Psikiater Is My Dream

Psikiater Is My Dream

Author:Fitri Kim

Pengenalan keluarga Rani

Jam menunjukkan 05.15 pagi. Di pagi buta ini, Rani sedang menyiapkan peralatan sekolahnya dan membereskan rumah. Rani memang anak yang rajin. Dia selalu bangun subuh, sholat, membereskan rumah, menyiapkan peralatan sekolahnya dan berangkat jam 6 pagi. Sementara bapaknya selalu bangun siang karena kerjanya memang siang. Sedangkan ibunya selalu bangun jam setengah enam pagi. Jadi yang memasak tiap pagi Rani, bukan ibunya.

"Akhirnya semua udah beres. Sarapan, peralatan sekolah semuanya udah siap. Tinggal nunggu ibu dan dik Reno bangun. Kalo bapak bangunnya siang," ujar Rani. Dia memang suka bicara sendiri saat pagi buta, saat semua keluarganya masih tidur.

Tiba tiba dia mendengar bunyi piano dari kamar adiknya. Suaranya sangat lembut, membuat hatinya tenang. Rani langsung ke ke kamar adiknya, Reno. Ya, benar saja. Ada Reno di situ. Reno sangat berbakat memainkan piano. Itu karena ibunya mantan pianis, dan ibunya sering mengajarkan Reno main piano. Sekarang ibunya berhenti jadi pianis dan fokus mengurus rumah tangga.

Tapi anehnya bakat seni dari ibunya hanya menurun ke Reno, tidak menurun pada dirinya. Rani lebih berbakat dalam bidang matematika dan sains. Sebenarnya Rani ingin bisa main piano, tapi hatinya tidak ke situ. Karena itulah dia cepat bosan dan berhenti belajar piano.

Reno anak yang baik, suka tersenyum, bisa main piano, tapi sayang dia memiliki kekurangan. Orang orang biasa menyebutnya "autisme". Karena itulah Rani ingin menjadi psikiater. Ia ingin menyembuhkan Reno dan anak lain yang menderita kelainan/gangguan jiwa. Sebenarnya Reno sudah sering dibawa ke psikiater, tapi belum ada yang bisa menyembuhkan Reno.

Sebenarnya Rani merasa kalau dirinya lah yang membuat Reno seperti itu. Karena dulu dia sering memarahi adiknya saat SD. Bukan tanpa alasan dia memarahi adiknya. Sebenarnya Rani kesal dirinya dibully waktu SD, jadi dia melampiaskan kemarahannya pada adiknya. Tapi itu bukan sepenuhnya salah Rani. Karena sebenarnya adiknya itu telah menunjukkan gejala autis sejak balita jadi bukan salah Rani adiknya seperti itu. Bapak dan Mbahnya pun juga sama, dulu sering memarahi Reno. Tapi tetap saja Rani menyalahkan dirinya.

"Reno..." sapa Rani.

Reno berhenti memainkan pianonya. "A... Apa kak?" Tanya Reno. Dia memang selalu seperti itu, terbata bata.

"Makan dulu yuk, kakak udah siapin sarapan yang enak buat kamu. Sambil nungguin ibu. Yuk," ajak Rani.

"I... iya kak,"

Lalu mereka berdua menuju ke ruang makan. Rani kaget melihat ibunya keluar dari kamar. "Lho, ibu udah bangun?" Tanya Rani.

"Udah nih. Baru aja bangun. Reno juga udah bangun?"

"Iya, udah nih." Ujar Rani.

"Kamu udah siapin sarapan kan, Ran kaya biasanya?"

"Udah dong, bu,"

"Bagus. Sana kamu makan dulu, biar ibu dan Reno mandi dulu,"

"Entar aja, bu mandinya. Makan aja dulu. Aku pengen sama Reno. Kalian kan mandinya lama, aku keburu berangkat sekolah,"

"Kenapa sih? Kangen sama Reno? Padahal setiap hari ketemu," ibu sedikit heran.

"A... Ayo, bu. A... Aku ju... juga... juga..." Reno tidak meneruskan kalimatnya.

"Juga apa? Juga kangen sama kakak?" Tanya Rani. Reno pun mengangguk.

"Ya udah, ayo kita makan bertiga. Reno ibu suapin ya,"

Mereka bertiga duduk di meja makan. Mereka menikmati makanan yang dimasak Rani.

"Bu, Ayah belum bangun ya?"

"Iya, belum. Kan dia kerjanya siang, Ran. Biasanya juga begitu,"

"Tapi hari ini beda. Ayah kan harus kondangan hari ini, bu,"

"Oh iya, ibu lupa. Tunggu aja, sebentar lagi,"

"Ibu gak ikut kondangan?"

