Doppelganger: Petualangan Detektif Frans

Doppelganger: Petualangan Detektif Frans

Author:Angelina Sado

Verdwijnen

Kupersembahkan karya ini untuk pejuang kebenaran. Dalam bayanganmu aku hidup, dengan jiwa gelap yang kumiliki aku akan abadi. Kutulis kisah hebat ini untuk mengenangmu. Selamat jalan, Jonas!

***

 

 

“Yuliaa....”

Itulah bisikkan yang selalu terdengar setiap malam. Di dalam kamarku, siapa yang membisikkan, tidak tahu ada siapa saat tidur selain diriku. Ketika tidur, lampu kamar selalu kumatikan. Hanya cahaya remang-remang dari jalanan yang masuk melalui lubang ventilasi dan kaca jendela—walau memiliki gorden tetapi kain gorden cukup tipis. Ayah? Ibu? Risa? Tidak mungkin mereka menggangguku larut malam bahkan dini hari. Mataku benar-benar tak bisa terpejam lagi, sepertinya aku akan terjaga sampai pagi seperti malam-malam sebelumnya.

Hal serupa selalu menggangguku, selama satu bulan lebih tidurku benar-benar kacau. Setiap dini hari, selalu ada yang mengganggu. Suara-suara bisikkan di dalam kamar menembus gelapnya ruangan yang minim cahaya. Kepalaku sering merasa pusing, karena jam tidur selalu kurang. Ada yang ganjil di dalam kamar. Penguntit? Apakah mungkin makhluk halus yang bersembunyi di bawah ranjang? Kenapa membisikkan namaku dengan nada menyeramkan.

Apakah rumah ini menyimpan misteri? Risa—adikku, memilih kamar di lantai paling bawah. Apakah dia juga mengalami hal yang sama denganku? Aku mencoba tenang dan tidur lagi. Namun ternyata rasa kantuk benar-benar telah hilang. Tiba-tiba saja sudah pagi, matahari mulai menyinari bumi.

Saat sarapan bersama keluarga, aku menanyakan kepada Risa apakah dia mengerjaiku setiap malam. Ternyata Risa berkata bahwa dia tidak pernah menjahili diriku. Terlebih dini hari, kurasa memang bukan dia. Ayah dan ibu juga tidak mungkin melakukan hal bodoh seperti itu.

Malam ini aku tidur lagi tanpa menyalakan lampu. Mencoba menepis semua pikiran negatif yang mengganggu. Malam semakin larut, detik demi detik berlalu menuju tengah malam. Benar saja, suara aneh itu muncul lagi. Kali ini bisikkan sedikit tidak jelas. Aku mencoba mencari tahu. Dengan keberanian yang dipaksakan, aku beranjak turun dari ranjang. Berjalan menuju dekat pintu. Mencoba meraih sakelar untuk menyalakan lampu. Sayang sekali, meski sakelar sudah kutekan berkali-kali, lampu tidak mau menyala. Suasana amat sangat gelap, aku mencoba memicingkan mata untuk melihat jam dinding. Dengan bantuan sedikit cahaya dari luar. Akhirnya jarum jam bisa terlihat, tepat pukul 01.00 dini hari. Astaga, sudah jam segini dan aku belum terlelap. Apa aku harus terjaga lagi sampai mentari muncul?

Aku menuju ke ranjang dengan langkah gontai. Menjatuhkan diri ke kasur lalu menguap sambil bersandar pada bantal yang kutumpuk menjadi tinggi. Pikiran-pikiran tidak menentu memenuhi kepala. Siapa yang berbisik seperti itu? Apakah malaikat maut? Tidak mungkin, mungkin aku hanya kelelahan.

“Yulia.... Kau akan mati.”

Tiba-tiba terdengar suara mendesis menyebut namaku. Aku langsung terperanjat, bulu romanku berdiri. “Siapa itu? Tunjukkan dirimu!”

Hening, tak ada jawaban. Aku bergidik—siapa yang memanggil barusan. Suaranya samar tetapi aku mulai menyadari sesuatu. Sepertinya suara itu mirip dengan suaraku. Anehnya dia berbicara dengan suara mendesis. Apa otakku sedang bermasalah? Ah, entahlah, aku ingin bisa tidur lagi—kembali menarik selimut kemudian merebahkan tubuh. Mencoba mengusir semua pikiran-pikiran negatif yang mengganggu. Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan dengan perlahan. Saat aku membuang napas panjang, tiba-tiba sekelebat bayangan hitam melintas dari samping lemari pakaian lalu menembus tembok. Aku terperangah saking kagetnya tanpa sadar memekik sangat keras.

