BAB 1 [Sedang Dalam Perbaikan]
Jingga adalah seorang siswi berprestasi, ia pun tumbuh sebagai anak kebanggaan keluarga. Menjadi yang terbaik dan sekaligus menjadi juara pertama bertahan sudah jadi kebiasaannya. Semua orang mengenalnya sebagai siswi teladan dengan masa depan yang cerah.
Namun, tak ada manusia yang benar-benar sempurna, entah mengapa pada semester kali ini. Posisi Jingga yang selalu bertahan pada peringkat pertama ranking paralel di sekolahnya lantas bergeser sedikit menjadi peringkat kedua.
Dan hal itu, membuat mamanya si mawar murka. Sesungguhnya wanita itu tak pernah punya kompromi atas nilai Jingga yang tak sempurna. Karena baginya, kemampuan Jingga lebih dari apa yang dipikirkannya.
“Peringkat dua?” Desis mawar seraya melemparkan buku raport Jingga. Jingga yang tengah berbaring santai menonton televisi lantas bangkit dan memeriksa. Jingga berfikir, bahwa performanya sudah cukup bagus untuk semester ini.
“Jingga sudah cukup berusaha ma, cuman..” Mawar kemudian memotong perkataan Jingga.
"Berusaha gimana?! Kalau sudah cukup berusaha, mustahil kamu jadi nomor dua."
"Ini nilai Jingga udah bagus loh ma.." Agaknya, mawar tak peduli apa komentar anaknya hingga selalu saja dirinya memotong pembicaraan kala Jingga hendak membela dirinya sendiri.
"Bagus apa? kamu pikir dong Jingga?!"
"Di mana ambisimu, apa kamu pikir bahwa kamu cukup pantas untuk merasa puas atas pencapaian kamu, hah!"
"Jadi kamu santai, berleha-leha dan tidak mempedulikan masa depan kamu yang cerah itu!" Jingga tak bisa lagi berkata-kata, seandainya saja mamanya tau jika dirinya pun selalu keras dalam berusaha.
"Jingga nggak bermaksud santai kok ma, tapi Jingga punya capek ma..." Jawaban Jingga terdengar lemas, sedikit harapan bahwa sang mama akan berempati padanya. Namun, hal itu justru semakin membuat mawar murka.
"Capek? Kamu pikir di dunia ini orang-orang peduli kalau kamu capek? Apa kamu pikir nanti universitas impian kamu itu akan menerima orang-orang yang capek? Kamu bukan anak sembarangan, Jingga. Kamu punya previlege, harusnya kamu paham bagaimana caranya memanfaatkan itu!"
Ingin rasanya Jingga menutup gendang telinganya yang tertusuk akan lengkingan suara Mawar yang menggema. Dilain sisi, dirinya pun takut. Hingga wajahnya memucat seketika.
"Ma, Jingga cuman mau mama mengerti. Hiks." Suara jingga yang lemah bergantikan dengan suara isak tangis pilu.
"Mengerti? Kamu yang seharusnya mengerti, bahwa anak-anak Mama harus selalu jadi yang pertama. Dan mama harap kamu cukup mengerti, untuk tidak lagi membuat orang tua ini merasa kecewa." Kemudian mawar pergi begitu saja, meninggalkan Jingga yang telah memucat di ujung sofa dengan memendam amarah.
Tak ada yang pernah tahu, bahwa dalam kehidupan Jingga yang terasa sempurna itu. Ia selalu dituntut untuk menjadi yang pertama dan terbaik. Hanya demi mengabulkan ekspektasi kedua orang tuanya yang justru teramat menyakitinya.
Jingga lelah, tentu saja. Ia pun juga bosan dengan hidupnya yang tak seru, hanya belajar dan mengikuti lomba. Ini bahkan tak seperti hidup yang dirinya mau.
...***...
Seperti sebuah tradisi, bahwa keluarga Jingga akan mengadakan makan makan spesial setelah hasil ujian anak-anak mereka keluar. Kali ini, keluarga mereka melangsungkan makan malam itu pada sebuah restoran mewah yang tak begitu jauh dari rumahnya.
