ORANG ASOSIAL

ORANG ASOSIAL

Author:David Purnama

TETANGGA

PROLOG

Aku memahami apa yang terjadi pada diriku sendiri. Aku adalah seorang asosial. Yang artinya aku jarang bergabung dengan orang-orang. Aku lebih nyaman seorang diri.

Aku sudah melaluinya sepanjang hidupku. Dan aku sudah terbiasa dengan itu. Termasuk pandangan orang lain kepadaku.

Aku sama sekali tidak keberatan jika ada cibiran yang ditujukan kepadaku. Aku tidak bersikap ramah. Individual. Mementingkan diri sendiri. Tidak punya rasa empati. Apa pun yang orang bisa katakan. Silahkan saja.

Karena memang tidak semua orang tahu dan merasakannya.

Ada bermacam istilah memang. Dimana para ahli telah memberikan nama beserta karakteristiknya masing-masing.

Sebut saja introvert, asosial, anti sosial, psikososial, bipolar atau bahkan yang lebih seram lagi seperti psikopat.

Aku rasa semua orang setuju. Setiap orang menjalani hidup dengan pilihannya masing-masing. Orang hanya akan bisa mendapatkan rasa nyaman jika tidak ada campur tangan orang lain.

Begitu pun juga denganku. Aku menjalani hidup dan melihat dunia dengan cara yang ku pilih sendiri.

*

Apa yang dilakukan anak kecil itu di halaman depan rumahku? Tidak bosan-bosannya ia setiap hari bermain di situ.

“Bukankah begitu Rocco?”

Rocco saja sudah malas untuk bertemu dengannya.

Kedatangan tetangga baru itu sedikit mengubah rutinitas ku. Aku tidak bisa lagi sebebas dulu dimana tidak ada yang mengintai setiap gerak-gerik ku. Tidak perlu bersiap-siap dengan memperhatikan penampilan setiap akan keluar rumah dan harus bersikap ramah jika bertemu dengan mereka.

Aku dulu sempat mengeluh karena harus menempati rumah yang terletak di paling ujung dari komplek perumahan ini. Waktu itu aku membayangkan betapa sepinya harus tinggal di rumah yang berlokasi di paling pojok dan hanya bertetangga dengan dua rumah lainnya. Apalagi saat itu akulah yang pertama menempati hunian dari tiga rumah yang berlokasi memisah dari rumah-rumah yang lainnya. Tapi berbanding terbalik dengan situasiku saat ini dimana aku benar-benar menikmati sebuah kesunyian dan ketenangan. Tentunya sebelum keluarga dari anak kecil itu menempati rumah yang berhadapan persis dengan rumahku.

“Ting tong”

Tiga kali sudah bel rumahku berbunyi. Aku bisa memastikan seseorang yang sedang berada dibalik pintu rumahku bukanlah orang dari komplek perumahan ini karena mereka tidak akan bertamu sepagi ini.

Seorang anak perempuan sedang dibopong oleh perempuan dewasa yang aku yakin adalah ibunya. Rupanya anak kecil itu yang sedari tadi membunyikan bel rumahku. Itulah yang aku lihat dari lubang kecil rahasia yang terdapat di pintu rumahku. Aku benar-benar tidak sabar ingin bertemu mereka sehingga aku bisa melanjutkan meminum kopi pagiku.

Seorang ibu muda bersama anaknya menyapaku ketika aku membukakan pintu. Perempuan ini lumayan cantik sementara anaknya aku pikir lebih mirip dengan ayahnya. Mereka memperkenalkan diri sebagai sebuah keluarga yang akan tinggal di rumah di depan rumahku. Setelah perkenalan sebagai formalitas dirasa cukup mereka pun pamit untuk pulang.

Tidak ada ruginya juga mereka bertamu pagi-pagi. Kue yang mereka bawa menjadi pelengkap minum kopi yang sempat tertunda. Sejak saat itulah Susi dan juga anaknya yang bernama Lisa resmi menjadi tetangga baruku.

TETANGGA

Sudah cukup lama aku berkutat dengan kesibukanku yang hanya ku kerjakan seorang diri. Sendiri sudah menjadi terbiasa bagiku. Perlu digaris bawahi aku memang cukup dengan diriku sendiri untuk melakukan segala kegiatan-kegiatanku sehari-harinya. Sendiri bukannya kesepian. Interaksi ku dengan orang lain hanyalah sebatas yang aku perlukan saja. Karena itulah aku terkadang seperti sudah lupa bagaimana caranya bergumul dengan orang lain.

Kedatangan tetangga baru yang rumahnya tepat berhadapan dengan rumahku mengharuskan aku untuk setidaknya sedikit menunjukkan hidup secara berdampingan seperti orang-orang pada umumnya. Aku tidak mungkin bersikap mereka tidak ada seperti halnya ketidak ingin tahuanku akan urusan mereka. Sedikit tegur sapa ketika berjumpa sudahlah cukup rasanya.

