Desa Hujan

Desa Hujan

Author:David Purnama

Prolog

Di sebuah asrama sekolah yang sudah mulai sepi karena telah memasuki masa libur panjang. Feri melamun sembari memandangi langit yang tampak ragu-ragu. Tahun ajaran yang akan datang ia kelas XII artinya sudah mau memasuki tahun ketiga ia bersekolah di sana sekaligus tinggal di asrama sekolah bak rumahnya sendiri. Semenjak awal kedatangannya ke sekolah yang memang diimpi-impikannya itu ia sama sekali belum pernah pulang ke rumahnya. Ia pun bukanlah seorang dari golongan yang berada jadi ia tidak bisa setiap hari menggunakan fasilitas berharga untuk dapat berkomunikasi dengan orang tuanya. Lagi pula di desanya juga tidak terjangkau sinyal.

              “Melamun siapa Fer?”, tanya seorang temannya yang baru saja masuk ke kamar asrama.

              “Kau tebak sendiri saja”, jawab Feri.

              “Siapa? Penghuni asrama putri semuanya sudah pada pulang”, gurau teman Feri yang ternyata adalah Iwan sahabatnya.

              “Kau serius tidak jadi pulang Wan?”, tanya Feri kepada Iwan.

              “Ya. Buktinya aku masih di sini. Keluargaku baru saja mengadakan hajatan waktu kemarin aku izin pulang untuk acara keluarga sebelum ujian. Sayang di ongkos Fer aku pulang habis semesteran saja sekalian menemanimu yang jaga asrama sendirian”, jawaban Iwan sembari meledek Feri yang memang setiap liburan belum pernah pulang kampung.

              “Bagaimana kalau kau ikut aku saja pulang ke desa ku?”, ajak Feri yang membuat Iwan terkejut.

              “Serius? Katanya kau baru mau balik setelah lulus”, Iwan heran.

              “Liburan kali ini aku ingin pulang”, tegas Feri.

              Feri mendapatkan beasiswa atau tunjangan bantuan biaya belajar sehingga ia bisa bersekolah di sekolah favorit ini. Ketika pertama kali ia menginjakkan kaki di lembaga pendidikan yang dicita-citakan banyak orang ini ia sudah berniat tidak akan pulang atau pun mengunjungi rumahnya sampai ia tamat sekolah. Namun di liburan ini firasatnya berbeda. Hatinya menuntunnya untuk pulang di liburan panjangnya kali ini. Ini bukan saja tentang rindu kepada keluarga dan kampung halaman yang selama dua tahun ini berhasil ia tahan.

            “Memangnya berapa lama perjalanan dari sini ke tempatmu?”, tanya Iwan.

              “Bisa sampai satu malam. Kau jadi mau ikut aku pulang atau tidak?”, tanya Feri.

              “Gila kau Fer. Aku liburan kali ini tidak pulang dan memilih tinggal di asrama karena ada kau yang biasanya tidak pernah pulang. Tentu saja aku ikut. Mana berani aku berminggu-minggu sendirian di tempat ini. Memangnya aku seperti kau yang sudah berteman baik sama setan sekolah”, tegas Iwan yang akan ikut Feri pulang ke desanya selama liburan kali ini.

              “Kalau begitu malam ini kita packing. Besok pagi kita berangkat. Semoga besok tidak hujan”, kata Feri.

              Keesokan paginya keduanya berangkat untuk pulang ke rumah Feri di kampung. Dari sekolah mereka akan menempuh perjalanan selama setengah hari untuk sampai di desa tempat Feri tinggal. Tidak lupa mereka berpamitan kepada penjaga sekolah yang sudah mereka kenal dengan akrab.

              “Jadi kalian pulang?”, tanya penjaga sekolah kepada mereka.

              “Iya Pak Mahmud ini kami mau berangkat”, terang Feri.

               “Jangan lupa payung dan senter”, pesan Pak Mahmud penjaga sekolah.

              “Iya Pak sudah kami bawa”.

              “Mari Pak”, Iwan dan Feri berpamitan.

              Feri bisa tersenyum. Tadi malam ia melihat langit yang begitu cerah bertaburan bintang-bintang yang menandakan perjalanan pulang mereka akan dikawal oleh terang sinar matahari tanpa harus adanya hujan yang turun ke bumi. Ia berharap bisa cepat sampai rumah tanpa ada hambatan sama sekali.

              “Kau bawa apa itu Fer? Tongkat? Seperti kakek-kakek saja kau”, kata Iwan.

              “Siapa tahu di jalan nanti ketemu dengan teman-temanmu Wan”, kata Feri.

              “Teman-temanku yang mana lagi?”, tanya Iwan.

              “Ular berbisa”, gurau Feri.

              “Memang benar Wan asrama putri sudah kosong?”, tanya Feri

              “Iya. Hari terakhir masuk sekolah mereka sudah pada langsung pulang semua tidak ada yang tinggal. Kenapa?”, tanya Iwan balik.

              “Tidak apa. Sepertinya aku cuma bermimpi. Tadi malam aku mendengar suara keributan dari asrama putri ramai sekali”, jawab Feri.