Meski tempatnya bagus dan nyaman, namun itu tak dapat menutupi perasaan Jingga yang kelam. Hal ini kontras dengan perasaan Tania adiknya, yang justru nampak berseri-seri karena berhasil mempertahankan posisinya pada peringkat pertama paralel di sekolahnya.
“Kamu hebat. Papa bangga sama kamu, nak.” Adrian, papa Jingga tersenyum bangga. Tentu tidak pada dirinya, tapi pada Tania.
“Iya dong pa, anak siapa dulu dong." Mawar mengusap rambut Tania sayang, seolah-olah hanya Tania anak mereka.
Sejujurnya Jingga cemburu, namun dirinya bisa apa selain mengaduk-aduk makanan di hadapannya dengan sembarang. Untuk sejenak saja, melampiaskan amarahnya yang terasa membara.
“Mama, papa, kak Jingga juga hebat loh. Bisa unggul di SMA Favorit.” Ucap Tania yang berusaha menghibur, gadis kecil itu tau apabila kakaknya telah dirudung amarah.
“Tania jadi ragu, apa bisa ya diterima di SMA yang sama kayak kak jingga.” Tambahnya, masih berusaha untuk mengalihkan perhatian mama dan papa pada kakaknya.
“Pasti sayang, kalau dilihat dari nilai kamu yang nggak pernah turun, dan nggak main-main seperti kak Jingga, pasti gampang masuk ke sana.” Akan tetapi, harapan Tania justru berbanding terbalik oleh ucapan sang mama. Dan hal itu, merobohkan pertahanan Jingga yang sedari tadi mulai runtuh.
“Nggak pernah main-main, kapan ma aku main-main?” Nada Jingga yang biasanya lemah lembut itu lantas sewot, ia tak terima akan pernyataan yang diucapkan oleh mamanya.
“Jangan membentak, Jingga." Adrian menatap Jingga tajam, ia tak begitu suka jika anaknya dengan berani membentak kedua orang tuanya.
“Jingga nggak membentak kok pa, Jingga cuman nggak terima karena apapun yang Jingga lakuin rasa-rasanya nggak cukup berarti buat mama papa.” Ungkap jingga tegas.
“Jingga, Mama cuman ngasih wanti-wanti ke Tania buat nggak main-main. Itu aja nak." Ucapan mawar terdengar kontradiktif dengan apa yang barusan dirinya katakan. Dan hal itu semakin memperkeruh perasaan Jingga.
Dengan pandangan tak suka, Jingga menatap mamanya. “Terus apa maksud mama membanding-bandingkan aku sama Tania tadi?!"
“Jingga!” Adrian memberikan peringatan pada Jingga, namun nampaknya suara Adrian yang keras dan terkesan membentaknya malah membuat gadis di hadapannya itu tampak murka.
“Apa pa?! wajar kan aku nggak terima"
“Asal papa sama mama tau, tiap hari aku nggak pernah lepas dari buku. Belajar ke sana ke sini sampai malam, ikut kegiatan ini itu tanpa istirahat."
“Cuman karena peringkat ku turun, nilaiku turun dikit aja. Tega-teganya mama sama papa malah nyalahin Jingga, itu sama sekali nggak adil pa!” Seluruh isi ruangan menoleh kala jingga berteriak di akhir kalimatnya.
Emosi Jingga telah sampai di ubun-ubun, ia bahkan tak peduli apabila orang-orang di sekitar mereka mulai menatapnya. Dirinya kesal karena Mama dan Papa selalu menuntutnya untuk jadi yang pertama, tanpa sedikitpun memberikannya apresiasi atas usahanya.
Jingga yang sudah muak itu kemudian pergi, berlari menjauhi restoran terkutuk itu. Air mata yang sedari tadi ditahannya lantas meruah. membentuk jejak-jejak penderitaannya.
Pada lapangan terbuka yang sepi, Jingga menghentikan langkahnya karena merasa letih. Tumit kakinya lecet, sebab ia berlari dengan sepatu flatshoes tanpa kaos kaki.
