Bab 1. Putus
"Erina! Dengarkan aku dulu," teriak Alex di tengah taman kampus sehabis berdebat denganku.
"Aku sudah tidak ingin mendengar semua alasanmu, Alex! Lebih baik kita sudahi saja hubungan kita ini," ujarku sambil berjalan cepat meninggalkan dirinya di belakangku.
"Erina!" Alex mengejar dan menangkap lenganku, bermaksud untuk menghentikan langkah yang sudah ku buat.
"Ada apa lagi, Alex?! Apa kau tidak mendengar apa yang aku ucapkan? Lebih baik kau kembali ke tempat kerjamu! Pacaran saja kau bersama siapapun yang satu kantor denganmu!" ujarku lagi menghempaskan tanganku yang dicengkeramnya.
"Kumohon! Kita bisa memperbaikinya, Erina! Aku minta maaf meninggalkanmu terlalu lama, sampai aku tak benar-benar terlalu sibuk dengan pekerjaanku," jelas Alex tak mau kalah.
"Kau tak mengerti apa kataku?" sembari melipatkan kedua lengan di da-da. "Apa kau tau salahnya di mana? Seharusnya kau bisa berpikir normal dengan ota*kmu itu!"
Aku lantas pergi, berjalan cepat meninggalkan dirinya seorang diri yang masih terpaku di sana, namun ia masih menanyakan hal yang sudah jelas salah.
"Aku mencintaimu, Erina. Aku bahkan minta maaf dengan kesalahan yang kubuat. Kita bisa memperbaikinya," teriaknya lagi.
Aku hanya mengangkat tangan yang berarti "bicara sendiri dengan ketholol-anmu." Dan aku benar-benar menghilang dari hadapannya. Bagaimana aku tidak kesal, selain dirinya sibuk, dia juga berkencan dengan wanita lain. Dia pikir diriku ini apa? Mentang-mentang gak bisa dipakai gitu?
"Argh!" teriakku sembari melemparkan buku di atas rumput nan hijau di sana. "Sialan banget sih kamu, Alex!"
Aku langsung duduk di atas rerumputan tanpa memperdulikan pakaianku yang akan kotor. Aku menundukkan kepala di sela-sela kedua lututku, menyembunyikan seluruh wajahku dari dunia. Seketika air mata jatuh tanpa permisi. Aku bahkan tak tahu kalau ada seseorang yang duduk berada di sampingku sambil memegang buku yang kubuang.
"Terkadang, cinta itu memang menyakitkan."
Aku mendengar suara itu, namun aku tak mengenalinya. Aku diam dan melanjutkan tangis yang seperti kekanak-kanakan.
"Aku juga sudah lama tak percaya dengan yang namanya 'Cinta'," lanjutnya lagi.
Seketika aku menolehkan wajahku tanpa mengangkatnya, melihat ke arah sumber suara di samping. Aku mengerutkan kedua mataku, heran. Mengapa pria tampan itu ada di sebelahku? Bahkan ia membawa buku yang baru saja kubuang. Apa dia memungutnya? Itu pasti. Dia pasti memungutinya.
"Bukumu bagus. Maksudku ini bukan buku biasa. Love story yang mengisahkan seorang mahasiswa dari universitas ternama di dunia, jatuh cinta. Mengapa kau membuangnya?"
Dengan cepat aku mengusap air mata yang masih merembes di pipiku dengan kedua tanganku. "I-itu, aku sengaja membuangnya!" ujarku cepat.
"Apa ini pemberian dari pacarmu?"
"Aku sudah tidak memiliki pacar. Pacarku lebih memilih pekerjaannya daripada diriku. Bahkan memilih wanita yang lebih dewasa daripada diriku," jawabku berterus terang.
"Aku turut berduka. Oh iya, ini bukumu, sayangilah bukumu. Banyak orang diluar sana yang tidak dapat membaca buku seperti kita. Kau sangat beruntung," ujarnya sembari memberikan buku itu kepadaku, lalu ia pun pergi begitu saja.
Yah, dia adalah Edward Snowden. Pria yang pintar dan cerdas di atas rata-rata. Entahlah dia diciptakan dari apa dan oleh siapa, sampai-sampai tidak ada yang mengalahkan kecerdasannya. Dilengkapi dengan wajah yang tampan tapi sedikit aneh (menurutku) tetapi tetap tampan. Aku kembali menatap buku novel itu dan langsung memasukkannya di dalam tas. Setelah itu aku pergi dari taman kampus.