“Siapa kau!? Jangan menggangguku!”

Sama seperti sebelumnya, tidak ada jawaban sama sekali. Mungkin aku benar-benar harus istirahat, ini hanya kelelahan, pikirku. Namun hal mengejutkan terjadi lagi. Pintu lemari pakaian tiba-tiba menganga tanpa ada yang membuka. Terlihat bayangan hitam di dalam lemari yang menghadap ke ranjang. Aku menatap dengan perasaan ngeri dan dengan bantuan sedikit cahaya dari luar. Akhirnya bayangan tersebut bisa terlihat. Betapa terkejut diriku saat menatap bayangan hitam tersebut. Ternyata dia adalah.... tiba-tiba dia memelesat ke arahku dan mencekik leherku. Aku teriak dan meronta-ronta sekuat tenaga. Aku akan mati, pikiran ini kalut dengan hal-hal mengerikan. Dia adalah diriku sendiri, wajahnya begitu mirip denganku.... Yulia-Dear Diary (Tercatat)

***

 

Ruang kerja selalu remang-remang, aroma kasturi merebak di setiap sudut. Frans selalu duduk di dekat jendela yang berhiaskan mawar palsu buatan adik perempuannya. Jendela tersebut satu-satunya tempat kesukaan Frans ketika melamun. Ruangan tidak terlalu besar dan berada di lantai dua—terdapat rak buku raksasa yang penuh dengan berbagai macam buku serta dokumen-dokumen kasus yang telah ia tangani. Kebanyakan buku-buku filsafat yang ketika membacanya membuat bingung bahkan setelah selesai membaca juga semakin bingung, terkadang tak rampung, juga ada novel-novel klasik karya Jane Austen, Edgar Allan Poe, George Orwell, serta karya Erneset Hemingway, tidak banyak buku baru dan kebanyakan dokumen-dokumen lawas. Sisanya buku-buku kejahatan dan membahas kesadisan serta misteri.

Suasana masih sangat pagi, seperti biasa, Frans selalu tak menjawab ketika aku memanggilnya, dia hanya mengangkat tangan dan mengacungkan jempol. Frans selalu begitu sejak pertama kali aku bertemu dengan dirinya.  Namaku Helena, adik tingkatnya sewaktu kuliah dan sama-sama mengambil jurusan hukum, kala itu Frans belum separah ini. Sekarang sifatnya semakin menjadi, dia suka mengumpulkan kerikil di jalanan. Setiap kali melihat kerikil kecil yang bentuknya pipih, dia selalu mengambilnya lalu memasukkan ke saku. Sesampai di kamar, ia akan meletakkan kerikil tersebut di sudut selatan kamar dan menyusunnya menjadi tumpukkan yang kian menggunung.

Frans Sina—tidak suka tempat gelap, tapi dia memaksakan diri menggunakan lampu yang tidak terlalu terang. Terkesan seperti tempat mesum dengan cahaya yang sangat minim. Sejujurnya dia memiliki fobia terhadap tempat gelap dan sempit. Nyctophobia dia derita sejak usia kecil, dia sangat takut dengan kegelapan. Menurut cerita dari adiknya Frans yang bernama Frida Afanin, sang kakak pernah menangis sangat keras saat masih berusia 8 tahun sampai tenggorokan terluka. Ketika itu masih pukul 7 malam, tiba-tiba mati listrik, karena takut gelap, dia menangis histeris.

Tidak hanya itu, dia juga menderita Claustrophobia, ketakutan terhadap ruangan yang sempit. Dia pernah terjebak di dalam lemari ketika bermain petak umpet dengan teman-temannya sewaktu masih kecil. Ketika bersembunyi di dalam lemari yang berada di kamar sang kakek, tiba-tiba sang kakek mengunci pintu lemari tersebut karena akan pergi ke acara pernikahan tetangga. Si kakek tidak menyadari bahwa di dalam lemari ada cucunya yang sedang bersembunyi. Saat Frans mencoba membuka pintu lemari, dia bingung dan panik. Dia menangis sangat keras seperti melihat hantu. Teman-teman kecilnya berkumpul di kamar sang kakek, kemudian membuka pintu lemari. Frans ternyata sudah pingsan dan lemas. Dasar, Frans! Rupanya dia sangat cengeng dan penakut.