Jingga terisak di sana, ia bahkan sampai berjongkok karena tubuhnya terasa lemas. Barangkali, ini adalah bentuk perlawanannya yang pertama pada kedua orang tuanya yang tak bisa mengerti.
Tanpa Jingga sadari, seseorang berada tak jauh dari tempatnya. Dia berdiri dengan tubuh tingginya yang tegap, dan di tangannya, ada bola basket yang ia pantulkan perlahan ke tanah. Entah sekedar memecah sunyi, atau justru ingin memberikan pertanda pada Jingga bahwa ia ada di sana.
Namun nampaknya, Jawaban kedua paling cocok. Pemuda yang tak dikenali Jingga itu menendang bolanya pelan ke arah Jingga. Membiarkannya menggelinding dan berhenti tepat di kaki Jingga.
"Ambil." Ucapnya yang tak terbantahkan. Mendengar ada suara lain yang seolah ditujukan padanya, Jingga mengangkat kepala. Berusaha mencari dari mana suara itu berada.
"Hah?" Seru Jingga, seraya memastikan bahwa seseorang itu memang benar mengajaknya berbicara.
Pemuda itu tersenyum, ia meletakkan tangannya di pinggang. Sementara tangan lainnya ia gunakan untuk menunjuk bola di depan Jingga.
"Ambilin bolanya." Nada suaranya masih terasa tak terbantahkan, pemuda itu berdiri tak jauh dari hadapan Jingga dengan pongah.
Jingga tak bergerak, bahkan dalam keadaannya yang sedih pun semesta masih tak memberikannya jeda. Jingga kemudian menghela nafasnya, membiarkan matanya menatap bola itu sebentar lalu lanjut menunduk. Jingga tak perlu mempedulikan pemuda sok kenal itu kan?
"Kenapa?" Jingga kesal karena pemuda itu masih belum beranjak, dan sejujurnya Jingga hanya ingin mempertanyakan atas urgensi apa pemuda itu menyuruh dirinya dengan seenak jidatnya. Toh, bola itu masih dalam jangkauan pemuda itu.
"Karena bolanya ada di depanmu. Kenapa tanya?" Ringan saja pemuda itu menjawab, seolah-olah dirinya dan Jingga adalah teman lama.
"Nggak bisa, apa nggak liat aku capek?." Jingga membalas ala kadarnya.
"Duduk diam bisa bikin capek?" Ia terkekeh pelan, dan hal itu membuat Jingga semakin kesal.
"Bukan urusanmu." Ucap jingga sebal.
Meski begitu, pemuda itu tak terlihat tersinggung, justru sebaliknya. Ia ambil bolanya lantas kemudian menggelinding kan bola itu kembali ke arah Jingga. Jelas sekali jika pemuda itu sedang menantang Jingga.
"Kalau aku bilang ini urusanku?" Senyum pemuda itu merekah, menampilkan kesan tengil yang tak begitu Jingga suka.
"Kau siapa, sih?!" Jingga kembali mendongak, ia risih pada pemuda tak dikenal di hadapannya.
Ia tersenyum tipis, namun tetap terlihat samar, "Orang mungkin."
"Aku nggak punya tenaga buat main-main." Kali ini Jingga berdecak jengkel.
Hening sejenak. Sebelum pada akhirnya pemuda itu menghela napas dan ikut berjongkok di depan Jingga. Bola basket miliknya pun, ia letakkan di antara mereka.
"Ehmm yaudah deh, terus kamu ngapain di sini malem-malem?” Tanya pemuda itu, kali ini nada tengilnya hilang tergantikan oleh nada empati yang kentara.
"Bertengkar." Gumam Jingga setelah beberapa waktu.
"Dengan?" Pemuda tanpa nama itu dengan hati-hati bertanya.
"Papa." Dan lagi-lagi didengarkannya suara Jingga yang pelan dan tak memiliki hasrat.
"Ohya?" Setelah sejenak menjeda waktu, Pemuda itu lantas kembali melempar tanya.