Ternyata, Alex belum pergi dari tadi. Ia sengaja menungguku di depan gerbang kampus.
"Erina, kumohon berhenti sebentar Erina!" ujar Alex sedikit memaksa.
"Alex, kumohon jangan memaksaku bahkan mendengarkan alasanmu yang konyol itu! Lebih baik kau pulang karena aku juga akan pulang," jawabku lagi.
Bukannya pulang, namun Alex meraih tanganku dengan kasar dan menyeret masuk ke dalam mobil. Kejadian itu tak luput dari mata Edward yang mengawasi dari kejauhan. Ia pun segera berlari dan menahan tangan Alex yang ingin memaksaku.
"Jangan kasar terhadap perempuan! Cepat lepaskan dia!" ujar Edward mencengkram tangan Alex di mana tangan Alex masih mencengkram tanganku.
"Siapa kau berani-beraninya menghalangiku!" ujar Alex yang tak kalah marah. Matanya menyala api kemarahan menatap Edward.
"Aku bilang cepat lepaskan!" paksa Edward yang sedikit menekan tangan Alex.
"Sia-lan!"
Alex langsung melepaskan cengkraman tangannya dariku. Dan tangan Alex yang satunya melayang ingin menghantam wajah Edward, namun dengan cepat Edward menangkisnya.
"Jangan membantah!" teriak Edward keras.
Dengan ucapan dan tangkisan Edward, Alex langsung merasakan kesakitan yang sangat luar biasa. Lalu Edward pun meniru gerakan Alex. Alhasil, Alex terpental agak jauh karena pukulan Edward. Sedangkan aku merasa terperangah melihat scene yang ada di depanku. Aku merasa berada di lokasi shooting Film Action.
Aku dengan segera mencegah Edward bertindak lebih dari apa yang baru saja dilakukannya.
"Tunggu! Jangan sakiti dia."
"Huh?"
"Iya, jangan sakiti dia. Dia pacarku. Kau siapa datang tiba-tiba memukulnya?" ujarku pura-pura tak mengerti. Aku tak mau saat kejadian seperti ini membuat anak-anak kampus ramai menyaksikan bahkan ada yang memvideokan.
"Kau tak salah? Dia menyakitimu dan kau masih membelanya?" tanya Edward heran.
"Iya! Karena dia pacarku. Tolong pergi dari sini. Lagipula aku tak mengenal dirimu itu siapa!" ucapku lantang.
Aku segera menolong Alex yang terbaring lemah tak berdaya. Sudut bibirnya robek, sehingga cairan merah segar keluar dari bibirnya. Edward hanya melihatku dengan kebingungan. Ia pun berbalik dan meninggalkan kami. Seketika itu juga, anak kampus yang sudah berkumpul di sana membubarkan diri mereka.
"Kau tak papa?" ujarku berjongkok.
"Auch! Sakit sekali! Tangannya seperti baja! Sia-lan!" gerutu Alex sembari memegangi dagunya.
"Aku turut prihatin dengan lukamu, Alex. Tapi maaf, sekarang aku tidak akan pernah menyesal membiarkanmu. Dan satu lagi, U AND I, END!" ujarku membisikkan kata tepat ditelinganya.
Aku pun pergi meninggalkan Alex yang masih terduduk di sana kesakitan. Membiarkan dirinya sendiri. Sedangkan Alex mengayunkan kepalan tangannya ke udara berkali-kali. Sangat kesal dengan hal yang benar-benar memalukan dirinya.
"Awas kamu pria gila! Kalau ketemu, aku akan geprek dirimu lagi seperti ayam geprek!" teriak Alex seorang diri.
Aku pun pulang berjalan kaki karena aku masih tinggal dilingkungan kampus. Yah benar, asrama kampus. Padahal aku tidak ingin tinggal di sini, tapi apalah daya, aku harus menghemat biaya karena aku hanya sebatang kara di dunia ini. Ngomong-ngomong, aku hanya tau sekilas tentang Edward. Kukira dia cupu, ternyata dia juga cukup berani. Apalagi dia melawan Alex. Aku tertawa ketika mengingat momen itu.
"Semoga aku tidak bertemu denganmu lagi, Ed," gumamku masuk ke gerbang Asrama Kampus.
.
.
.
TBC
dukung terus ya novel ini dan jangan lupa tinggalkan jejak! 🙏