JJIP_01
"Sebentar lagi aku lahiran, aku mau lahiran di rumah ibu." Ucap Mira sembari mengusap perutnya yang sudah buncit. Usia kandungannya kini genap sembilan bulan, dan hanya menghitung hari ke proses persalinan.
"Kenapa harus di rumah ibumu? Di sini kan ada mama, mama bisa membantumu nanti," tutur Wisnu.
Mira melihat suaminya yang tengah bersiap-siap berangkat bekerja. Kerja disalah satu pabrik dan sudah digeluti sebelum menikah dengannya. Bukan meragukan kebaikan mertua, Mira tak ingin terus-terusan merepotkan beliau. Bu Hanum--mertuanya, cukup baik selama Mira tinggal bersama. Ya, Mira tinggal satu atap dengan mertuanya.
Sikap Wisnu berubah setelah menikah, terlebih, lelaki itu mementingkan diri sendiri. Mira merasa kesepian selama tinggal di sana, meski ibu mertuanya baik tapi tidak dengan adik iparnya yang culas. Kerap, tidak sopan karena selalu meminjam barang miliknya tanpa izin darinya.
"Jangan neko-neko, lahiran di sini saja," ucap Wisnu. Lelaki itu memakai jaket lalu menyemprotkan minyak wangi di pakaiannya.
Tampilan Wisnu bak seorang pemuda lajang, berangkat pagi pulang malam. Ya, Mira tahu suaminya bekerja demi kebutuhan rumah tangganya. Namun, apa iya setiap hari pulang larut malam? Mira juga dulunya bekerja dan berhenti sejak dirinya hamil. Wisnu sering beralasan katanya kerjanya lagi sibuk. Tapi Mira tidak percaya.
Mira mencium tangan suaminya sebelum lelaki itu berangkat. Seperti biasa, Mira akan kesepian setelah suaminya berangkat. Ia membereskan tempat tidur, lalu mendengar suara ponsel berdering. Itu bukan nada dering ponselnya, melainkan milik suaminya.
"Aku udah nunggu di tempat biasa." Suara perempuan itu membuat Mira terdiam. Berangkat rapi, wangi, ternyata ini jawabannya. Apa mungkin lembur setiap hari pun seperti ini?
Mira tak membalas ucapan wanita di sebrang sana, dadanya terasa sesak. Tidak berani karena ia akan tahu apa yang akan terjadi nanti selepas suaminya pulang bekerja. Seharian ini, Mira menyibukan diri membantu pekerjaan rumah. Selama hamil, mertuanya melarang Mira mengerjakan pekerjaan berat.
Dalam satu rumah itu ada tiga keluarga, mertuanya, adik iparnya juga dengan Mira. Adik iparnya yang bernama Lana itu dimadu, suaminya jarang pulang karena ia hanya seorang istri muda. Ia dimanjakan oleh ibunya karena merasa memiliki uang dan bisa memerintah sesuka hati.
Di sini, Mira merasa tidak enak. Tinggal bersama dengan tempat yang disekat dengan tempat tinggal adik iparnya itu. Terkadang, Mira berpikir telah salah memilih suami. Namun, ini pilihannya. Ia pun tak mungkin menceritakan masalah rumah tangganya pada orang tuanya.
Ibu Mira yang bernama Heni sering berkunjung menjenguk, membawakan makanan kesukaannya sampai Mira merasa terharu. Sebagai orang tua, Heni sangat baik melepas putri bungsunya. Mereka tidak tahu bagaimana perlakuan Wisnu terhadap anaknya itu.
"Betah kamu tinggal di sini, Ra?" tanya Heni--ibunya Mira.
"Betah, Bu," jawab Mira.
Tubuh yang mulai berisi membuat Heni berpikir bahwa anaknya terlihat bahagia. Pemikirannya masih kolot, banyak sebagian orang berkata, 'tubuh gemuk menandakan hidup bahagia' itu bukan jaminan hidup bahagia, karena Mira tengah hamil dan membuat tubuhnya lebih besar dua kali lipat dari tubuh sebelumnya.
"Suamimu belum pulang?" tanya Heni.
"Belum, mas Wisnu pulang malam," jawab Mira. "Oh, iya, Bu. Uang tabungan melahirkan nanti ada berapa? Aku mau lahiran di rumah Ibu," ucap Mira. Ia selalu menyisipkan uang dari suaminya untuk biaya lahiran nanti.