"Kenapa emangnya?" Jingga merasa bingung atas nada ketidakpercayaan yang tersirat dari bibir merah muda pemuda itu.
"Aku fikir bukan aku aja yang bertengkar sama ayah, kamu juga ternyata." Pemuda itu mengatakan dengan ringan, seolah-olah ia tak begitu mempermasalahkan pertengkarannya dengan seseorang yang dirinya sebut ayah.
"Iyakah?" Jingga tak sekedar bertanya, ini lebih terdengar seperti memastikan. Rasa-rasanya, seseorang di hadapannya ini tak bisa begitu saja ia percaya.
"Iya, Cuman kalau aku marah ya nggak galau kayak kamu. Ngapain dipikirin, selagi ada basket terus aku main sejenak di sini, permasalahan itu terasa hilang. Dan yah, aku fikir semua akan kembali baik-baik aja." Pemuda itu terasa asing, tapi entah kenapa, ucapannya terdengar masuk akal.
"Jadi kamu berpikir kalau basket bisa membuat semua hal jadi baik-baik aja, gitu?" tanya jingga skeptis.
Pemuda itu terkekeh. "Nggak juga, tapi apa salahnya kalau kamu coba."
Lalu kemudian ia menendang bola itu sekali lagi, kali ini lebih pelan, hingga menyentuh kaki Jingga.
"Mulai dengan ini." Entah salah atau tidak, namun Jingga merasakan ada perubahan dalam nada suara pemuda itu yang terasa lembut? Entahlah.
Maka dengan ragu-ragu, Jingga menatap bola itu cukup lama. Seakan sedang mempertimbangkan sesuatu. Meski begitu, ia masih mengangkat tangannya untuk menggapai permukaan bola yang sedikit kasar pada jemarinya.
Jingga memandangi pemuda itu sekali lagi. Ada sesuatu yang aneh dari percakapan yang baru saja terjadi. Jingga bahkan tidak tahu siapa pemuda itu, kenapa pula ia repot-repot membujuknya agar tertarik bermain bola.
Sedang yang Jingga tatap malah tersenyum, ekspresinya seperti seseorang yang tengah mendamba.
"Nama kamu, Jingga kan?" tanyanya tiba-tiba.
"Loh?" Jingga mengernyit, matanya menyipit seolah mencari jejak-jejak wajah pemuda itu dalam pikirannya.
"Siapa sih, yang nggak kenal kamu?" Lagi-lagi pemuda itu tertawa, seolah-olah tak ada beban di kehidupannya.
Sedang Jingga masih berusaha mencari petunjuk. Wajah pemuda di hadapannya ini tidak asing, tapi juga tidak begitu familiar. Namun, dari cara ia berbicara seakan-akan sudah mengenal Jingga lebih lama.
"Apa kita pernah ketemu ya?" tanyanya Jingga ragu, pikirannya menebak-nebak.
"Serius, kamu nggak tahu?" Pemuda itu menghela napas, lalu menunjuk dirinya sendiri.
"Jingga sang juara, Begitu mereka menyebutmu, kan?"
Tubuh Jingga sedikit menegang. Itu memang benar, tapi...
"Tapi aku nggak ingat siapa kamu," Jawab Jingga jujur.
"Sudah kuduga" Ujar pemuda itu. Masih tetap tersenyum dengan keramahannya
"Apa maksudmu?" Jingga semakin tidak mengerti dari sepatah kata yang pemuda itu ucapkan.
Pemuda itu lantas meraih bolanya dari tangan Jingga dengan mudah, lalu mulai memantulkannya ke tanah dengan ritme yang santai.
"Kita satu sekolah, hanya saja.. Kamu selalu berada di atas, Jingga Orang-orang seperti aku, mana mungkin kamu perhatikan?"
Jingga mengernyit, mencoba untuk percaya pada pemuda asing di hadapannya. Ada sesuatu yang tersirat pada nada suara pemuda itu, bukan marah, bukan kecewa, tapi ada sedikit kelelahan di sana.
