Pangeran Dan Gadis Desa

Pangeran Dan Gadis Desa

Author:Ryana Dea Aprilia

Kedatangan Gadis Desa

INT. RUANG KERJA WILLIAM - PAGI

Cahaya matahari pagi menyinari ruangan kerja William yang luas dan megah. Perabotan dari kayu mahoni tua dan perpustakaan yang menjulang tinggi memberikan kesan klasik dan megah. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja kerja besar dari marmer putih.

William, seorang pangeran muda berusia 24 tahun, duduk di kursi kerjanya. Rambut pirangnya yang lembut terurai rapi, dan matanya yang berwarna biru safir memancarkan kehangatan. Ia mengenakan kemeja putih berkerah tinggi yang menonjolkan leher jenjangnya. Di atas kemeja itu, terpakai jaket putih beraksen merah dengan kancing emas berkilau. Epaulet di bahunya menambah kesan gagah dan militeristik. Celana panjang hitamnya yang pas di tubuh melengkapi penampilannya yang elegan namun sederhana.

Di tangannya, tergenggam sebuah buku tebal tentang kehamilan. Keningnya berkerut konsentrasi saat membaca setiap kata. William tampak begitu serius dan antusias mempelajari segala hal tentang kehamilan.

WILLIAM (bergumam)

Aku ingin merasakan semua ini. Semua perubahan yang dialami seorang wanita saat mengandung.

Ia menghela napas panjang, lalu perlahan-lahan mengusap perutnya yang rata. Sentuhannya lembut dan penuh kasih sayang. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya.

WILLIAM (dalam hati)

Segera, perutku akan membesar. Akan ada kehidupan baru yang tumbuh di dalam diriku. Aku akan menjadi seorang ayah.

William membayangkan dirinya sedang menggendong seorang bayi. Bayangan itu membuatnya merasa begitu bahagia dan lengkap. Ia teringat pada ayahnya, Reginald, yang juga pernah mengalami kehamilan dan menjadi seorang ayah yang luar biasa.

WILLIAM (bermonolog)

Ayah selalu mengatakan bahwa menjadi seorang ayah adalah anugerah terbesar dalam hidup. Aku ingin merasakan kebahagiaan yang sama seperti yang Ayah rasakan.

William kembali fokus pada buku di tangannya. Ia ingin menjadi seorang ayah yang baik dan bertanggung jawab. Ia ingin memberikan semua yang terbaik untuk anaknya kelak.

 

Ruang Kerja Pangeran William (Sore Hari)

Cahaya sore memantul lembut pada dinding-dinding ruangan, menciptakan suasana yang hangat dan menenangkan. Dari pintu masuk, sofa ungu muda tempat William duduk terlihat jelas di sudut ruangan, bersebelahan dengan jendela besar. Di atas sofa, terdapat sebuah meja kecil dengan lampu baca yang menyala redup. Buku tebal tentang kehamilan tergeletak di atasnya.

Dari arah meja kerja, sofa tampak seperti sebuah pulau kecil di tengah lautan dokumen dan pernak-pernik kerajaan. William, dengan tubuh yang sedikit membungkuk, tampak begitu fokus pada bacaannya. Rambut pirangnya yang berkilau terjatuh ke samping wajahnya, menyembunyikan sebagian wajah tampannya.

Setelah beberapa saat, William menutup buku itu dengan lembut. Ia menguap kecil dan menggosok matanya. Perutnya tiba-tiba keroncongan dengan sangat keras, mengejutkannya. Ia terlonjak kaget, matanya membulat lebar. Wajahnya memerah karena malu. Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan menghubungi koki pribadinya.

William: Halo, Thomas. Tolong siapkan makan malam untukku. Ya, sekarang juga.

Beberapa menit kemudian, Thomas datang membawa nampan berisi makanan. William segera melahap makanannya dengan lahap. Namun, tak lama kemudian, ia menghentikan aktivitas makannya. Tangan kanannya terangkat untuk meraba perutnya yang terasa penuh dan kembung.

William: Ugh, terlalu banyak.

Ia merintih pelan sambil mengusap perutnya. Perasaannya tidak nyaman. Padahal, makanan di piringnya masih banyak. Dengan berat hati, ia meletakkan peralatan makannya dan mencoba melakukan peregangan ringan. Namun, perutnya tetap terasa kembung. Ia tersenyum kecut.

William (dalam hati): Ah, sudah biasa.

 

Malam Hari - Upacara Pernikahan

Malam itu, William resmi menikahi perutnya dalam sebuah upacara sederhana namun khidmat. Ia mengelus-elus perutnya dengan penuh kasih sayang, matanya berkaca-kaca.

William: Aku akan menjadi ayah yang baik.

 

Rumah Anya

Sementara itu, di sebuah desa terpencil, Anya sedang berbicara dengan ibunya, Yanti.

