SKUAT INDIGO

SKUAT INDIGO

Author:David Purnama

BAB 1 AWAL MULA

PROLOG

Perbincangan di teras rumah di waktu sore.

“Temanmu yang kemarin tidak main ke sini lagi?”, tanya seorang kakek kepada cucunya.

“Tidak mbah. Anaknya aneh”, cucunya menjawab.

“Aneh kenapa?”, tanya kakek.

“Katanya indigo”, jawab cucu.

“Apa?! Indihome?”, tanya kakek tentang kejelasan apa yang disampaikan oleh cucunya.

“Indigo mbah!”, sang cucu mempertegas dan memperkeras jawabannya. “Budek”, lirih kata sang cucu.

“O... Indigo. Apa itu?”, tanya kakek.

“Jawab buk”, sang cucu menyuruh ibunya untuk menjawab pertanyaan dari kakeknya lalu ia masuk ke dalam rumah.

“Itu lho pak. Anak yang katanya bisa melihat hal-hal gaib”, jawab sang ibu.

“Anakmu itu lho. Tidak sabaran. Tidak sopan. Ditanya malah kabur”, ucap sang kakek kesal.

“Apa indigo Mi?”, tanya kakek kepada ibu sang cucu.

“Apa kamu mau kabur juga!?”, tuduh kakek.

“Itu lho pak. Orang yang bisa melihat setan. Pak... pak”, sang ibu mencoba bersabar mengulangi jawabannya.

“Oalah orang pinter”, kata kakek.

“Itukan seperti dulu yang sering aku ceritakan padamu waktu kamu masih kecil dulu itu Ratmi”, lanjut kakek.

“Iya pak”, jawab Ratmi ibu dari cucu kakek.

“Ya memang ada orang-orang dengan kemampuan seperti itu. Dari dulu juga ada. Yang aku ceritakan ke kamu itu bukan mengada-ada lho Mi. Kisah nyata yang bapak dan teman-teman bapak alami sendiri. Kamu tidak percaya sama bapakmu sendiri? Kamu pikir aku ini ngapusi (berbohong)?”, jelas kakek.

“Lha yang bilang tidak percaya itu siapa pak?”, jawab Ratmi.

“Lha itu kamu bilang?”, kata kakek.

“Ratmi percaya sama bapak”, tegas Ratmi.

“Kalau percaya jangan menganggap mereka aneh dong”, sanggah kakek.

“Lha siapa juga yang menganggap mereka aneh? Aku tidak ngomong apa-apa?”, sanggah Ratmi.

“Itu tadi anakmu bilang temannya itu aneh. Itu pasti ajaranmukan? Hayo ngaku?!”, tuduh kakek.

“Bapak asal tuduh”, jawab Ratmi.

“Kamu dikasih tahu sama orang tua tidak percaya. Meremehkan. Sakkarepmu (terserah kamu) Mi Mi”, kakek kesal.

“Enggih bapak”, bakti Ratmi.

“Sakkarepmu Pak”, batin Ratmi.

“Lho kamu mau kemana Mi?”, tanya kakek.

Ratmi pun mengikuti langkah anaknya. Ia meninggalkan bapaknya yang kini sendirian duduk di teras rumah yang hanya tinggal berteman dengan ubi rebus yang sudah anyep (dingin).

***

Di sebuah kawasan rumah dinas yang luas dan mewah. Rumah bergaya kebarat-baratan dengan dominan cat berwarna putih. Ornamen-ornamen dari kayu jati membuat sebuah perpaduan antara gaya barat dengan corak nusantara. Sebuah rumah besar yang dikelilingi halaman yang begitu luas. Di rumah dinas itu tinggallah salah seorang yang mempunyai kedudukan penting di pusat pemerintahan. Di rumah kerjanya itu beliau tinggal bersama dengan keluarga dan juga para perewangnya.