"Jadi... kamu murid di sekolahku?" Tanyanya kembali,
Pemuda itu menghentikan bola, menahannya di antara kedua tangannya. Ia menatap Jingga sebentar, sebelum akhirnya berkata,
"Lebih dari itu, Jingga. Aku sudah lama ada di dekatmu. Cuman kamu kamu nggak pernah benar-benar menyadari kehadiranku."
Perasaan jingga terasa gelisah. Ia tidak tahu harus dengan apa menanggapinya. Sedang tak jauh dari depannya, pemuda itu kembali memainkan bola basketnya seketika. Meninggalkan Jingga yang sibuk berpikir di mana letak kedekatan dirinya dengan pemuda itu.
"Siapa nama kamu?" Pemuda itu menghentikan gerakannya, di balik punggung yang penuh keringat itu, ia tersenyum lega.
"Damar." Ucapnya yang langsung berbalik menatap Jingga.
Kemudian, lelaki itu menyerahkan bola basketnya pada Jingga. Dan berhasil membuat gadis itu berdiri di tengah lapangan yang asing, bola basket di tangannya terasa berat, bukan karena bobotnya, akan tetapi karena ada sesuatu yang lain, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Sebab pemuda bernama Damar itu tengah menatapnya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan.
"Bisa main kan?" tanyanya.
Jingga menatap bola di tangannya, lalu menggeleng. "Masih belum terbiasa."
"Oh ya? orang sepertimu belum terbiasa? Wow." Ujar damar, yang kemudian disusul oleh tawa kecilnya yang terdengar santai dan tidak mengejek.
"Aku sibuk belajar. Prestasi akademik lebih penting." Desah jingga, menirukan apa kemauan kedua orang tuanya.
"Nih, Coba aja dulu. Kalau kamu nggak nyoba, nggak bakalan tau."
Jingga menatapnya ragu, tapi akhirnya ia menyesuaikan posisi, mencoba mengingat sedikit yang pernah ia lihat dari mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Lantas kemudian, Jingga menundukkan sedikit lututnya, mengangkat bola, lalu melempar ke arah ring.
Bola meleset.
"Itu masih terlalu kaku. Kamu jangan terlalu serius. Basket itu bukan tentang rumus, tapi soal perasaan." Komentar damar, ia terkekeh melihat cara bermain jingga yang sulit ia deskripsikan.
Jingga mengerutkan kening. "Perasaan?"
Damar mengambil kembali bola itu, lalu memantulkannya beberapa kali sebelum melirik Jingga. "Coba kamu rasakan."
Damar kemudian bergerak cepat, melompat ringan, dan dengan satu lemparan yang ringan, bola itu melesat mulus ke dalam ring.
"Kamu bisa, soalnya sudah biasa main ginian." Ujar jingga santai, meski begitu ia sempat berdecak kagum.
"Kamu juga bisa kalo mau nyoba." Damar menimpalinya, ia tersenyum miring melihat tatapan jingga yang mulai rileks.
Jingga menarik napas, menatap ring di kejauhan, lalu mengulurkan tangannya. Damar menyerahkan bola tanpa ragu. Kali ini, Jingga berusaha tidak terlalu banyak berpikir. Ia memantulkan bola, merasakan bagaimana permukaannya menekan telapak tangannya, lalu mengangkatnya ke atas, dan melepaskannya.
Bola itu berputar di udara, meluncur ke arah ring.
Mengenai tepi, lalu masuk.
Jingga menatapnya dengan mata melebar, sementara Damar tersenyum lebar.
"Lihat? Kamu juga bisa kan." Seru damar senang.
Malam terus berjalan, dan mereka terus bermain. Jingga, yang awalnya canggung, mulai menemukan ritmenya. Setiap lemparan, setiap pantulan, membuatnya sedikit lupa tentang amarahnya yang berangsur padam. Damar juga tidak terlalu banyak berbicara, ia tersenyum kala Jingga berhasil mencetak poin.
Di bawah langit malam yang tenang, Jingga merasa bebas untuk pertama kali dalam hidupnya.
[Cerita ini masih dalam tahap revisi]
Jangan lupa komen dan berikan vote!