Anya: Bu, aku ingin pergi ke istana Eldoria.

Yanti terkejut.

Yanti: Apa? Kenapa tiba-tiba ingin ke sana?

Anya: Aku ingin bertemu dengan Pangeran William.

Yanti: Anya, itu tidak mungkin. Pangeran William jauh di atas sana.

Anya: Aku tidak peduli. Aku akan berusaha.

Setelah dibujuk cukup lama, akhirnya Yanti mengizinkan Anya pergi.

Yanti: Tapi ingat, kamu harus hati-hati.

Anya: Iya, Bu.

Anya tersenyum lebar. Ia segera berkemas dan bersiap-siap untuk pergi ke istana Eldoria.

 

KEESOKAN HARINYA…

Adegan 1: Ruang Kerja Pangeran William (Pagi Hari)

Sinar matahari pagi yang lembut menembus jendela kaca patri, menerangi ruangan kerja Pangeran William. Dari pintu masuk, sofa ungu muda tempat William duduk terlihat mencolok di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi menyinari bagian belakang sofa, menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding. Di atas sofa, terdapat sebuah bantal bersulam benang emas yang tampak begitu nyaman.

Dari arah meja kerja, William terlihat sedang asyik membaca buku. Rambut pirangnya yang berkilau terurai bebas, dan cahaya matahari pagi membuatnya tampak seperti malaikat.

Tiba-tiba, perutnya berbunyi dengan sangat keras, mengejutkannya. William terlonjak kaget, matanya membulat lebar. Wajahnya memerah karena malu. Ia meletakkan buku di pangkuannya dan menutup mulutnya dengan tangan.

William (dalam hati): Astaga, kenapa harus sekarang?

Ia tersenyum malu dan mengelus perutnya dengan lembut.

William: Maaf ya, sayang. Ayah sedang lapar.

Adegan 2: Meja Kerja Pangeran William

William sedang menikmati sarapannya. Namun, tak lama kemudian, ia menghentikan aktivitas makannya. Wajahnya berubah menjadi tegang. Tangan kanannya terangkat untuk meraba perutnya yang terasa penuh dan kembung.

William: Ugh, terlalu banyak.

Ia merintih pelan sambil mengusap perutnya. Perasaannya tidak nyaman. Padahal, makanan di piringnya masih banyak. Dengan berat hati, ia meletakkan peralatan makannya.

William (dalam hati): Ah, sudah biasa.

Adegan 3: Ruang Kerja Pangeran William (Malam Hari)

Malam telah tiba. William masih berada di ruang kerjanya. Ia sedang berbicara dengan kakaknya, Pangeran Henry, melalui telepon.

William: Henry, aku tidak ingin menjadi raja.

Henry terkekeh.

Henry: Aku tahu, Will. Kau lebih suka hidup tenang seperti ini.

William: Terima kasih, Henry. Kau akan menjadi raja yang baik.

Henry: Tentu saja.

Setelah mengakhiri panggilan telepon, William menghela napas lega. Ia kembali mengelus-elus perutnya dengan penuh kasih sayang.

William (dalam hati): Aku bahagia seperti ini.

Adegan 4: Hutan

Anya berjalan menyusuri hutan yang lebat. Cahaya bulan menerobos dedaunan, menciptakan pola yang indah di tanah.

Anya (dalam hati): Aku pasti akan menemukanmu, Pangeran William.

 

KEESOKAN HARINYA…

Adegan 1: Ruang Kerja Pangeran William (Pagi Hari)

Cahaya pagi yang lembut menyinari sofa ungu muda di sudut ruangan. Dari pintu masuk, sofa itu tampak seperti sebuah pulau kecil yang nyaman di tengah lautan buku dan dokumen. William, dengan rambut pirang yang sedikit berantakan, duduk bersandar dengan nyaman. Matanya terpaku pada buku di tangannya. Tangan kirinya menandai halaman yang sedang ia baca, sementara tangan kanannya terlipat di atas perutnya.

William (dalam hati): Ah, pagi yang tenang.

Tiba-tiba, perutnya berbunyi dengan nyaring, mengagetkannya. William terlonjak kaget, matanya membulat lebar. Ia menutup mulutnya dengan tangan dan menatap perutnya dengan ekspresi terkejut.

William (berbisik): Sayang, kenapa kamu berisik sekali?

Ia tersenyum kecil dan mengelus perutnya dengan lembut.

Adegan 2: Meja Kerja Pangeran William

William duduk di kursi kerjanya, menyeruput obat pereda lapar. Ia bersandar dengan nyaman, mata terpejam. Sesekali, ia membuka matanya dan tersenyum lebar, sambil mengelus perutnya.

William (merintih puas): Ah, kenyang sekali.