SKUAT INDIGO 2

SKUAT INDIGO 2

Author:David Purnama

BAB 1 KEMBALINYA SENYUM AMELIA

Empat tahun telah berlalu sejak peristiwa penyelamatan putri Bapak di rumah dinas kediamannya. Setelah kejadian itu banyak perubahan yang dialami oleh Amelia. Memutuskan untuk kembali menetap di kamar pribadinya di bangsal sebuah rumah sakit jiwa merupakan pilihan tepat yang diambil oleh gadis belia itu. Dengan perhatian dan perawatan yang sesuai dengan kondisi yang sebenarnya dialami olehnya kini ia tumbuh layaknya perempuan lainnya. Ia berhasil disembuhkan dari traumanya atas perlakuan keluarganya dahulu dan juga segala penanganan yang tidak tepat yang ia dapatkan di tempat yang sama yang membuat jiwa dan pikirannya terkoyak.

Amelia kini sudah kembali. Ia bukanlah gadis aneh seperti beberapa tahun yang silam. Kini ia telah berhasil menumbuhkan rasa percaya dirinya. Ia sudah mampu untuk tidak canggung ataupun takut untuk kembali bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Dan sebuah hal yang terpenting dan sangat membantu dalam prosesnya adalah penerimaan dari keluarga Amelia yang telah kembali membuka pelukan hangat untuknya. Terutama kasih sayang dari kedua orang tuanya yang dulu sempat hilang meninggalkannya kini telah kembali menyelimutinya.

Ia baru saja menyelesaikan pendidikan Paket C-nya. Ini adalah minggu-minggu terakhirnya di tempat indekos yang selama beberapa tahun terakhir menjadi tempat tinggalnya. Apa yang dialaminya waktu dulu dengan pengucilan dan dijauhi oleh teman-teman sebayanya di kala itu kini telah terobati. Baik di tempat indekos maupun di tempatnya belajar Amelia telah menjadi seorang yang ramah, pemberani dan mudah bergaul dengan teman-temannya yang lain. Untuk itu dia ingin menikmati hari-hari terakhir di tempat kosnya itu lebih lama sebelum pulang ke Cisarua.

Tempat Kos Putri yang ditinggali oleh Amelia merupakan hunian kos putri yang berada di kawasan tempat indekos. Selain tempat kosnya disekelilingnya juga merupakan bangunan-bangunan untuk tempat indekos khususnya kaum perempuan. Jadilah ramai suasana tempat tersebut dengan kebiasaan-kebiasaan kaum hawa. Amelia menjalin hubungan dengan para penghuni lainnya dengan baik dan akrab. Terkadang beberapa temannya memilih menginap untuk tidur di kamarnya. Di tempat kos itu ia menjadi sosok yang menyenangkan dan disukai para penghuni lainnya. Meski berteman baik dengan teman-temannya Amelia tetap merahasiakan kisah-kisah pengalaman dan kemampuannya kepada mereka. Ia tidak ingin kemampuan yang disembunyikannya itu nantinya menjadi penghalang hubungan persahabatannya dengan para penghuni kos. Ia hanya bergaul layaknya seorang gadis normal seumurannya.

Malam itu Amelia baru saja menyelesaikan obrolan dengan kawan-kawannya di ruang tengah. Kini ia sudah terbaring nyaman di tempat tidurnya. Ia memutar waktu mengenang ketika dulu pertama kalinya ia masuk sebagai penghuni kos. Ia masih ingat bagaimana malam pertamanya ketika ia bersusah payah untuk tertidur di tempat yang sama kini ia berbaring. Sambutan hangat dan perlakuan yang begitu baik dari para penghuni tempat indekos. Sebentar lagi ia akan pergi untuk kembali pulang ke rumahnya dan memulai awal baru lagi di perencanaan hidupnya. Melihat memori-memori itu sering membuat Amelia banjir air mata. Terlebih ketika mengenang peristiwa-peristiwa saat dia masih kecil. Kantuk dan lelahnya menangis menggiringnya ke dalam tidur yang begitu nyenyak dan lelap.

