Yes, My Queen

Yes, My Queen

Author:Angelina Sado

Lady La Peak

Yes, My Queen—seri kedua #Doppelganger karya Dewo Pasiro

 

 

Prolog

Air mata hanya penggambaran secuil dari luasnya lautan—mungkin akan bermuara di lembah yang selalu payau. Pembunuhan adalah hidangan pembuka dan menyimpan rapat kebusukan sebagai hidangan penutup.

Kisah ini hanya senandung lirih dari beberapa dewa yang ada di dalam kisah-kisah tersohor—tetapi bermula ketika dunia kejahatan bergolak hebat dan ingin mencapai puncak kejayaan.

 

 

***

Joe kerap menganggap dirinya tak berguna, terlebih ketika perusahaan milik orang tuanya bangkrut. Alkohol kerap menjadi senjata ampuh untuk kabur dari bayang-bayang masalah rumit yang meneror kepala. Satu bulan, dua bulan, hingga enam bulan ia terkatung-katung tak karuan seperti pemuda hilang harapan—hilang akal tentunya.

Atas rekomendasi Sir. Gilbert, ia menerima pekerjaan sebagai sopir. Walau sedikit gamang, ia mengesampingkan ego dan membuang jauh-jauh yang namanya malu. Tn. Fyland—ramah, dengan senang hati menerima kehadiran lelaki muda tersebut. Joe hanya mendengus tatkala tiba untuk kali pertama di kediaman Tn. Fyland.

Sungguh gila semua hal yang digagas sang ayah—kini ia harus melepaskan diri dari semua idiot yang biasa menemani malam-malamnya dengan minuman keras. Earl idiot berkelas yang turun pamor menjadi sopir—pekerjaan sopir cukup rendah bila ini merunut gelar kebangsawanan. Sama sudah diriku dengan para Baronet, dan sungguh dungu—aku terjebak dengan keluarga menyebalkan dari Fyland. Klaster gembel tak patut bersanding dengan bangsawan—jelas ada jurang pemisah, itu memuakkan, Joe membatin. Aku mau menerima pekerjaan ini asal bisa makan, menyewa film porno, mengikuti pelayaran perdana kapal pesiar terbaru bulan depan—ah itu cukup mustahil. Joe mengerjap.

Ia masih kesal karena tak ada seorang pun yang menelepon—memberi kabar atau bertanya kabar. Baik sang ayah atau ibu hanya sibuk memikirkan bagaimana mereka bisa kembali bangkit dari keterpurukan itu. Mau tak mau Joe yang harus mencari uang demi menyokong perekonomian keluarga. Ia duduk di kursi kayu di depan kamar sopir, membayangkan kejadian-kejadian beberapa waktu silam.

Bisnis adalah hal bodoh dan cukup dikerjakan untuk bersenang-senang saja, ia masih memikirkan kasus terakhir yang menimpa perusahaan sang ayah—ia sebisa mungkin tak mau mengingatnya. Joe semakin tenggelam dalam lamunan yang makin membuat dada sesak. Ia mendesis.

Ini adalah keputusan berat—bila mau makan harus bekerja, tak mungkin ongkang-ongkang kaki bisa dapat uang—walau dirinya masih memutar otak bagaimana cara mendapatkan uang dengan cepat tanpa harus menjadi sopir pribadi. Merampas bank—sungguh indah dunia kejahatan, negeri ini penuh dengan kejahatan, apa baiknya kucoba? Ah, terlalu berisiko—Joe menggeleng.

Lama ia berkecamuk dengan perasaan sendiri, hingga akhirnya Joe beranjak dari tempatnya duduk dan masuk ke dalam kamar sopir. Tidak terlalu luas, hanya ada beberapa perkakas yang tak ada nilai estetiknya sama sekali—ornamen hanya berupa origami berbentuk burung bangau. Sampah! Joe menggerutu.

 

 

***

 

 

Lala—lekuk tubuhnya membuat pria manapun akan tersihir—wanita berambut pirang itu layak disebut ratu kecantikan. Ia menyusuri jalan berlapis teraso, lalu menaiki beberapa undakan menuju beranda. Lengannya yang berkulit mulus membuka pintu dengan anggun, engsel pada kusen berderit. Gadis itu berjalan melanggak-lenggok menuju ruang tamu. “Cepat bawa koperku masuk!” ucap Lala pada sopirnya.

Si sopir yang mengenakan seragam biru tampak tersengal-sengal napasnya. Joe—dia bekerja sebagai sopir pribadi mulai minggu lalu. Kini ia baru saja menjemput majikan muda super songong dari bandara.

“Lama sekali, sih! Cepat, aku mau mengambil kotak makeup-ku.” Lala menjatuhkan bokongnya di sofa.

“Sebentar, Mbak.” Joe membungkuk dan meletakkan koper.

“Hei, You! Call me Lady! Agar lebih terdengar elegan!” ia melotot sambil membentak. Perangai gadis itu benar-benar menyebalkan. Tubuhnya ia condongkan ke depan dan bercekak pinggang. Gundukan di dadanya membuat si sopir mematung beberapa saat.

