DUALISM BOYFRIEND

DUALISM BOYFRIEND

Author:Ladypp

Pertemuan di Perpustakaan

Perpustakaan kampus selalu menjadi tempat favorit Jisoo. Mungkin bagi sebagian orang, perpustakaan hanyalah tempat untuk belajar dan menyelesaikan tugas, tapi bagi Jisoo, tempat tersebut adalah tempat tertenang yang untuk melarikan diri sari kebisingan dunia luar.

Jajaran buku yang berderet rapi, wangi kertas yang khas serta sinar matahari yang menembus jendela kaca perpustakaan, memberikan nuansa ketenangan bagi Jisoo yang mungkin sulit ia temukan ditempat lain.

Jisoo sedang asyik membaca buku teoritis yang berjudul Komunikasi Pemasaran, di sana. Selain buku itu ada beberapa tumpukan buku lain yang sudah dibaca dan di beri tanda untuk bahan tugas paper kuliahnya.

Siang itu Jisoo begitu anteng membaca, langkah kaki lalu-lalang mahasiswa yang ada di sana tidak mengusiknya, rasanya tetap sunyi dan tenang.

Namun, ketenangan itu pecah ketika suara pintu kaca perpustakaan terbuka dengan bunyi berderit. Langkah-langkah ringan mendekat, diikuti suara yang sudah sangat dikenalnya.

“Ji-soo!” seru Hyunso, dengan nada ceria yang nyaris berbisik, meskipun tetap cukup keras untuk membuat Ji-soo menghela napas.

Ia mendongak dari bukunya, melihat sosok laki-laki tinggi dengan senyum lebar. Kim Hyunso, dengan rambut hitam acak-acakan dan sweater abu-abu favoritnya, tampak seperti biasa: santai, penuh energi, dan sedikit mengganggu. Ji-soo tidak bisa menahan senyumnya meskipun ia mencoba untuk tetap terlihat kesal.

“Hyunso, kamu lagi? Aku kira kamu sibuk dengan kelompok belajar.”

“Kelompok belajar? Itu cuma alasan supaya aku bisa kabur ke sini.” Hyunso menarik kursi di depannya dan duduk tanpa menunggu undangan. Tangannya langsung meraih salah satu buku dari tumpukan Ji-soo, membaca judulnya dengan alis terangkat. “Teori komunikasi interpersonal? Serius banget sih, Ji-soo. Nggak ada yang lebih ringan?”

“Kalau kamu cuma mau ganggu, aku sarankan cari orang lain,” balas Ji-soo, meski ada nada bercanda dalam suaranya.

Hyunso tertawa kecil, meletakkan buku itu kembali. “Mana mungkin aku ganggu kamu. Oh iya, sampai lupa aku bawa teman.”

Ji-soo menatapnya bingung. Sebelum ia sempat bertanya, sosok lain muncul dari belakang Hyunso. Laki-laki itu tinggi, mengenakan jaket hitam yang simpel namun terlihat mahal, dengan postur tegap dan aura yang segera menarik perhatian. Rambutnya hitam dan sedikit berantakan, tapi dengan cara yang terkesan disengaja. Sorot matanya tajam, hampir seperti memindai ruangan, meskipun bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang sopan.

“Oh, ini teman kampusku. Namanya Jeon Jung-min,” kata Hyunso santai. Ia menoleh pada laki-laki itu. “Jung-min, kenalin. Ini Ji-soo, temanku yang selalu sibuk baca buku.”

Jung-min mengangguk pelan. “Halo, Ji-soo.” Suaranya tenang, dengan nada yang nyaris monoton, tapi cukup dalam untuk meninggalkan kesan.

Ji-soo mengangguk balik, merasa sedikit canggung. “Hai.”

“Jangan terlalu formal begitu dong. Kita kan teman kampus sekarang,” kata Hyunso, berusaha mencairkan suasana. Ia menyenggol lengan Jung-min, tapi laki-laki itu hanya tersenyum tipis.

