1. Mula-mula
"Din, kamu udah siapin semuanya?"
"Udah, Kak Kania. Semua udah beres. Tinggal berkas yang ada di Kak Aziziah yang belum," balas Adin yang masih sibuk merapikan semua berkas yang diminta Kania.
Tok
Tok
Tok
Aziziah mengetuk pintu ruangan Kania yang bertulis Direktur Utama. Ia pun meraih kenop pintu dan melangkah masuk setelah mendengar jawaban dari dalam ruangan.
"Aziah! Sini, sini. Aku punya rencana untuk proyek yang satu ini," sambut Kania bersemangat sembari menarik tangan Aziziah.
"Ya ampun, Kania. Pelan-pelan dong. Semangat banget kamu hari ini," celetuk Aziziah ngeledek.
"Ish! Harus semangat, kan kita bakalan dapat proyek gede! Kamu tau perusahaan siapa yang lagi mengadakan tender? Karzai Co., Aziziah!" terang Kania bersemangat.
"Apa?" Aziziah tak kalah kaget setelah mendengarkan hal itu.
Sangat jarang perusahaan besar seperti mereka menginginkan proyek yang terbilang tidak besar nilainya, namun bagi Brand Kania ini adalah kesempatan emas untuk melebarkan sayapnya. Aziziah menatap dalam ke arah Kania yang masih fokus mengutak-atik komputer yang ada di depannya. Ia lantas mendekat ke arah Kania.
"Kania?" panggilnya lembut. Namun Kania masih asyik dengan komputernya.
"Kania?" panggil Aziziah lagi.
Sontak saja Kania terkejut. "Eh, iya, Aziziah. Maaf, aku terlalu bersemangat dan melupakanmu sejenak. Jadi gimana menurutmu?"
"Apa sebaiknya kita telusuri dahulu maksud tender yang diadakan oleh perusahaan Karzai.Co.,? Lagipula masih jauh kan deadline-nya?" usul Aziziah lagi sedikit khawatir.
"Baiklah, Ziah. Aku akan menyelidikinya. Lagian kamu pasti kenal dengan orang yang kumaksud dalam penyelidikan ini. Untuk waktunya bagaimana kalau satu Minggu sembari kita menyiapkan semua berkas untuk keperluan tender?" tanya Kania lagi untuk meyakinkan sahabatnya itu.
"Aku ikut kamu, Kania. Lagian Bang Okim pasti mau bantu kita. Secara dia ada hati sama kamu," canda Aziziah sembari tersenyum.
"Ziah, jangan ungkit itu lagi. Please? Dia masih keluarga, loh sama aku," jawab Kania cemberut.
"Iya, iya. Kan bercanda doang. Ya udah kalau gitu, ini berkas yang kamu minta tadi." Aziziah menaruh berkas itu di atas meja yang sudah ditumpuki dokumen-dokumen yang tak kalah penting.
"Oh iya, untuk klien Pak Abdullah udah beres, kan?" tanya Kania lagi.
"Klien Abahmu? Sudah. Tinggal janji temu dan jelaskan aja, kan?"
"Ok. Makasih Aziziah. Kamu memang terbaik!" puji Kania tersenyum.
"Kamu juga. Ya udah, janji temu sore ini, ya. Perlu ditemenin gak?"
"Aman. Aku bisa sendiri. Makasih, Aziziah. Makan siang bersama di kantin 88 ya?"
"Siap. Aku ke ruanganku dulu. Ada beberapa yang harus diselesaikan. Untuk tender, serahkan padaku. Asal kita sudah menyelidikinya pasti akan aman." Aziziah mengacungkan jempolnya menandai semua akan beres.
Begitupun dengan Kania yang membalas dengan kedua jempol dinaikkannya ke atas. Pintu di tutup rapat, Kania segera meraih ponselnya yang ada di saku jas, dan mencari nama Bang Okim untuk segera di dial.
"Assalamualaikum, Bang Okim. Kania ganggu Abang gak?" suara merdu Kania terdengar di seberang ponsel setelah panggilan itu diterima.
"Waalaikumsalam. Gak ganggu kok, Kania. Ada apa? Tumben telepon jam segini, kangen ya? Wkwkwk," canda Bang Okim di seberang.
"Ish, Abang pandai sekali lah melawak. Gini Bang, . . . ,"
Pembicaraan berakhir dengan persetujuan yang sesuai dengan harapan Kania.
"Soal Karzai beres, sekarang soal klien Abah. Hüft, semoga beliau ACC design ini," gumam Kania sembari memasukkan semua berkas yang sudah siap ke dalam tas kerjanya.
Perusahaan Karzai.Co.
"Bagaimana? Pak Irwan sudah bisa dikontak?" tanya Direktur pemilik perusahaan tersebut.
"Sudah, Pak. Tetapi beliau tidak ingin terlibat kalau tidak ada asisten yang diminta oleh beliau," jawab staff pengurus dokumen.
"Kalau begitu minta Bu Intan sebagai kepala HRD untuk buka lowongan pekerjaan dan cari yang sesuai kriteria Pak Irwan. Dan minta divisi rekrutmen untuk memperluas iklan lowongan pekerjaan yang dibutuhkan. Seleksi dengan ketat!"