Bapak. Itulah biasanya para penghuni rumah memanggil beliau. Sosok yang begitu dihormati dan juga disegani oleh mereka. Di rumah itu bapak tinggal bersama istrinya tercinta dan juga putri semata wayang mereka beserta juga menantunya. Ada dua perewang perempuan. Seorang laki-laki sebagai tukang kebun sekaligus merangkap sebagai penjaga malam. Dan yang terakhir seorang pria muda sebagai ajudan atau asisten pribadi bapak yang sangat ia percayai yang sekaligus merangkap menjadi supir pribadi untuk bapak. Total ada delapan orang yang menghuni rumah dinas tersebut. Rumah keluarga terpisah dengan dapur dan juga kamar-kamar para perewangnya.

Bisa dibilang perjalanan kehidupan bapak dari zaman perjuangan hingga setelah masa telah berhasilnya kembali direbutnya kedaulatan negara baik-baik saja dan lancar-lancar saja. Bahkan bapak adalah seorang yang punya peran penting dan begitu diandalkan oleh orang nomor satu di negeri ini. Tapi menjelang akhir masa jabatannya beliau justru nampak murung seakan dirundung begitu banyak pelik masalah.

Memang bapak orangnya jarang sekali untuk mengeluh dan mengungkapkan keresahannya terhadap siapa saja. Satu-satunya yang sering dicemaskannya hanyalah bahwa ia belum juga dikaruniai seorang cucu setelah putri tunggalnya sudah berjalan setahun lebih menikah. Tapi akhir-akhir ini tidak bisa dipungkiri kegundahan hatinya tercermin jelas di raut wajah tuanya. Tidak hanya bapak saja yang merasakannya. Semua penghuni rumah pun juga merasakan hal yang sama dengan apa yang dicemaskan bapak. Semua ini tidak ada kaitannya dengan pekerjaan bapak dimana bapak akan pensiun di beberapa bulan ke depan. Tapi apa yang menjadi pusat perhatian mereka di rumah itu adalah kejadian-kejadian aneh yang mereka alami dalam beberapa minggu terakhir.

Para perewang perempuanlah yang mulai mendapati kejadian-kejadian aneh hingga mereka pun menyampaikan apa yang mereka alami kepada bapak. Lastri yang merupakan pembantu dengan usia paling muda di rumah itu yang pertama kali mengalaminya. Tugas Lastri adalah membantu Mbok Salmi yang merupakan perewang yang sudah senior dan lama ikut dengan keluarga bapak. Kala itu Lastri yang sudah di dalam kamarnya bersiap untuk tidur terganggu dengan suara-suara yang terdengar seperti besi atau logam yang dipukul. Menurutnya jelas itu adalah suara wajan yang dibunyikan dengan cara dipukul-pukul. Kamar Lastri yang dekat dengan dapur bisa dengan jelas mendengar suara tersebut.

“Mbok... mbok...”, Lastri ingin memastikan siapakah orang yang sedang berada di dapur dan memainkan wajan itu.

Setelah Lastri memanggil-manggil Mbok Salmi. Hasilnya nihil dan suara yang sedari tadi didengarnya pun hilang.

Baru beberapa saat saja Lastri berhasil memejamkan matanya suara yang seperti wajan yang dipukul-pukul itu kembali terdengar. Lastri yang sudah tidak sabar pun akhirnya langsung beranjak bangun dari ranjangnya langsung menuju ke dapur. Lastri ingin memarahi orang yang sudah mengerjainya tersebut. Yang ada di pikiran Lastri adalah Pak Jan. Meskipun tukang kebun itu berwatak pendiam tapi terkadang ia juga suka jahil menggoda Lastri.

Lastri hanya bisa terdiam. Kata-kata yang sudah ada di mulutnya tidak jadi ia keluarkan ketika ia tidak mendapati seseorang pun yang sedang berada di dapur. Setelah itu Lastri langsung kembali mematikan lampu dapur kemudian langsung kembali menuju kamarnya dengan sedikit berlari.

Keesokkan harinya Lastri menjadi banyak terdiam dengan wajah pucat yang menghiasi mimik mukanya. Di pagi itu ia hanya tertunduk sambil mempersiapkan makanan untuk sarapan. Apa yang terjadi semalam masih menghantui Lastri. Mbok Salmi yang mengetahui perubahan sikap Lastri lantas menegurnya.

