1) Tuntutan Nikah
"POKOKNYA KAWININ ENENG SEGERA!"
Sebuah buket berisi bebungaan kecil yang malang, terlempar keras ke muka Juna. Pria berumur dua puluh delapan tahun ini berjengit di kursinya. Padahal baru saja akan meminum jamuan paling sederhana--secangkir air putih, tapi kini separuh air itu tumpah, sementara sisanya sempat disinggahi tangkai-tangkai bebungaan tadi. Bahkan ada dua-tiga kelopak serta serpihan daun kering mengambang. Wajah Juna yang meringis sendu terpantul di permukaan air.
"Akang kira bisa nyogok eneng pake bebungaan? Sagala¹ ngasih tiap minggu, tiap malam jumat. HEH, Sia² pikir aing³ Setan?! [Kamu pikir aku setan?!]"
Marsita, cewek yang tengah dilanda kekesalan ini, menyemprot Juna secara membabi-buta. Liurnya bahkan sebagian besar memercik sampai ke dalam gelas Juna, yang hingga kini masih tergenggam dan enggan diletakkan ke meja, khawatir bikin Marsita merasa jamuannya tidak dihargai dan makin naik pitam.
Gadis berusia dua tahun lebih muda dari Juna itu sebetulnya cantik. Bahkan sudah banyak pria yang mengakuinya sebagai salah satu gadis tercantik di desa tersebut. Hanya saja, ia juga terkenal cerewet bin galak, apalagi kalau sedang datang bulan dan mood-nya lagi super anjlok. Sejauh ini hanya ada sedikit pemuda yang berani mendekatinya--termasuk Juna tentu saja.
"Neng, sabar dulu atuh, sabar ...." Takut-takut Juna berusaha menenangkan, meski sebetulnya ia pun tahu itu takkan berhasil meredamkan amarah Marsita yang tengah meledak-ledak. "Duduk heula atuh, nya'...." [Duduk dulu, ya.]
Sejenak ia bingung. Ia ingin bangkit untuk menuntun Sita duduk perlahan, tapi bagaimana dengan nasib cangkir ini? Tentu tidak lucu ia berdiri sambil terus memegang cangkir berisi air--yang masih utuh karena sama sekali belum diminum--seolah ingin menyiramkannya ke arah Marsita, mendinginkan kepalanya secara harfiah. Di sisi lain, ia juga tidak bisa meletakkan cangkir ini ke meja.
Hah... Juna menghela pelan. Permasalahan cangkir di depan gadis ini saja sudah sangat bikin pusing.
Setelah pikirannya bergumul cukup panjang, akhirnya diputuskan untuk mencondongkan tubuh pelan-pelan ke depan, dan sepelan itu pula mengarahkan cangkirnya ke pinggiran meja terdekat. Pelan dan pasti, sambil terus berharap pergerakannya tak terlihat.
Hampir saja alas cangkir itu menjajaki permukaan meja dengan sempurna, tetiba pergerakan ini tertangkap oleh netra Marsita yang melotot kuat bak hantu tengah malam.
Cepat-cepat Juna menarik cangkir kembali. Kini tanpa memedulikan apa pun yang sudah mengontaminasi dan meresap pada minumannya, Juna habiskan air dari cangkir tersebut dalam dua kali teguk. Ia mengecap setelahnya. Bersikap seolah habis merasakan minuman super nikmat nan segar, meski sebetulnya sangat ingin meringis perih lantaran telah mengkhianati kerongkongan serta lambungnya yang malang.
Marsita memindahkan lengan dari pinggang ke depan dada. Tatapannya melunak.
"Coba dong, 'Kang, ngertiin perasaan eneng. Umur 'neng udah mau kepala tiga. Tiap ngumpul jeung tatangga, mesti dibandingkeun jeung si Markonah sama ... eta tah, salakina ... [Tiap ngumpul sama tetangga, selalu dibandingin sama si Markonah dan ... itu tuh, suaminya ...]" Marsita mengingat-ngingat lagi nama suami Markonah sejenak, "ah, si Aceng. Padahal mah mereka masih piyik. Baru geh umur dua puluh tahun ini. Kalakuannya geh masih kayak bocil. Masa kita sabagai orang dewasa, kalah sama yang begitu, sih. Gimana ceritanya, 'Kang?"
Juna akhirnya meletakkan cangkir di atas meja. Kini cangkir itu sudah kosong, jadi tangannya lebih bisa bergerak bebas. Seperti mengelus-elus bagian atas paha, misalnya. Ini menandakan ia sedang kelimpungan dalam menyusun kata-kata demi merespons serangan Marsita.
"Baiknya sih, jangan dilihat dari umurnya yang masih bocil. Mereka tuh kecil-kecil cabe rawit, Neng. Pacaran aja udah lebih dari enam taun. Lah kita satengah taun wae 'teu acan [setengah tahun aja belun]."
