I'M Not A Special Character

I'M Not A Special Character

Author:MolenDcn

Hari pertama

Suara riuh-rendah menggantung di langit-langit ruangan, mengisi suasana penuh kesesakan di dalam aula. Hari ini adalah hari upacara penerimaan siswa baru. Gadis itu terasa sangat menikmati hari yang sudah dinantinya beberapa hari terakhir.

Banyak orang bilang, masa SMA adalah masa yang penuh dengan kenangan. Membayangkannya saja sudah membuat dia begitu bersemangat. Memikirkan mendapat teman baru dan bisa merasakan kisah romance yang selama ini hanya bisa dia dengar dari orang lain membuatnya sangat antusias.

Ukiran senyum terus melekat di wajah mungilnya. Memancarkan sosok polos yang mengundang banyak pasang mata. Panggil saja dia Arsiel Charsa. Seorang gadis mungil berkacamata yang terlihat seperti...bocil? Sebut saja seperti itu. Eksistensi polosnya menyiratkan kalau dia gadis yang sedikit kurang update. Sangat lugu dan naif.

"kamu liat dia ga? Cupu banget!"

"Dari kampung kali. Make-up aja ga make."

"Bakal jadi daging empuk kakel ga sih?"

"kalian ga boleh gitu! Kasian kalo dia denger."

Entah sejak kapan dia menerima perlakuan ini. Memang murni dia lupa atau memang dia sengaja untuk berpura-pura awal mula perlakuan padanya berubah. Dia tahu penyebabnya tapi juga tidak tahu penyebabnya. Bukahkah dia terlalu plin-plan pada dirinya sendiri? Semenjak situasi ini berlangsung dari beberapa tahun yang lalu, dia selalu berusaha merajut topeng yang sama hari demi hari. Tahu 'kan apa yang dimaksud?

Suasana hati gembira yang Arsiel siapkan dari jauh hari lambat-laun semakin menurun. Badmood? Arsiel selalu merasakannya setiap hari. Tapi tidak ada satupun yang menyadarinya. Termasuk orang tua dan keluarganya sendiri.

Jauh sebelum upacara penerimaan siswa baru, Arsiel meminta pada ayahnya untuk tinggal terpisah. Dia ingin tinggal di asrama yang disediakan oleh sekolah. Ayahnya merasa tidak keberatan. Mungkin malah dia merasa senang? Ayahnya lega karena tidak perlu mengantar dan menjemputnya. Ditambah lagi dia merasa satu 'beban' di rumah berkurang.

Arsiel tahu kalau ayah dan ibunya tidak pernah akur. Apalagi mereka harus tinggal bersama dengan orang tua dari pihak ayah. Bagi Arsiel, mereka sangat egois. Hanya mementingkan diri sendiri dan selalu mencari kesalahan orang lain. Tidak ada bedanya.

Arsiel tidak merasakan adanya perbedaan antara suasana di sekolah dan di rumah. Walau tidak pernah mendapat kekerasan secara fisik saat di rumah, Arsiel selalu mendapat makian yang tidak bisa dia bantah. Bukan karena makian itu benar, tapi karena dia tahu kalau suasana akan semakin buruk jika dia melakukan itu.

Walaupun di sekolah dia mengecapi kekerasan fisik, tapi entah bagaimana dia merasa lebih baik sekaligus merasa lebih buruk. Mengerti? Dia merasa muak karena tidak bisa mengubah apapun. Merasa benci dengan dirinya sendiri. Mungkin karena itu bukan? Karena itulah dia merasa lebih baik saat dipukuli dan menerima rasa sakit. Sebenarnya dia berterima kasih karena mereka telah menggantikan dirinya.

"Kalian tidak menyukaiku, ya? Ternyata kita tidak menyukai orang yang sama."

Senyum kecut terukir kecil di rautnya. Kerlingannya menangkap berbagai wajah asing yang belum dia temui.

"Aku akan tetap memerankan peran yang sama. Memang seharusnya begitu."

Ditengah riuh-rendah suara obrolan, bunyi mic mengalihkan perhatian mereka pada mimbar besar di utara. Upacara penerimaan akan segera dimulai.

...----------------...

Triiing.....

Upacara penerimaan berakhir dengan sambutan kecil dari kepala sekolah dan beberapa penampilan dari senior. Sempat beberapa kali ruang aula dibuat heboh oleh sorakan-sorakan. Tentu saja Arsiel ikut bersorak, walau dalam hati.