Aku duduk di sofa yang berwarna biru, tumpukan surat kabar memenuhi permukaan sofa. Sudah menjadi kebiasaan Frans jika telah selesai membaca maka ia akan melempar koran-koran itu ke sembarang tempat. Aku mengambil satu koran di lantai, lalu membolak-balik halaman koran sambil sesekali memperhatikan Frans yang masih melamun. Aku terkejut dengan berita utama koran yang sedang kupegang. Ternyata koran dari dua bulan lalu, ketika Frans menghilang dari rumahnya. Tajuk berita tersebut tertulis, ‘Detektif Frans Berhasil Melumpuhkan Komplotan ******* yang Diduga Berencana Membunuh Presiden’.

Dengan saksama aku membaca berita tersebut. Frans tidak pernah menceritakan tentang kasus tersebut kepadaku. Aku melangkah mendekatinya yang sedang melamun, dia tetap tak bergeming. Aku mengambil sebuah buku yang cukup tebal dari meja, kupukul kepalanya dengan buku tersebut. Alhasil dia bergerak sambil mengaduh lalu memegangi kepala.

Frans meringis. “Apa-apaan kau ini? Dasar bar-bar!”

“Dasar tukang melamun! Ternyata kau diculik dua bulan yang lalu?” aku menatapnya lekat-lekat setengah melotot, buku tebal tadi kuletakkan lagi di atas meja.

“Begitulah.”

“Tidak mengabariku sama sekali? Di Kalimantan seperti orang gembel?”

“Memang aku gembel.” Frans menyahut dengan santai.

“Tentu, kau gembel paling gembel dari semua gembel yang ada di dunia gembel!” nada bicaraku naik.

“Semacam kode?” Frans menautkan kedua alis.

“Bukan! Itu syair dari malaikat maut! Dasar gembel.”

“Aku gembel elite.”

Selalu saja perdebatan tidak penting kami lakukan, begitulah kami jika sedang bersama. Seperti kucing dan tikus yang selalu saja tidak akur. Namun ketika menangani kasus bersama—kami seperti memiliki ikatan tersendiri, ikatan yang begitu kuat. Meski terkadang kami tidak sepemikiran dan lebih sering berdebat.

Akan aku paksa dia untuk menceritakan semua kisahnya ketika dia diculik. Telepon umum atau meminjam telepon polisi juga bisa, kenapa dia tidak menghubungi adiknya atau menghubungi diriku. Dasar gembel yang selalu ceroboh. Frans beranjak dari dekat jendela dan menuju sofa. Aku mengikuti sambil mengumpat dan terus memaksa dia untuk menceritakan semua yang telah dialami dirinya.

“Apa yang akan kau lakukan? Semua sudah terjadi dan telah aku selesaikan sendiri," Frans duduk sambil memainkan rambutnya.

“Setidaknya ceritakan apa saja yang telah kau alami. Kau melawan komplotan ******* yang bersenjata api. Jika otakmu meledak karena tertembak, bagaimana nasib adikmu nanti? Pikirkan juga keluargamu, dasar ceroboh!”

“Kau yang rawat.” Ia menyahut tanpa ekspresi.

“Seenaknya menjawab, aku serius!”

“Aku sedang bersantai,” Frans mengupil sambil sesekali menguap.

“Kuharap kau benar-benar tertembak saja dua bulan lalu.” Tanganku bercekak pinggang dan masih berdiri diselimuti kekesalan di depan Frans.

“Kemudian?”

“Mati.” Kataku sinis.

“Aku akan mengahantuimu.” Frans membuat kotoran hidungnya berbentuk bulat-bulat dengan jempol dan telunjuk, memilin beberapa saat lalu menyentil upil itu ke arahku. “Dor!”

“Berengsek! Jorok sekali, ah!” aku mengumpat—nyaris saja tanganku melayang dan menamparnya.