Juna tidak sedang bermetafora ketika mengatakan bahwa pasangan yang tengah mereka bicarakan ini sudah memiliki hubungan sejak enam tahun lalu, tepatnya ketika masih menduduki bangku SMP. Memang banyak di antara anak-anak kampung sini yang berpacaran sejak belia sampai mereka beranjak dewasa. Katanya sih taken jodoh supaya tidak bingung cari-cari lagi saat sudah besar.
Tapi ... Juna bukan penganut hal tersebut. Meski paras rupawannya sudah terlihat sedari kecil dan banyak teman sekolah cewek tebar pesona di sekelilingnya, tak pernah sekalipun ia berniat mengambil salah satu atau bahkan beberapa di antara mereka sekaligus untuk dijadikan kekasih. Juna selalu diajarkan oleh emak untuk fokus belajar dan tidak mempermainkan wanita. Dan jika ingin berpacaran, harus sudah berada di usia dewasa dan siap nikah.
Juna selalu merasa beruntung dibesarkan oleh orangtua yang tidak berpikiran kolot.
"AKANG!!"
Mode ganas nan beringas dari Marsita kembali disertai kacakan pinggang, bikin Juna lagi-lagi terlonjak di kursinya.
"Kan tadi udah dibilang, umur 'neng mau kapala tiga, jadi bentar lagi udah mau jadi perawan tua. Naha 'teu ngarti-ngarti sih, AKANG?! [Kenapa nggak ngerti-ngerti sih, AKANG?!]"
Juna mengernyit lantaran simbahan liur terus mengenai wajahnya seperti badai. Tangannya menyeka bulir-bulir surgawi itu seraya menghela napas untuk kesekian kali. Ia ingin merespons lagi, dengan pilihan kata yang lebih hati-hati.
"Iya, Neng. Akang pasti bakal segera nikahin Eneng. Tapi tunggu sampai duitnya cukup dulu, ya. Akang janji bakal cepet-cepet ngumpulin uang buat kita nikah."
Tatapan Juna mengekori Marsita yang mulai menggerakkan kaki, lalu duduk pada kursi di sisi lain meja, di samping Juna dengan posisi L. Kedua lengan masih terlipat di depan dada. Pundak pun masih tegak beriringan dengan tatapan Marsita yang tak mau berhenti menikam Juna yang sudah makin terlihat nelangsa.
"Inget ya, Akang. Eneng tuh mau terima Akang buat jadi pacar terakhir karena kelihatannya Akang lebih pekerja keras dibanding mantan-mantan eneng. Akang juga jauh lebih dewasa dibanding bocil-bocil kematian onoh yang doyannya main gim wae⁴. Kalau hubungan kita cuma sebatas pacaran ngalor-ngidul, ya sama aja atuh kayak bocil-bocil itu!"
Juna sedikit menunduk. Netranya terarah pada telapak tangan yang terbuka, lalu menangkupkan keduanya.
"Sejak pertama nembak Neng Sita, akang udah janji bakal serius ke jenjang pernikahan. Kalau secara mental InsyaAllah akang sudah siap. Yang paling berkendala itu memang masalah dana ...."
"Sok atuh cari terus tuh si dana." Marsita menjeling pada bebungaan yang tergeletak tak sadarkan diri dekat kaki Juna. Kelopaknya hancur berserakan. "Nggak usah bawain bunga-bungaan lagi. Mana jelek kitu. Bunga bank mah hayuk sini eneng terima."
Gadis itu mengangkat kaki jenjangnya dan pergi ke dalam rumah. Pintu kayu terbanting, menutup di belakang Juna.
Pria yang mengenakan jaket kulit ala pengendara motor ini merilekskan punggung pada sandaran kursi rotan. Rasanya tegang sekali berhadapan dengan Sita yang tadi, seperti tersangka yang sedang disidang di depan para hakim dan jaksa selama berjam-jam.
Juna sadar akhir-akhir ini mood Sita memang paling jelek. Dan itu karena ia yang tak kunjung melamar sang kekasih.
Refleks tangannya merogoh saku jaket. Sesuatu paling tebal ia ambil dari sana--dompetnya. Juna amati dompet yang tebal itu, dari sisi depan hingga belakang. Butuh melebarkan jarak ibu jari saat mencengkeramnya karena ya... dompet tersebut memang setebal itu.
Juna belum pernah memberitahukan isi dari dompet ini kepada Marsita. Isinya hanya berupa lembaran uang. Tidak ada yang lain. Juna menyimpan KTP, SIM, serta kartu-kartu lainnya di dompet khusus kartu.
Ia buka dompet itu. Mengambil isinya perlahan. Keluarlah sejumlah uang berupa dua lembar lima puluh ribuan serta lima lembar dua ribuan. Usai ketujuh lembar uang tersebut ditarik, jemari serta netranya jeli merogoh kembali, barangkali ada yang terselip.
Tapi ternyata tidak ada.
Juna mendesah pelan.
Entah kapan uang simpanannya bisa setebal bahan dompetnya.
...----------------...
...Glosarium ...
...[Bahasa Sunda]...
Sagala: Segala
Sia: Kamu [bahasa kasar]
Aing: Aku [bahasa kasar]
Wae: Terus, melulu.