Setelah penampilan yang fantastis dari senior, seluruh siswa baru dipandu ke kelas masing-masing. Setiap kelas akan dipandu oleh satu anggota osis. Mereka dapat melihat daftar di papan pengumuman soal pembagian kelas.

Arsiel bergegas berkumpul dengan beberapa siswa lain saat nama kelasnya dipanggil. Disana dia menangkap beberapa pasang mata yang menatap tidak suka. Tapi Arsiel tidak merasa terusik dengan itu. Untuk hal seperti ini, Arsiel sudah lama terbiasa.

"Hari pertama sebelum masuk ke kelas, kita akan mengelilingi sekolah untuk memperkenalkan lingkungan sekolah dan fasilitas-fasilitas yang ada. Setelah kegiatan ini kalian akan diminta untuk memilih ekstrakulikuler. Ini bersifat wajib!"

Anggota osis yang mendampingi kelas Arsiel berseru dengan suara yang lantang dan berat. Perawakannya tinggi besar. Dibalik lengan bajunya yang pendek, samar-samar terlihat otot yang sedang dibentuk. Tidak besar, tapi itu cukup mengesankan.

Mereka mulai mengelilingi sekolah. Senior memperkenalkan berbagai ruangan yang digunakan untuk ekstrakulikuler. Mulai dari lapangan basket indoor sampai laboratorium yang lumayan lengkap.

Tidak heran SMA ini mempunyai fasilitas yang memadai untuk siswa. Sekolah ini merupakan sekolah terbaik ke tiga nasional. Sayangnya, tingkat kekerasan di sini jauh lebih parah dari sekolah lain. Walaupun tidak sampai ada korban jiwa, tetap saja orang tua akan merasa khawatir jika anaknya masuk ke sekolah seperti ini 'kan?

Setelah pengenalan lingkungan sekolah usai, seniorâ Marchel Volgyâ memandu juniornya ke ruang kelas. Dengan beberapa patah kata dia kemudian pergi meninggalkan kelompok.

"Aah~ selesai juga!"

"Aku capek! Pegel semua."

Ruang kelas mulai dipenuhi suara yang bercampur dan saling menindih. Awalnya Arsiel tidak ingin peduli dengan sekitarnya. Tapi tiba-tiba beberapa teman sekelas datang menghampiri. Tentu saja Arsiel merasa terkejut, tapi dia tidak mungkin menunjukkannya.

Mereka menatap Arsiel lamat-lamat, memperhatikan nama yang menempel di dada kirinya. Arsiel menatap balik, namun dia tetap diam tanpa respon apapun.

"Arsiel Charsa, ya?" Seseorang dari mereka mencondongkan badan ke depan, memangkas jarak antara wajahnya dan Arsiel.

Mungkin dia berniat untuk mengintimidasi Arsiel hari ini. Melihat dari penampilan, Arsiel memang terlihat seperti orang yang mudah di ganggu. Dia menatap dingin mata Arsiel. Tatapan yang lurus dan tegas. Orang biasa mungkin akan merasakan intimidasi darinya.

"Alice Ainsley, ya?" Arsiel menatap nama di dada kiri, kembali menatap wajah orang yang kini berada di depannya.

"Namanya bagus banget!" Arsiel menarik ujung bibirnya, tersenyum manis.

Melihat respon Arsiel yang diluar dugaan tentu saja membuat mereka merasa kesal. Tapi untung saja mereka tidak terlalu bodoh dan pergi meninggalkan Arsiel. Walaupun mereka pergi begitu saja, Arsiel sudah menandai wajah mereka. Hal seperti 'pembalasan' atau 'tantangan' tersembunyi sudah sering dia dapati.

"Pelajaran pertama. Jika ingin membuat orang kesal, jawab pertanyaan dengan pertanyaan." Arsiel bergumam pelan.

Hari pertama masuk SMA Arsiel sudah mendapatkan beberapa musuh tersembunyi. Bukankah itu terdengar seperti kesialan yang selalu mendampinginya?

"Gadis tadi, lumayan menarik." Arsiel menyembunyikan wajahnya dibalik rambut. Mencoba menutupi wajah tanpa topeng yang dia tunjukkan sekarang. Tidak ada niat buruk, hanya saja dia merasakan hal yang sama. Arsiel bermaksud untuk memastikan asal dari ketertarikan yang dia rasakan saat ini.