"Nggak lah. Kan ibu harus nganterin Reno ke sekolah piano,"

"Nganterin kan cuma sebentar, bu,"

"Nggak, ah. Ibu mau nemenin Reno di sekolah aja. Takutnya kalo ditinggal, terjadi lagi hal hal seperti dulu, dinakalin temennya. Ibu gak mau ambil resiko ninggalin Reno di sekolah. Toh, gurunya juga mengizinkan ibu menemani Reno, karena paham keadaan paham seperti itu,"

"Oh, begitu. Ya sudah,"

"Rani, jika nanti ibu dan bapak meninggal, kamu harus jaga Reno baik baik ya, Ran. Cuma kamu yang bisa ibu andelin buat jaga Reno. Keluarga lain tidak ada yang peduli dengan Reno. Bahkan mbahmu pun juga tidak peduli,"

"Tanpa ibu minta, udah pasti aku bakal jaga Reno. Tapi ibu gak usahlah ngomongin soal kematian. Aku jadi takut,"

"Maafkan ibu. Ibu cuma khawatir sama keadaan Reno. Tidak ada yang peduli dengannya kecuali kamu, ibu, bapak dan gurunya,"

Ya, memang tidak ada yang peduli dengan Reno. Keluarga besar pun sering menghina kelainan yang dimiliki Reno. Bahkan tantenya pernah bilang, "untung kamu gak kaya adikmu yang cacat. Eh, tapi dulu kamu pernah seperti adikmu, waktu kelas 1 SD. Tapi untungnya kamu sering main sama sepupu sepupumu jadi gak berlangsung hingga dewasa," hatinya sakit mendengar perkataan itu. Tapi wajar saja, tantenya kan gak pernah ngerasain dibully dan gak ngerasain yang Rani dan adiknya rasakan. Jadi wajar dia berkata seperti itu.

Yang dikatakan tantenya memang benar, Rani pernah mirip seperti adiknya waktu kelas 1 dan 2 SD dulu. Tapi bedanya, Rani menunjukkan perilakunya hanya di sekolah. Sementara di rumah, ceria seperti biasa. Lalu di kelas tiga, Rani bertemu dengan wali kelas yang sangat baik. Dia mengajari Rani untuk maju ke depan kelas, mengajari Rani agar bicara, dll. Dan di kelas tiga Rani juga punya teman yang baik dan akrab dengannya. Tapi sayang, guru itu tidak mengajar lagi di kelas empat dan temannya juga dipindahkan ke kelas lain. Sehingga saat kelas empat, Rani kembali menjadi pendiam tapi tidak separah dulu. Dan saat kelas empat, teman temannya membully Rani karena Rani pendiam. Mentalnya terguncang, karena itulah dia sering memarahi adiknya di rumah. Setelah masuk SMP, dia tidak dibully lagi seperti di SD. Tapi saat dirinya berhenti dibully, adiknya mulai pendiam, tidak seperti dulu yang sangat hyper aktif. Mulai saat itu, Rani berhenti memarahi adiknya.

Sebenarnya dia kangen sekali terhadap Bu Sandra, wali kelasnya saat kelas 3 SD dulu dan Mona, teman akrabnya waktu kelas 3. Karena berkat mereka, sikap pasifnya tidak berlanjut hingga dewasa. Sebenarnya itu berkat sepupunya juga, yang main dengan Rani sejak kecil. Tapi sepupunya itu hanya ramah terhadap Rani, pada Reno tidak.

"Rani, kenapa bengong?" Tanya ibunya.

"Eh, enggak. Nggak papa, Bu,"

"Ibu sama Reno makannya udah selesai. Kami mandi dulu ya. Kamu gak usah nungguin. Tau sendiri kami mandinya lama,"

"Iya, bu,"

Reno dan ibunya menuju ke kamar mandi sementara Rani melanjutkan makannya yang belum habis, karena dari tadi dia bengong.

Tiba tiba bapaknya Rani keluar dari kamar. "Eh, Ayah. Udah bangun?"

"Udah, dong. Kan hari ini kondangan pagi jadi bangunnya pagi,"

"Yaudah, makan dulu, Yah. Aku juga udah siapin sarapan buat ayah. Karena aku tau hari ini ayah kondangan pagi,"

"Iya, makasih ya,"

"sama sama, yah,"

"Ibu dan Reno udah sarapan?"

"Udah, sekarang lagi mandi,"

"Oh, iya, Ran kamu gak malu sama ayah karena ayah kerjanya cuma jadi buruh pabrik?"

"Nggak dong, Yah. Buat apa malu? Kan yang penting pekerjaan ayah halal,"

"Andai saja perusahaan ayah dulu gak bangkrut,"

"Gak papa, ayah. Itu semua takdir dari Tuhan. Yang penting ayah harus bekerja keras siapa tau aja nanti ayah bisa membangun kembali perusahaan ayah yang bangkrut," Rani menyemangati ayahnya.

Ya, mereka dulu memang keluarga kaya dan memiliki perusahaan yang dibangun ayahnya sendiri. Karena perusahaan ayahnya bangkrut, sekarang ayahnya hanya bekerja sebagai buruh pabrik. Dan sekarang mereka jadi keluarga miskin.

Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 06.00. Rani harus berangkat sekolah.

"Yah, Rani berangkat sekolah dulu ya?" Ujar Rani sambil menyalami tangan ayahnya.

"Iya, hati hati, Nak. Oh ya, ini uang sakumu," Ayah memberikan uang saku pada Rani.

"Iya, makasih ayah,"