Terus saja kupaksa agar ia mau bercerita, setelah berbagai rayuan, dan usaha yang cukup melelahkan. Akhirnya Frans mau menceritakan apa saja yang dia alami. Aku terkejut mendengar ceritanya, dia bertarung sendirian melawan komplotan ******* di dalam kapal. Dengan usaha yang kupikir sangat mustahil bagiku untuk melakukan itu sendiri. Dia berhasil menyelamatkan presiden dari marabahaya yang mengintai. Hanya satu yang terngiang di dalam kepala, mengapa aku baru mengetahui berita besar seperti ini. Terlebih ini menyangkut nyawa presiden.

“Kenapa presiden tidak memanggilmu ke istana?” Aku duduk di sofa tunggal di depan Frans dan terpisah meja kecil.

“Untuk makan bersama? Aku tidak semiskin itu.”

“Memberikanmu penghargaan, dasar *****. Emas, lencana, uang atau jabatan.”

Frans melenguh. “Aku tidak butuh hal seperti itu.”

“Kenapa beritanya tidak heboh? Hanya terpampang di surat kabar saja? Satu lagi, untuk apa presiden naik kapal, mengapa tak menggunakan pesawat saja, aneh.”

“Aku yang meminta presiden untuk tidak memberi tanggapan yang berlebih kepada wartawan, apalagi wartawan televisi. Suka-suka beliau, lagi pula mau naik unta juga tak masalah.”

Aku memonyongkan bibir. “Dasar, kau ini.”

Frans hanya tinggal dengan adik perempuannya. Orang tuanya asli Jogja, tapi sang ayah sudah meninggal setahun yang lalu. Dan sang ibu masih sehat dan di Jogja. Frans memutuskan ke Jakarta karena Frida diterima di Universitas Negeri Jakarta. Guna mengurus keperluan si adik tersebut, Frans membeli rumah yang tidak terlalu besar, tetapi memiliki dua lantai. Dahulu, sang ayah adalah seorang makelar tanah yang sukses. Banyak tanah yang dimiliki di Jogja.

Ketika sedang serius membahas penculikan yang menimpa Frans. Tiba-tiba pintu kamar ada yang mengetuk, aku beranjak dari sofa lalu membukakan pintu. Rupanya Frida, dia datang bersama seorang ibu yang menggunakan baju sedikit lusuh. Kota besar seperti Jakarta memang tidak semuanya orang kaya, aku mempersilakan mereka masuk. Ibu tersebut duduk di sofa berhadapan dengan Frans. Kemudian Frida meninggalkan ruangan, sepertinya menuju dapur untuk membuatkan minuman.

Aku mengamati tamu yang baru datang itu, mungkinkah dia tertimpa masalah yang begitu rumit. Lututnya saling bersentuhan, tangan kiri mengusap cincin di jari manis tangan kanan. Wajahnya seperti kebingungan dan terlihat sangat lelah. Frans justru merebahkan diri ke sofa yang panjang. Dasar kera bodoh, kupikir dia akan menerima tamunya dengan baik.

“Sopanlah sedikit,” aku mendekat ke arah Frans lalu menjitak kepalanya.

“Aduh! Berisik kau, Helena!”

“Maafkan kelakuan Frans, dia memang suka seenaknya,” ucapku memasang wajah malu.

“Tidak masalah, Nona,” jawab tamu kami dengan suara lembut.

Frans memasukkan jari telunjuknya ke lubang hidung. Dia kembali mengorek hidung dengan ekspresi wajah mirip kera bodoh yang sedang kekenyangan. Aku menarik kerah bajunya agar dia bangun dari tidur-tiduran di sofa. Akhirnya dia duduk menatap tamu, aku menempatkan diri di samping Frans.

“Sepertinya Anda sedang kehilangan sesuatu, benarkah?” kata Frans sambil membetulkan kerah bajunya.

“Iya, Tuan. Anda benar. Ba ... bagaimana Anda bisa tahu?”

“Dari sorot mata. Anda tampak sedang gelisah dan enggan melakukan kontak mata dengan saya. Meski menatap, tapi hanya sebentar.”

“Maafkan saya, Tuan. Bukan maksud saya tidak menghargai Anda. Saya ... saya memang sedang gelisah.” Wanita itu tampak gamang, suaranya bergetar.