Jangan tanyakan soal Wisnu, ia mana peduli dengan itu. Intinya, ia sudah memberikan uang setiap bulan pada istrinya dan menyerahkan segala urusan pada Mira. Ya, untuk masalah uang Wisnu memberikan semua gajinya pada Mira, bahkan dengan slip gaji. Tidak ada yang disembunyikan untuk hal itu, tapi ada hal lain yang sering disembunyikan Wisnu.
Insting seorang istri akan selalu benar, baru beberapa hari lalu ia bermimpi suaminya dengan wanita lain, dan itu memang terbukti. Seorang perempuan menghubunginya, entah ada hubungan apa di antara mereka.
***
Wisnu pulang pada jam lima sore, Mira pikir suaminya akan pulang larut. Wisnu memakan rebus jagung hasil pemberian ibu Mira tadi saat berkunjung.
"Mas, air mati. Aku belum mandi, bisa tolong ambilkan air untukku," pinta Mira. Ia tak mungkin menimba air dari sumur karena perutnya sudah besar.
Wisnu tidak bersuara, ia malah pergi ke kamar dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur sambil mengambil ponselnya yang memang ketinggalan di rumah sejak tadi pagi. Wisnu sibuk dengan benda pipinya itu tanpa menghiraukan rengekan Mira yang ingin mandi.
Mira terus mengoceh, dan Wisnu sedikit jengkel. "Aku baru pulang kerja, bisa tidak jangan ngoceh?!" Wisnu beranjak sambil menuju ke tempat sumur berada. Meski marah lelaki itu tetap menimba air.
Suara air terdengar begitu kasar seakan menandakan bahwa tidak akan keikhlasan dan ketulusan yang dilakukan Wisnu. Mira menangis untuk kesekian kalinya dengan sikap suaminya.
"Itu airnya sudah aku ambilkan, jangan ganggu aku. Aku mau istirahat."
Padahal, hari sudah mulai petang, tak berselang lama Mira selesai mandi, suara adzan terdengar dari musola tempat tinggalnya.
"Maghrib, Mas. salat dulu," ucap Mira.
Tapi suaminya tidak bergeming, lelaki itu malah asik dengan ponselnya. Entah chat dengan siapa, Wisnu terus tersenyum dengan benda pipi itu. Tak lama Mira selesai salat dan melipat mukena, Wisnu kembali memakai jaket dan helm.
"Mau kemana, Mas?" tanya Mira.
"Ke depan, nyamperin anak-anak." Seperti biasa, Wisnu akan pergi jika malam minggu tiba. Sering nongkrong bersama teman-teman yang belum menikah.
Mira tidak melarang suaminya bergaul dengan siapa pun, tapi kalau membuat pemikiran suaminya malah seperti ini Mira jadi keberatan. Orang single mana tahu kehidupan rumah tangga seperti apa?
"Mas, malam ini jangan keluar temani aku di rumah." Perut sudah besar, rasanya ingin sekali Mira dimanja. Ia tak pernah mendapatkan kasih sayang yang tulus, suaminya hanya menginginkannya disaat hasratnya membara.
"Suntuk di rumah juga, palingan tidur," jawab Wisnu cuek. Lelaki itu tetap pergi tanpa menghiraukan Mira.
Wanita dengan perut buncit itu hanya bisa menatap kepergian suaminya, mengintip dari jendela. Tidak seperti awal janjinya. Mira dan Wisnu bertemu di tempat kerja, saling suka terus menjalin hubungan. Tak lama langsung menikah. Tidak tahu seperti apa Wisnu itu, yang di tahunya lelaki itu sangat baik bahkan sering berbelanja kebutuhan dapur meski masih pacaran. Sampai akhirnya, Mira memutuskan mengajak Wisnu menikah karena sepertinya lelaki itu paham, pikir Mira.
Tapi, apa yang diketahuinya tidak seperti apa yang ada dalam benaknya. Wisnu berubah setelah menikah. Bahkan, diawal hari pernikahan, Mira mendapati sebuah kontak bernama Toni yang ternyata nomor kontak itu pemilik aslinya adalah perempuan. Disitulah awal Mira tahu bagaimana karakter suaminya.