DENDAM BAYI BAJANG

DENDAM BAYI BAJANG

Author:Haryani

PART 1. KEPO

"Yan, Rian ...."

Suara cempreng Mia memenuhi ruangan berukuran 3 x 3 meter. Menggema di atara dinding-dinding yang mulai terlihat kusam. Wajahnya tampak marah, mencerminkan kekesalannya yang mendalam. Di sisi lain, sang pemilik rumah masih asyik nongkrong di bilik kecil, terlelap dalam kepuasan setelah menuntaskan hasratnya.

Mia memanggil Rian dengan suara lantang, "Yan, hello... Ada orang nggak, sih?"

Rian hanya berdehem dari dalam kamar mandi, lalu segera menyalakan kran air.

Mia menggoda, "Ngomong dong kalau lagi di kamar mandi."

Tidak lama kemudian, Rian keluar sambil menyunggingkan senyuman. "Ada apa sih? Pagi-pagi dah gangguin orang aja!"

Mia menjawab dengan antusias, "Gue punya bahan buat konten lo yang baru."

"Apa, tuh?" tanya Rian dengan rasa penasaran.

Mia menjawab dengan semangat, "Bayi bajang. Tante gue cerita kalau tetangga desanya ada yang gila karena diganggu oleh bayi bajang."

Rian menggelengkan kepala, skeptis. "Hari gini masih percaya dengan hal-hal seperti itu?"

Mia menatap Rian dengan tegas, "Kenapa enggak? Yang penting kan itu nyata!"

Rian menegaskan pendiriannya, "Buktikan dulu, baru kita bisa bicara lebih lanjut."

Meski masih berstatus sebagai mahasiswa fakultas seni rupa, Mia dan Rian memiliki hobi yang cukup unik, yaitu menyukai hal-hal berbau horor. Sama seperti Rian yang suka membuat konten dengan tema horor.

"Kalau bukan sahabat, mana mungkin gue kasih bahan ke lo. Terserah deh, mau lo pakai atau enggak."

Meskipun Mia dengan tulus ingin membantu, Rian seringkali merasa malas melibatkan Mia dalam pembuatan konten karena takut ribet. Oleh karena itu, Rian lebih sering mencari ide konten sendiri. Namun, demi menghormati persahabatan mereka, Rian setuju untuk menerima bahan yang Mia berikan.

"Oke, gue pakai ide lo, tapi nggak sekarang!"

Senyum merekah muncul dari bibir Mia saat dia mulai bercerita. Dia menjelaskan bahwa beberapa bulan yang lalu, ada seorang warga yang menjadi perbincangan karena putrinya tiba-tiba jatuh sakit.

Rumor di kalangan warga menyebutkan bahwa putri tersebut sakit karena menggugurkan kandungannya, diduga hamil di luar nikah. Namun, keluarga putri tersebut dengan tegas membantah tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa ada alasan lain di balik penyakit putri mereka. Mereka tidak menerima tuduhan tersebut.

Mia melanjutkan ceritanya, menjelaskan bahwa sejak saat itu, ibu dari bayi yang gugur itu mengalami gangguan oleh hantu bayi tersebut. Gangguan tersebut membuat ibu tersebut terlihat gila dan tidak stabil secara mental.

Para anggota keluarga itu tidak percaya begitu saja, karena hal seperti itu dianggap mitos. Akan tetapi, Mia dan Rian justru tertarik untuk membuktikan kebenaran cerita itu.

“Gimana kalau kita pergi ke rumahnya?”

“Lo masih waras, kan, Mia?”

“Ya, masih lah. Kenapa? Lo takut?”

“Nggak juga, tapi gue masih ada tugas melukis. Dosen minta minggu ini harus kelar.”

Mia menepuk bahu Rian dengan penuh semangat. "Bukankah kita bisa mencari tahu lebih lanjut dan membuktikan kebenaran cerita tentang hantu bayi itu setelah tugas selesai? Lagian, lo kan suka membuat konten semacam itu, kan? Kalau masalah tugas, nanti gue bisa bantu."

Rian berpikir sejenak sambil menatap ke arah Mia yang selalu saja bisa membuat adrenalinnya berpacu cepat, “Iya juga sih.”

“Makanya itu, ini adalah kesempatan bagus untuk menguji keberanian kita dan menemukan fakta di balik mitos ini.”

“Tapi kita harus berhati-hati dan tetap waspada."

“Oke.”

Tapi sejenak Rian ragu lalu duduk kembali, “Apa nggak resiko?”

“Aman, wes kita berangkat aja! Kayak nggak biasa berhubungan dengan hal-hal beginian aja.”

“Ya, dah … tapi gue mau selesaikan sketsa ini dulu.”