Joe mengerjap “Yes, My Lady! Lady La Peak!” sahut Joe gelagapan.

“What!? Pardon! Pe ... peak? Maksudmu ... pendek akal?” Lala bangkit dari duduk. Dasar sopir sialan! Jaga bicaramu, ya!”

Joe hanya memandangi wajah Lala yang marah-marah. Dia tidak menyangka akan punya majikan yang sangat menyebalkan. Gaya bicara gadis itu benar-benar seperti makhluk luar angkasa. Jaga bicara? Kau saja tidak bisa menjaga bicaramu yang keras dan kasar, Joe membatin. Semoga saja dia betah bekerja disini. Meski wanita jadi-jadian tadi akan selalu menyusahkan dirinya.

Pasti hari-hari yang akan Joe lalui jadi sangat berat. Ia harus sabar, banyak-banyak menarik napas, usus harus panjang kalau menghadapi majikan songong seperti Lala. Rasanya ingin memasukkan gadis itu ke dalam karung lalu melemparnya ke laut. Wanita iblis itu harus ditenggelamkan, biar jadi santapan ikan. Kalau bisa biar dimakan Megalodon, kalau masih ada—mungkin bisa yang lebih keren. Disantap Kraken. Rahang Joe terlihat mengeras, ia menahan emosi yang telah memuncak hingga ubun-ubun.

“Saya benar-benar ingin melempar Anda ke laut!” Joe mendesis.

“Apa kau bilang tadi?” Lala ternyata dengar. Ia mendekat ke hadapan Joe.

“Tidak. Spongebob ... ya Spongebob si kuning sangat lucu.” Joe jadi salah tingkah.

“Hoo....?? Benarkah?” Lala memicingkan mata penuh selidik.

“Yes! Yes, My Lady!”

“Ada apa dengan Spongebob?” Lala tampak semakin penasaran.

“Mereka hidup di laut, tapi bisa menyalakan api,” sahut Joe asal.

“Sudah! Sana parkir mobilnya.” Lala memalingkan wajah.

***

 

Di suatu bangunan.

Anak tangga yang terbuat dari kayu mulai berderak tatkala kaki gempal berlari menaikinya. Tangga itu menuju ke lantai dua di motel tersebut. Si pria gemuk tergopoh-gopoh dan terus berlari sekuat tenaga sambil berteriak-teriak. Ia sempat terpeleset dan hampir terguling di anak tangga.

“Madam!!! Madam Sophie!! Dia datang! Iblis itu telah datang!” teriak pria gendut, tubuhnya berguncang tatkala berlari menaiki anak tangga, pipinya yang penuh timbunan lemak tampak kemerahan.

Tak ada suara yang menyahut, sampailah si gendut itu di ruangan yang tidak terlalu luas. Pria itu berusaha mengatur napas yang memburu, pundaknya turun-naik. Wajahnya penuh keringat dan memancarkan rasa takut.

Di depan pria itu ada sofa mewah dan tampaklah seorang wanita gemuk yang mengenakan mantel tebal dan perhiasan mencolok. Wanita itu seperti berumur lima puluh tahunan ke atas. Rambutnya dipotong pendek bak pria. Timbunan lemaknya hampir sama dengan pria gemuk yang berlari menghampiri—leher bergelambir.

Wanita paruh baya tersebut tengah mengisap cerutu sambil memegang gelas di tangan kiri. Sepertinya ia sedang bersantai menikmati suara hujan sambil meminum wine dan ditemani oleh tembakau kesukaannya. Asap putih keluar dari mulutnya seperti semburan air. Ia lalu menaruh gelas di meja kecil yang ada di samping kirinya.

“Ada apa? Siapa yang datang?”

“Iblis itu! Wanita ****** itu kemari!” ucap sang pria dengan suara parau.

 

 

To Be Continued....

 

 

 

 

Pengenalan Karakter:

Carla Fyland: Anak dari saudagar kaya di London, tepatnya putri tunggal dari pemilik Mustark Fragnant Company, perusahaan wine terbesar milik Mark Fyland.

Joe: Pemuda yang menjadi sopir pribadi di keluarga Fyland. Dahulu Joe juga anak orang kaya, tetapi perusahaan milik keluarganya bangkrut.

Mark Fyland: Ayah kandung Lala. Mark Fyland selalu sibuk dengan pekerjaanya. Bahkan ia sangat jarang berada di rumah.

Mrs. Fyland/ Mrs. Angelina: Ibu kandung Lala. Seorang istri dan ibu yang sangat lembut dan baik hati. Ia termasuk orang yang penyabar.

Inspektur Fredie: Salah satu polisi di London. Ia dulu bekerja di divisi narkoba, kemudian sekarang fokus pada divisi pembunuhan.

Ray: Detektif muda dari Asia yang ditugaskan untuk membantu Inspektur Fredie dalam menangani kasus kejahatan di London. Ray merupakan salah satu detektif cerdas yang diasuh oleh Mockingbird.