Ji-soo tidak bisa mengabaikan cara Jung-min memandang tumpukan buku di mejanya. Ada sesuatu dalam sorot matanya—campuran rasa ingin tahu dan pengakuan, seolah dia mengenal buku-buku itu dengan baik.

“Kamu baca ini?” tanya Jung-min tiba-tiba, menunjuk salah satu buku tentang manajemen organisasi.

Ji-soo mengangguk, meskipun merasa sedikit terkejut. “Untuk tugas paperku. Apa kamu tertarik?”

“Ayahku punya beberapa buku seperti ini di kantornya,” jawab Jung-min, mengangkat bahu. “Kadang menarik, kadang bikin pusing.”

Ji-soo tersenyum kecil. Itu adalah jawaban yang jujur, tapi tetap ada sesuatu yang membuatnya penasaran tentang Jung-min. Dia tampak pendiam, tapi tidak dengan cara yang biasa. Ada semacam jarak yang ia jaga, meski Jung-min mencoba bersikap ramah. Mungkin karena ini pertemuan pertama, Jung-min masih sedikit membatasi diri untuk bersikap yang tidak perlu.

Hyunso, tentu saja, tidak membiarkan suasana serius itu berlangsung terlalu lama. Ia mulai bercerita tentang proyek kampus yang sedang mereka kerjakan, membuat Ji-soo tertawa kecil dengan komentar-komentarnya yang konyol.

Hyunso bersandar di kursi kayu yang berderit pelan, menyilangkan kedua tangannya di belakang kepala. Tatapannya beralih dari Ji-soo yang sedang sibuk membaca ke Jung-min yang duduk diam di sebelahnya. Dengan nada menggoda, ia membuka percakapan yang jelas-jelas hanya untuk mengisi suasana.

“Kau tahu, Ji-soo, proyek kampusku kali ini benar-benar mimpi buruk,” kata Hyunso dramatis. “Dan semuanya karena si perfeksionis ini.” Ia mengangguk ke arah Jung-min, yang hanya menatapnya dengan ekspresi datar.

Ji-soo mengangkat alis. “Perfeksionis? Jung-min? Dia kelihatannya santai.”

“Oh, jangan terkecoh. Di balik tampangnya yang tenang ini, dia sebenarnya seorang diktator kecil,” jawab Hyunso, sambil menyenggol lengan Jung-min, yang hanya menghela napas.

“Bukan diktator,” sanggah Jung-min singkat, dengan nada sabar. “Aku hanya ingin memastikan semuanya selesai tepat waktu.”

“Tepat waktu, ya?” Hyunso memutar matanya. “Dengar ini, Ji-soo. Jadi proyek kami adalah membuat rencana bisnis untuk mata kuliah manajemen strategis. Kelompok kami harus mempresentasikan rencana untuk membangun kafe dengan tema unik.”

“Sepertinya menarik,” komentar Ji-soo.

“Menarik kalau bukan aku yang kerja bareng dia!” Hyunso menunjuk Jung-min dengan dramatis. “Dia punya daftar aturan panjang yang lebih detail dari perjanjian damai internasional. Bahkan cara menuangkan kopi pun dia kritisi!”

Ji-soo tertawa kecil. “Serius, Jung-min? Apa yang salah dengan cara menuang kopi?”

Jung-min mengangkat bahu. “Kalau kamu bilang tema kafe itu specialty coffee, presentasi harus mencerminkan kualitas itu. Kalau pelayan menuang kopi sembarangan, siapa yang akan percaya kafe itu istimewa?”

Hyunso menggeleng-gelengkan kepalanya. “Lihat kan? Bahkan pelayan imajiner pun kena evaluasi!”

Ji-soo tertawa, sementara Hyunso melanjutkan dengan lebih dramatis. “Dan jangan lupa tentang dekorasi. Ideku adalah membuat kafe dengan tema galaksi—dinding penuh bintang, kursi berbentuk planet. Tapi si perfeksionis ini bilang, ‘Konsep itu terlalu berlebihan, kita harus fokus pada konsistensi branding.’”