“Tak perlu dirisaukan. Anda sedang kehilangan apa?”

“Anak saya menghilang dari rumah, sejak dua bulan lalu, saya tidak bisa menemukannya. Kepolisian juga tidak bisa memberikan saya kepastian tentang keberadaan anak saya.”

Frans mulai tertarik dengan pembicaraan tersebut, ia sedikit mencondongkan badan. “Kenapa tidak menunggu lebih lama hinga mereka menemukan petunjuk tentang putra Anda?”

“Saya rasa sudah terlalu lama, maka dari itu saya memutuskan untuk menemui Anda.”

“Simpan saja cincin Ibu, saya tidak akan meminta bayaran.”

“Hah!?” tamu wanita itu mendelik dan mulut menganga, “Ah, benar!” ia mengatupkan bibir dan mencoba mengatur napas. Kembali ia berucap, “Anda sungguh hebat! Lagi-lagi Anda bisa tahu jika saya bermaksud menggunakan cincin ini untuk membayar Anda?”

Frans tergelak sebentar. “Jangan dipikirkan, saya sudah memperhatikan tingkah Anda semenjak masuk ke ruangan ini.”

“Hebat sekali, Tuan. Saya benar-benar berharap Tuan dapat membantu saya untuk menemukan anak saya.”

“Hmm ... dua bulan yang lalu, tepat berasamaan dengan penculikanku.” Frans mengelus dagu, “Siapa nama putra Anda? Bisa jelaskan ciri-cirinya?”

“Namanya Eno, dia masih kelas empat sekolah dasar. Berbadan kurus dengan perangai cukup ceria meski terkadang tampak murung, hidung pesek, ia berambut ikal. Dia memiliki kulit sawo matang seperti kulit saya. Dia memiliki kekurangan sejak lahir, kaki sebelah kiri pincang. Dia sering dihina dan ditindas oleh teman-teman sebayanya.”

“Di mana kalian tinggal?”

“Kami tinggal di Jalan Bungur, Kelurahan Bungur, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Kampung yang terbilang kumuh meski berada di pusat kota seperti ini. Saya tinggal bersama suami dan anak. Suami saya sering sakit-sakitan sejak dua tahun terakhir, pekerjaan lebih banyak saya yang melakukan. Guna menyambung hidup, saya harus buruh mencuci pakaian. Hutang kepada tetangga juga sudah banyak.”

Frans mengangguk menyimak cerita yang sedang disampaikan Hartanti. Aku juga memperhatikan dengan saksama. Kasus kehilangan anak seringkali terjadi di kota besar. Aku mengerti perasaan ibu ini. Anaknya hilang, tidak heran jika pagi-pagi begini dia datang bertamu ke tempat Frans. Pintu kamar tidak aku kunci, Frida datang membawa nampan berisi tiga gelas air minum. Dia meletakkannya dia atas meja kecil di depan sofa, lalu keluar meninggalkan kami. Suasana kembali serius, sang tamu kembali melanjutkan ceritanya.

“Maafkan saya, karena belum memperkenalkan diri.” Ia tampak malu dan wajahnya memerah seperti delima. Wanita itu mengusap kening dan kembali mengatur napas. “Hal yang sangat tidak sopan, seorang tamu sudah bercerita panjang lebar tanpa memperkenalkan diri.” Imbuhnya.

“Santailah. Anggap saja bukan rumah sendiri,” sahut Frans dengan muka bodohnya.

Aku seketika sinis menatap Frans. “Tenang saja, Bu. Frans juga tidak sopan. Lihatlah, seenaknya menjawab,” celetukku.

“Memang ini bukan rumahnya. Betul, kan?” Frans memasang wajah menyebalkan dengan menaikkan alis sebelah kanan menatap sang tamu.

“Terserah kau saja!” ucapku.

“Kalian sangat akrab sekali,” ucap tamu kami. “Baiklah, nama saya Hartanti, saya asli orang Tegal. Kami merantau ke Jakarta tahun 2006. Suami saya dulu bekerja di sebuah perusahaan yang lumayan besar. Namun, tubuhnya terserang penyakit, dia sudah tidak sanggup lagi mencari nafkah dengan kondisi tubuh yang renta. Itulah awal kehidupan keras yang kami jalani. Uang untuk berobat sudah habis, sekarang dia hanya bisa terbaring di ranjang. Kebutuhan semakin banyak dan harga bahan makanan pokok yang kian membubung. Belum lagi untuk membiayai sekolah anak kami—kini justru ia menghilang tanpa jejak seperti lenyap begitu saja tersapu angin.”