Seperti yang aku katakan sebelumnya tetanggaku ini orangnya cukup cantik. Jika aku perhatikan umurnya masihlah belum ada 30 tahun. Kemungkinan ia baru berusia 25 tahunan. Seorang ibu muda beranak satu yang tubuhnya masih proporsional. Tentang penampilannya yang tampak bugar dan terawat sebenarnya tidak terlalu mengherankan ketika tahu dia adalah seseorang yang bekerja di sebuah rumah sakit di kota ini. Wajahnya yang bersih dengan rambut yang hitam legam lurus sebahu sepintas mengingatkanku akan sebuah iklan produk shampoo yang sering muncul di televisi.

Namanya Lisa Amira Putri umurnya delapan tahun dan ia kelas 2 SD di sekolah dasar yang terletak di dekat rumah sakit tempat ibunya bekerja. Itulah yang anak kecil itu katakan dengan fasih ketika ia memperkenalkan dirinya padaku. Aku tidak terkesan dengan bagaimana dia menghafal tentang data dirinya dan juga caranya memperkenalkan diri. Yang ada di pikiranku saat itu adalah anak ini pasti banyak bicara dan merepotkan.

Jika terdengar suara mobil sudah dihidupkan itu artinya beberapa saat kemudian ibu dan anak itu akan segera berangkat. Setelah terdengar suara mobil sudah melaju setelah itulah aku pergi ke ruang tamu rumahku untuk menyibakkan gorden dan membuka jendela. Terlihat sebuah mobil jenis mini van berwarna putih yang sesaat kemudian akan hilang dibelokkan menuju jalan keluar komplek.

Kepulangan mereka di sore hari biasanya akan ditandai dengan percakapan antara ibu dan anak itu mengenai hal apa saja yang dilakukan si anak ketika di sekolah. Suara anak itu benar-benar kencang dan terdengar sangat antusias ketika ia menceritakan kegiatan-kegiatannya di sekolah. Meskipun bisa terdengar jelas olehku yang berada di dalam rumah hal itu masih bisa kumaklumi dan tidak terlalu mengganggu. Yang menjadi sangat berisik adalah ketika anak kecil itu sudah menangis. Memerlukan waktu yang cukup lama sampai ia berhenti dari tangisannya. Perdebatan diantara keduanya yang sama-sama menggunakan nada yang tinggi juga lumayan berisik sehingga ketika itu terjadi aku akan segera menghidupkan radio yang berada di dapur dari pada aku harus mendengarkan pembicaraan konyol mereka.

Aku sudah sering menyuruhnya untuk bermain di area komplek yang terdapat banyak rumah yang hanya memerlukan beberapa menit saja untuknya berjalan ke tempat yang juga sering ia lewati ketika ia berangkat ke sekolah bersama ibunya. Di sana dia akan menemukan banyak teman seumurannya. Tapi anak kecil ini malah lebih asyik untuk bermain di halaman rumahku. Memang pikiran orang tidaklah sama. Apalagi seorang anak kecil. Sebuah pohon dan ayunan lebih dipilihnya.

Rocco sebenarnya sangatlah pilih-pilih untuk bisa diajak bermain. Tapi dengan anak kecil ini dia seakan begitu mudah untuk menerimanya. Bahkan ada kalanya Rocco mengabaikan panggilanku dan lebih memilih untuk tetap bermain dengan anak kecil itu.

Jika aku perhatikan lebih dekat lagi secara fisik memang gadis kecil ini sama sekali tidak menyerupai ibunya. Bentuk wajahnya, matanya yang lebih belok serta alis yang tebal sama sekali tidak mirip dengan ibunya. Hidungnya yang pesek juga berlawanan dengan hidung mancung yang dimiliki oleh ibunya. Hanya gaya rambut panjang sebahu saja yang bisa dikatakan mereka berdua memiliki kesamaan. Tapi jika dilihat dari sikap dan caranya berbicara apalagi ketika sudah dalam keadaan emosi yang tinggi tidak akan ada yang meragukan lagi persamaan diantara ibu dan anak ini.

Mengenai ayah dari anak ini aku benar-benar tidak pernah ingin menyinggungnya. Dari hari pertama mereka resmi menjadi tetanggaku tidak pernah sekalipun baik sang ibu atau pun gadis kecil ini membahas tentang siapa suami atau ayah dari anak ini. Beberapa kali di akhir pekan aku melihat seorang laki-laki datang ke rumah mereka. Awalnya aku berpikir mungkin itu suami dari ibu muda yang bekerja di luar kota. Namun beberapa pekan berselang laki-laki yang berbeda dari sebelumnya juga datang menyambangi rumah tetanggaku itu. Mungkin itu kerabatnya. Atau mungkin yang kemarin dan kemarinnya lagi adalah kerabatnya. Jika mereka berpikir aku tidak pernah menanyakannya karena dirasa sungkan itu justru lebih baik. Karena sesungguhnya aku benar-benar tidak peduli siapa saja yang datang dan pergi dari rumah mereka. Bukan urusanku.