Jung-min menyisipkan komentar tanpa mengubah nada suaranya. “Itu bukan kritik. Aku hanya bilang, tema galaksi akan menyulitkan logistik dan merusak identitas bisnis.”

“Tentu saja, karena semua tentang ‘identitas bisnis.’” Hyunso memutar matanya lagi. “Padahal aku cuma ingin sebuah tempat di mana aku bisa makan roti sambil berpura-pura jadi astronot.”

Ji-soo tertawa lebih keras kali ini, tak bisa membayangkan Hyunso yang selalu santai harus bekerja sama dengan seseorang seperti Jung-min yang jelas-jelas perfeksionis. Ia menatap Jung-min, mencoba menebak apa yang sebenarnya ia pikirkan. Tapi wajah Jung-min tetap tak terbaca, meskipun ada sedikit senyum kecil yang menghiasi bibirnya.

“Sejujurnya, ide galaksi itu tidak buruk,” kata Jung-min akhirnya. “Tapi kau terlalu memikirkan estetika tanpa mempertimbangkan anggaran.”

Hyunso mendengus. “Lihat kan? Selalu tentang anggaran. Aku ini seniman, bukan akuntan!”

“Karena itu, aku yang mengurus anggaran,” balas Jung-min dengan tenang, membuat Ji-soo semakin terhibur dengan interaksi mereka.

Hyunso kemudian menatap Ji-soo dengan penuh harap. “Kau harus bantu aku, Ji-soo. Setidaknya aku butuh satu orang yang mendukung ide-ide gilaku.”

Ji-soo tersenyum, tapi tidak bisa menahan godaan untuk berpihak pada Jung-min. “Aku rasa Jung-min benar. Kalau kau terlalu fokus pada estetika, nanti bisnisnya rugi.”

“Oh, jadi sekarang kau juga perfeksionis? Hebat, dua lawan satu. Tidak adil!” Hyunso berseru, meskipun nada suaranya tetap ceria.

Mereka bertiga tertawa, dan Ji-soo merasa suasana di antara mereka mulai mencair. Hyunso, meskipun terus bercanda, jelas menikmati kebersamaan dengan kedua temannya. Jung-min, di sisi lain, tetap tenang dan tidak banyak bicara, tapi kehadirannya memberikan keseimbangan yang unik dalam dinamika kelompok mereka.

Ketika mereka akhirnya keluar dari perpustakaan, matahari sudah mulai condong ke barat. Ji-soo berjalan di tengah, dengan Hyunso di satu sisi dan Jung-min di sisi lain.

“Jadi, Ji-soo, kapan kamu punya waktu buat nonton bareng? Aku dengar ada film bagus minggu ini,” tanya Hyunso, dengan nada menggoda.

Ji-soo meliriknya, lalu tertawa kecil. “Kamu tahu aku sibuk. lagipula kenapa tiba-tiba banget ajak nonton?”

“Ah, sibuk sama buku lagi. Nggak seru,” keluh Hyunso, tapi ia tidak benar-benar marah.

Jung-min, yang selama ini hanya berjalan diam, tiba-tiba membuka suara. “Buku itu nggak selalu membosankan. Kadang, itu cara terbaik untuk memahami sesuatu tanpa harus mengalaminya langsung.”

Ji-soo menoleh ke arahnya, terkejut mendengar pendapat itu. Hyunso juga tampak bingung, tapi kemudian tertawa. “Dengar itu, Ji-soo. Akhirnya ada yang sepakat sama kamu.”

Namun, bagi Ji-soo, itu bukan hanya tentang kesepakatan. Ada sesuatu dalam kata-kata Jung-min yang membuatnya berpikir, seolah ada pengalaman yang tersembunyi di balik kalimat sederhana itu.