“Bagaimana kronologi menghilangnya anak Anda?” Frans memasang wajah santai tapi tampak serius.

“Pagi itu saya berada di dapur seperti biasa, untuk menyiapkan sarapan. Setelah itu saya merasa mual. Karena tak sanggup menahan, maka saya lari ke kamar mandi. Saya muntah-muntah dan setelah kembali ke dapur, Eno masih belum keluar dari kamar. Padahal waktu sudah sangat siang, dia akan terlambat ke sekolah. Saya memutuskan untuk melihat kamarnya, tapi hal tak terduga yang saya dapati. Kamar anak saya kosong dan amburadul. Padahal sehari sebelumnya saya sudah merapikan kamarnya."

“Baiklah, saya mengerti permasalahan Anda. Sepertinya kesehatan Anda juga mulai menurun. Lebih baik bila Anda pergi ke dokter, jika tidak mempunyai biaya untuk berobat saya akan memberikan sejumlah uang. Hanya sekadar untuk ongkos jalan dan biaya kontrol saja.” Frans merogoh saku untuk mengeluarkan dompet kulit berwarna coklat kemerahan.

Hartanti tampak kaget. “Tidak perlu, Tuan. Terima kasih banyak atas tawarannya. Saya sudah sangat beruntung bisa bertemu Anda, kabar yang berembus—Anda adalah orang yang cukup berpengalaman dalam memecahkan masalah seperti ini—saya kerap mendengar nama Anda sering dibicarakan para tetangga saya.”

“Saya memaksa. Terimalah.”

Salah satu hal yang aku sukai dari Frans adalah hati baiknya, saat dia berniat menolong seseorang, dia akan memaksa orang tersebut meski ditolak. Bukan hanya itu, dia tahu apa yang dilakukannya. Dibalik semua itu, dia melihat ada hal yang bisa membantu dirinya untuk memecahkan sesuatu. Setelah berdebat dengan sangat alot dengan sang tamu, akhirnya sang tamu mau menerima uang yang diberikan Frans.

“Baiklah. Setelah ini, Anda pergi ke dokter terlebih dahulu. Nanti sore, pukul 15.30 saya akan datang ke rumah Anda.”

“Baik, Tuan. Sekali lagi terima kasih banyak. Begini, kondisi kamar anak saya masih seperti saat pertama kali saya masuk. Belum ada barang yang saya ubah posisinya. Silakan datang nanti sore, saya akan menunggu kedatangan Anda.”

Hartanti pamit meninggalkan rumah Frans. Frans lalu menuju kamar mandi. Aku masih memperhatikan tamu yang baru saja pergi. Dia berjalan menuju jalan raya menunggu angkutan umum. Sepertinya dia mengikuti saran yang diberikan Frans, untuk memeriksakan kesehatannya. Wanita itu tampak celingukan, ia berdiri cukup lama untuk menunggu angkutan umu, aku mengambil kursi kayu yang berukuran sedang, kemudian selama sekitar dua menit aku terus memandangi tamu tersebut. Namun saat aku fokus memandangi Hartanti dari jendela kamar Frans, sebuah mobil jeep berhenti di hadapannya. Dua orang menggunakan topi hitam dan masker keluar dari mobil lalu menghampiri Bu Hartanti. Kedua orang tersebut membekapnya dari belakang lalu memasukkan Hartanti ke dalam mobil.

Dia diculik! Apa maksudnya ini? Siapa mereka? Apakah ini kasus rumit? Aku sendiri belum tahu mengapa Eno hilang, apakah penculikan atau sang anak kabur dari rumah? Semoga saja bocah itu tidak bernasib buruk, aku tak tahu bila mungkin ia diculik oleh penculik yang suka mengambil jeroan manusia untuk dijual di pasar gelap. Ah, aku tidak mau berpikiran negatif, lebih baik aku selidiki terlebih dahulu bersama Frans. Namun, ada yang lebih penting, kenapa mereka juga membawa ibunya Eno?