“Sudah tidak usah dipikirkan nduk”, mbok Salmi sambil memegang pundak Lastri.

Meskipun sedikit kaget Lastri mencoba menyembunyikan kepanikannya, “Ada apa mbok?”

“Semalam aku juga mendengarnya”, jawab mbok Salmi.

Mbok Salmi berbicara lirih dan mengisyaratkan untuk Lastri diam dengan menaruh jari telunjuknya menempel dibibir.

“Ayo lanjutkan masaknya. Sudah mau jam enam”, kata mbok Salmi menuntun Lastri kembali ke rutinitas paginya.

Ada sedikit kelegaan di hati Lastri. Ternyata apa yang didengarkannya semalam juga didengar oleh mbok Salmi. Tapi Lastri pun masih menyimpan penasaran sekaligus rasa takut tentang suara apa yang sebenarnya didengarnya itu.

Berbeda dengan Lastri dan mbok Salmi, Pak Jan yang merupakan tukang kebun sekaligus merangkap sebagai penjaga malam punya ceritanya sendiri. Pak Jan merupakan salah seorang warga yang tinggal di kampung yang lokasinya berada di dekat kawasan rumah dinas bapak. Bahkan sebelum bapak beserta keluarga menetap menjadi penghuni rumah itu Pak Jan sudah terlebih dahulu berkerja di sana. Jika sudah selesai dengan kegiatan berkebunnya Pak Jan di siang harinya akan terlebih dahulu pulang untuk urusan di rumahnya dan biasanya akan kembali ke rumah dinas antara jam 8 sampai jam 9 malam. Baru jika ada keperluan khusus yang membutuhkannya orang rumah atau pun bapak sendiri yang akan memberitahukan kepadanya. Mengenai kisah gangguan-gangguan mistis tentu saja Pak Jan juga pernah mengalaminya jauh sebelum Lastri dan mbok Salmi datang. Pak Jan berpikir wajar karena memang kawasan rumah yang asri masih banyak pohon-pohon besar dan jauh dari keramaian ibu kota itu jika terdapat hal-hal demikian. Apalagi tidak jauh dari kawasan rumah dinas berdekatan dengan kuburan kampung di daerah tersebut.

Suara-suara ketukan di malam hari. Suara tawa perempuan. Hal-hal semacam itu sudah terlampau biasa bagi Pak Jan. Baginya menanggapi yang semacam itu ia buat lalu saja. Tapi tidak dengan kejadian yang baru kemarin malam ia alami. Baginya yang sudah sering menemui suara-suara atau pun penampakkan-penampakkan yang telah ia terbiasa olehnya pengalaman pada malam itu benar-benar lain.

Pak Jan malam itu sampai di rumah dinas jam 9 lebih karena ia harus menghadiri acara hajatan di rumah salah seorang warga di kampungnya. Karena rasa kenyang yang didapatkannya dari hidangan di acara hajatan tersebut ia pun merasa sudah mengantuk ketika tiba di pos jaga yang terletak di jalan masuk area rumah. Pak Jan sempat tertidur beberapa menit di kursi di dalam ruangannya. Suara yang menawarinya kopi membangunkannya.

“Kopi Pak Jan?”, suara itu terdengar jelas oleh Pak Jan sehingga ia terbangun. Pak Jan merasa itu adalah suara dari Bagus yang merupakan ajudan pribadi sekaligus supir pribadi bapak. Pak Jan tidak merasa curiga apa pun karena Bagus menawarinya kopi untuk kemudian dilajutkan dengan obrolan malam bukanlah untuk pertama kalinya ini. Masih dalam posisi duduknya dengan sedikit mengangkat setengah badannya Pak Jan membuka pintu pos jaga lebar-lebar dari yang sebelumnya ia buka separuh saja. Terlihat dua tangan yang membawa dua buah gelas berisi kopi hitam. Penglihatan itu sudah sering kali Pak Jan lihat ketika Bagus memasuki rumah jaga dengan kopi racikannya. Tapi malam itu benar-benar berbeda. Pak Jan benar-benar terperanjat ketika melihat sosok pembawa kopi itu masuk utuh ke dalam ruangannya.