“Ok, Mas Bro. Good luck, ya.”

Akhirnya meski ragu, Rian mengiyakan ajakan Mia. Mereka berdua segera berangkat ke sana setelah tugas kuliah Rian beres. Tak lupa ia membawa kamera kesayangannya.

Perjalanan mereka cukup lancar, buktinya Mia dan Rian tiba di rumah keluarga yang terkena kasus heboh tersebut dengan cepat. Berharap bisa membantu dan mencari tahu lebih lanjut. Namun, sesampainya di sana, suasana di rumah tersebut terasa tegang dan penuh ketidakpercayaan.

Mata pasangan itu bertemu dengan tatapan tajam dari beberapa anggota keluarga yang tidak senang dengan kedatangan mereka. Wajah-wajah mereka dipenuhi dengan ketegangan dan rasa curiga.

“Untuk apa kalian kemari?”

“Maaf, sebelumnya jika kedatangan kami kemari sedikit menggangu bapak dan ibu sekalian.”

“Katakan! Tidak usah berbelit-belit.”

“Kami hanya ingin bertemu Mbak Ratih, Pak.”

“Bohong! Ratih tak mengenal kalian, kenapa bisa mengaku kenal dengan Ratih!”

Amarah Bapaknya Ratih semakin terlihat, tapi Mia tidak gentar. Sementara itu, Rian terlihat ketakutan dan gelisah.

‘Astaga, kenapa juga gue ikut ide konyol Mia, mending gue melukis aja,’ rutuk Rian di dalam hati.

Ia mengkode Mia untuk mengajaknya pergi, sayang Mia tidak paham dan tetap duduk di sana. Rian benar-benar kesal saat itu.

Sebuah keheningan yang mencekam mengisi ruangan saat Mia dan Rian mencoba membuka percakapan. Setiap gerakan kecil dan napas yang diambil terasa begitu berat. Mia merasakan detak jantungnya semakin cepat, sementara Rian berusaha menjaga ketenangan.

Tiba-tiba, seorang anggota keluarga berdiri dan melangkah maju dengan langkah yang mantap. Wajahnya yang keras dan gerakan tubuhnya yang tegap menunjukkan sikap yang tegas dan tidak ramah.

“Pergi! Saat ini Ratih tidak mau menemui siapapun.”

“Hanya sebentar, Pak.”

Mia dan Rian merasakan tekanan yang semakin meningkat. Mereka berusaha menahan napas mereka, tidak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketegangan di udara semakin terasa, seolah-olah setiap detik bisa meledak menjadi konfrontasi yang tidak diinginkan.

Korden yang semula terbuka, kini ditarik hingga seluruh kaca tertutup dan ruangan menjadi gelap. Rian yang takut gelap segera menarik tangan Mia.

“Ayo, kita pulang aja!”

“Tanggung, Bro. Dikit lagi juga mereka memberikan izin.”

Namun, sebelum situasi semakin memanas, seorang anggota keluarga yang lain mengambil langkah ke depan. Wajahnya yang lebih tenang dan penuh empati mencerminkan keinginannya untuk mencari solusi dan kebenaran.

"Maaf, jika kami harus melakukan ini. Jika kalian ingin bertemu dengan Ratih, maka kalian harus mempertimbangkan perkataan kami."

Ketegangan di ruangan itu sedikit mereda, tetapi atmosfer yang tegang masih terasa. Mia dan Rian merasa perlu untuk memulai percakapan dengan hati-hati, menyadari bahwa mereka harus membuktikan niat baik mereka dan mendapatkan kepercayaan dari keluarga tersebut.

“Ba-baik, Pak.”

Orang itu duduk dan segera berbicara pada Mia dan Rian.

“Sebelumnya, bolehkan kalian memperkenalkan diri dan sebutkan tujuan kalian datang.”

"Permisi, kami adalah Mia dan Rian. Kami ingin bertemu dengan Mbak Ratih.”

“Maaf, untuk saat ini sepertinya tidak bisa. Ratih sedang istirahat.”

“Baiklah, sebenarnya kami ke sini karena tertarik dengan kejadian aneh yang terjadi di desa ini beberapa waktu terakhir.”

“Memangnya apa yang kalian dengar?”

“Banyak warga kampung yang terjangkit penyakit aneh dan susah disembuhkan. Katanya hal itu karena bersumber pada seseorang.”

Seketika tatapan tajam mengarah pada Mia dan Rian. “Lanjutkan!”

“Ka-kami ….”

Belum sempat ucapan Mia dilanjutkan, terdengar suara pintu yang dibanting dengan cukup keras. “Kalian pasti menuduh putraku!” Ucap seorang wanita cantik berkulit putih pucat dari ambang pintu.