnya. Mengendalikan hasrat bukan berarti menekannya sampai hilang, melainkan mengarahkannya dengan cara yang tepat. Tetapi, bagaimana caranya?

“Aku tidak ingin kehilangan kendali,” ucapnya lirih.

Reza mengangguk pelan. “Kendali bukan tentang menolak. Kendali adalah tentang memilih. Jika kau terus menekan perasaanmu tanpa benar-benar menghadapinya, kau hanya menipu diri sendiri.”

Kata-kata itu kembali mengguncang Alina.

Ia memalingkan wajahnya, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Sebuah pertanyaan muncul di benaknya: apa yang sebenarnya ia inginkan?

Ia tidak tahu.

Atau mungkin, ia tahu… tetapi takut untuk mengakuinya.

“Sudah larut,” kata Alina akhirnya, mencoba mengakhiri percakapan ini sebelum pikirannya semakin berantakan.

Reza mengangguk, tak mencoba menahannya. “Baiklah. Tapi sebelum kau pergi…”

Alina menoleh.

Reza menatapnya dalam. “Jangan takut untuk mengenali dirimu sendiri, Alina. Kadang, jawaban yang kita cari sudah ada di dalam diri kita, hanya saja kita terlalu takut untuk menerimanya.”

Alina menggigit bibirnya pelan, lalu mengangguk.

Ia berbalik, melangkah pergi, tetapi kata-kata Reza terus menggema di kepalanya.

Malam ini, ia menyadari bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang selama ini ia abaikan.

Dan mungkin, sudah saatnya ia berhenti lari dari dirinya sendiri.