Adzan subuhlah yang membangunkan Pak Jan. Ia mendapati dirinya sudah tergeletak di lantai. Ia pun beristigfar mengingat kejadian yang menimpanya semalam. Sosok tanpa kepala yang untuk pertama kali dilihatnya yang tidak hanya mengagetkannya tapi sampai membuatnya pingsan. Penampakan itu menambah daftar sosok makhluk yang pernah dilihatnya. Sebelumnya sosok kuntilanak, pocong, genderuwo, sampai tuyul pernah ditemuinya hingga menjadikannya sesuatu yang sudah tidak mengejutkannya lagi. Tapi sosok tanpa kepala baru pertama kali bagi Pak Jan. Ia pun terus memikirkan kejadian itu. Yang menjadi pokok pikirannya bukanlah sosok yang menakutkannya. Tapi penampakkan yang dapat sama persis meniru suara dan tampilan berserta kebiasaan Baguslah yang dikhawatirkannya. Menurutnya ini adalah sebuah kemampuan yang tidak biasa dibandingkan dengan yang sering dilihatnya dari penampakkan-penampakkan di wilayah yang ia tinggali. Ini sudah diluar kebiasaan mereka pikirnya. Pak Jan menaruh curiga akan ada sesuatu yang tidak baik. Ia pun berinisiatif untuk membicarakan persoalan ini kepada bapak.

Berbeda dengan para perewang yang mengalami gangguan-gangguan gaib. Dahlia merupakan putri tunggal dari bapak. Ia dan suaminya yang baru menikah setahun yang lalu tidak pernah sama sekali mengalami hal-hal mistis atau pun menakutkan. Masa-masa kasmaran mereka masih hangat di tahun pertama pernikahan mereka. Bumbu-bumbu cinta masih sering kali mereka tunjukkan tanpa malu-malu di dalam rumah dan di depan para penghuni lainnya. Keributan kecil yang sering terjadi antara keduanya adalah ketika kunci motor kesayangan Haris yang merupakan suami dari Dahlia sering tidak ditemukannya dan berpindah-pindah tempat dari dimana sebelumnya ia meletakkannya. Mulailah Haris yang selalu bertanya kepada Dahlia sang istri dimana ia menyembunyikan kunci motornya. Haris pun menuduh Dahlia sengaja menyembunyikan kunci motornya. Topik inilah yang sering kali menjadi pemicu pertengkaran kecil diantara keduanya. Beruntung keduanya selalu masih bisa saling meredam emosinya. Juga dengan wejangan-wejangan dari ibu Dahlia pertikaian mereka selalu bisa dipadamkan. Dengan segala pengakuan dari Dahlia bahwa bukan dialah yang mempermainkan Haris dengan menyembunyikan kunci motornya. Di dalam hati Haris tidak begitu saja percaya dengan semua perkataan istrinya itu.

Dahlia dan Haris sama-sama masih sangat muda. Usia mereka belum juga genap 20 tahun ketika mereka menikah. Bapak dan juga ibu menyadari hal ini bagaimana mereka terkadang masih menampakkan sisi kekanak-kanakan mereka. Bapak berharap agar cepat bisa diberi cucu sehingga bisa menambah ramai rumah dan juga sekaligus membuat putri dan menantunya terbawa menjadi dewasa. Itu sejatinya harapan bapak paling besar kepada mereka berdua. Satu hal lagi yang menyita perhatian bapak tentang dua romansa anak muda itu. Kunci motor milik Haris yang katanya disembunyikan dan menimbulkan perdebatan diantara keduanya. Jika itu terjadi satu dua atau tiga kali mungkin itu masih wajar. Tapi kunci motor yang sering berpindah-pindah itu terlalu sering terjadi. Di situlah bapak mulai curiga akan adanya sesuatu yang tidak benar.