"Baik, Pak. Saya permisi," pamit Hendra sebagai staff pengurus dokumen.
Lelaki itu hanya menganggukkan kepala tanda menyetujui. Pandangannya tetap mengarah tajam ke arah jalanan yang padat dari ketinggian. Seakan memikirkan strategi untuk pembuktian kalau dirinya layak dibandingkan adiknya untuk menggantikan posisi ayahnya di perusahaan tersebut.
Perusahaan Karzai.Co yang bergerak di bidang kontruksi besar yang sudah terpercaya di negara itu. Ayahnya sendiri memang sudah memberikan mandat kepada anak pertamanya untuk meneruskan bisnis yang berkelanjutan, namun beliau juga ingin pembuktian dari anak sulungnya tersebut.
"Ayah akan memberikan semuanya yang ada di pusat untuk Abang kelola dengan baik, namun satu permintaan ayah, Abang harus menyelesaikan satu proyek dan membuktikan kalau Abang layak sebagai pemimpin perusahaan ayah. Saingan terberat abang adalah adik Abang sendiri," ujar Ayah lelaki itu.
"Bagaimana kalau saya kalah, Ayah? Pasti ekspektasi ayah terhadap saya hancur,"
"Maka dari itu Abang harus membuktikannya. Kalau Abang tidak bisa membuktikannya, Ayah akan berikan ke adikmu," jelas beliau.
"Ayah terlalu berharap besar kepada saya. Kenapa tak langsung berikan kepada Adik?" tanyanya.
"Abang punya sesuatu yang ada di dalam diri abang. Jadi Abang perlu buktikan itu. Sama dengan halnya dengan Adik. Biar ayah yang menilai kalian dalam kompetisi sehat ini. Adik juga sudah tau perihal ini. Bagaimana?"
"Baiklah. Saya ikut apa kata ayah saja. Semoga saya tak menghancurkan impian Ayah bahkan ekspektasi ayah terhadap saya," balasnya.
"Sudahlah. Jalani saja. Ayo, Ibu sudah masak enak untuk kita santap malam ini. Adik juga sudah menunggu di ruang makan."
"Proyek ini harus berhasil. Ambisi saya hanya untuk membuktikan kalau saya layak menjadi pemimpin dan menjadi contoh yang baik," gumamnya yang hanya bisa didengarnya sendiri.
Terdengar pintu diketuk.
Tok
Tok
Tok
Farhan menoleh ke arah pintu dan meminta orang tersebut masuk ke ruangannya. "Masuk."
"Abang? Abang sibuk gak? Saya dengar kalau Pak Irwan butuh asisten?" tanya Faris selaku adiknya.
"Faris! Udah berapa kali saya bilang, kalau lagi di kantor kamu panggil saya dengan formal," jawab Farhan tegas.
"Siap, Bang! Eh, Pak Farhan yang terhormat! He he," balas sang adik dengan cengengesan.
"Terus?"
"Saya mau rekomendasi, gimana dengan perempuan yang dijuluki dengan 'Si Paling'?" sambil memainkan kedua alisnya.
"Si Paling? Maksudnya?" Farhan bingung ke arah mana adiknya ini berbicara.
"Iya, Pak. Saya punya rekomendasi yang cocok untuk asisten Pak Irwan. Dia juga punya usaha rintisan. Saya yakin, Pak Farhan tak akan pernah menyesal," ucapnya dengan yakin.
"Suruh saja dia kirim CV ke sini. Lagian Bu Intan akan buka lowongan pekerjaan. Dan biarkan Pak Irwan sendiri yang memilih," jawab Farhan tegas tanpa bisa diintervensi.
"Ayolah, Bang. Abang pasti tak akan bisa menolak. Dan tak akan pernah menyesal! Faris yakinkan itu ke Abang," sekali lagi Faris meyakinkan abangnya itu.
"Faris!"
"Ya sudah kalau begitu. Saya akan beritahu dia untuk melamar saja ke kantor ini." Faris pun melangkah keluar dari ruangan direktur utama.
Di lain tempat.
"Halo, Ziah?" panggil seseorang di dalam panggilan yang tersambung.
"Halo, Ris. Kenapa tiba-tiba telepon?" jawab Aziziah heran.
"Bisa ketemu saat makan siang? Ada yang mau aku omongin, Zi sama kamu."
"Duh, gak bisa hari ini, Ris. Emang urgent banget?" tanya Azizah kembali.
"Lebih tepatnya ini info buat kamu sih. Yah, siapa tau ini adalah peluang buat kamu."
"Gak bisa lewat voice note aja? Aku beneran gak bisa hari ini. Aku udah ada janji sama Bosku untuk makan siang bersama. Sorry ya, Ris," ucap Ziah dengan suara melemah.
"Ya gak masalah sih. Ya udah aku voice note aja deh, sorry ganggu ya, Zi."
Panggilan pun di akhiri dengan salam. Aziziah menatap ponselnya sejenak dan berpikir kenapa temennya yang jarang sekali melakukan panggilan tiba-tiba men-dial dirinya. Entahlah. Ia langsung memasukkan ponselnya ke dalam sakunya lagi. Lalu pergi memanggil Kania untuk makan siang bersama.
.
.
.
Bersambung. . .