Tiba-tiba Amelia terbangun. Rasa-rasanya ia belum terlalu lama tertidur. Suara masih sepi dan hening untuk pagi di sebuah lingkungan indekos. Ia melihat jam dinding kamarnya. Baru jam setengah 3 pagi. Pandangannya teralihkan. Dari sudut gelap kamar yang tidak terpancar lampu tidur ada sosok yang berdiri di sana. Sosok itu tinggi dan hitam. Sosok itu mulai mendekat ke arah Amelia. Kini nampak sosok yang kurus itu. Seorang laki-laki berkepala plontos yang sudah tua terlihat dari kerutan-kerutan di wajahnya. Hidungnya tinggi dan mancung. Telinganya lancip dan juga lebar. Sosok itu kini sudah berada di depan Amelia yang masih terbaring. Keduanya saling bertatap mata. Amelia tentu saja tidak ada rasa takut bertemu dengan sosok seperti itu. Hal semacam itu sudah terlampau biasa baginya. Tapi ketenangan Amelia segera berubah setelah mengetahui maksud kedatangan makhluk itu. Kini sekujur tubuh Amelia kaku tidak bisa digerakkan. Mulut dan lidahnya terkunci. Hatinya berontak dengan keadaannya itu. Sosok itu menggerakkan tangannya. Telapak tangan yang besar dengan jari-jari yang panjang mendekati wajah perempuan yang kini tengah tidak berdaya. Jari telunjuk dan jari tengah digerakkan mendekat menuju mata Amelia. Kedua jari yang tadinya tenang seketika ditegangkan seakan hendak mencungkil kedua bola mata. Amelia takut bukan kepalang.

“Brukkk...!” suara pintu kamar Amelia terdobrak.

Sebuah sandal melayang mengenai kepala botak sosok tinggi kurus yang hendak menyerang Amelia. Sosok itu kemudian menoleh kepada siapa orang yang telah berani mengganggu pekerjaannya. Setelah melihat siapa yang melempar sandal hingga mengenainya, alih-alih melampiaskan kemarahannya sosok itu dengan cepatnya langsung kabur meniggalkan tempat itu.

Saat ini ketakutan Amelia bertambah tidak karuan. Dua laki-laki dewasa berada di dalam kamarnya. Satu laki-laki si pelempar sandal. Sedangkan satunya lagi pria gendut yang masih tersungkur karena mendobrak pintu kamarnya. Amelia menarik selimutnya kuat-kuat sambil meratap. Ia seperti ingin kembali ke situasi dengan sosok makhluk tinggi kurus tadi.

Bantuan berdatangan. 19 pintu kamar lainnya terbuka. Suara-suara khas kaum hawa meneriaki kedua lelaki yang dianggap mereka jelalatan itu. Kini kedua laki-laki itu yang dihujani sandal, sepatu, gayung, payung, helm, handuk basah, remote TV, centong nasi, dan peralatan-peralatan dapur lainnya. Tidak ketinggalan makian-makian yang merobek hati juga terlontar dari pasukan perempuan indekos. Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Kedua laki-laki itu tidak ada pilihan selain segera pergi dari sarang amukan itu.

Terusirnya dua laki-laki itu meredakan perlawanan dari para penghuni kos teman-teman Amelia. Sungguh ikatan tali persaudaraan yang sangat kokoh di dibawah naungan atap yang sama. Setelah semua tenang dan mendapatkan penjelasan dari Amelia satu per satu para penghuni kos membubarkan dirinya masuk ke dalam kamar masing-masing. Amelia melanjutkan tidurnya di salah satu kamar temannya. Sulit rasanya untuk tetap tenang dan nyaman tertidur dengan ruangan yang sudah tidak ada lagi pintunya.

Amelia marah-marah kepada Rona si rubah sahabatnya. Kenapa ia tidak ada ketika dirinya sedang dalam kesulitan yang hampir merenggut mata dan kegadisannya. Rasa emosi yang meluap terhadap sahabat setianya itu berubah menjadi perasaan sedih serta khawatir karena sudah dari dua hari yang lalu ia tak pernah melihatnya. Bahkan ketika Amelia mencoba untuk kesekian kalinya memanggil namanya rubah kecil itu tak kunjung menampakkan diri.

Pagi itu Amelia sedang berbelanja roti gandum dan selai untuk sarapannya di minimarket di dekat tempat kosnya. Tidak hanya di jam makan pagi saja ia mengkonsumsi menu itu. Dan dengan hanya mengkonsumsi air putih inilah ramuan diet ala dirinya yang sudah dua tahun belakangan ini ia jalani. Ia mengurangi makan-makanan manis dan juga katakan tidak untuk nasi. Padahal menurut kesaksian yang valid dari para koleganya tidak ada sedikitpun berat dari bagian tubuhnya yang bisa dikatakan chubby apalagi gendut. Tapi Amelia bersikeras ingin selalu tampil dengan penampilan yang ideal dan bertubuh sehat. Katanya ia sangat terinspirasi dari seseorang yang pernah dikenalnya mengenai penampilannya itu.

Amelia sedang memilah-milah roti. Ia cek satu persatu tanggal kedaluwarsa roti di display itu. Colekan ringan dipundaknya membuat ia berpaling. Ia dibuat kaget. Dua orang yang tadi malam menyatroninya di kamar kos kini kembali datang dihadapannya. Reflek Amelia melemparkan satu bungkus roti kotak itu ke arah si pencolek. Si pencolek berhasil menghindar. Roti itu mengenai muka rekannya yang berbadan tambun yang berdiri tepat dibelakangnya.

“Ini aku Akbar”, katanya.

“O... Om Akbar”, jawab Amelia lega.