Aisha
Aisha segera menutup laptopnya ketika dia mendengar suara pintu diketuk, dia segera berdiri kemudian berjalan mendekati pintu untuk membukanya.
"Kakak dipanggil Abah," ucap Maryam, adiknya.
Aisha mengangguk pelan.
"Sebentar, kakak ambil niqab kakak dulu," ucap Aisha sambil berjalan mendekati mejanya, diikuti oleh sang adik di belakangnya.
Aisha mengambil cadar lalu segera memakainya.
"Kakak," ucap Maryam yang berdiri di belakang Aisha.
"Hmm.." jawab Aisha yang sedang merapikan cadar yang baru dipakainya.
"Kakak akan menikah?" tanya Maryam pelan, ada nada kesedihan dalam pertanyaannya.
Aisha segera membalikkan badannya, melihat Maryam yang kini tertunduk lesu.
Aisha tersenyum, dia memegang wajah adik bungsunya dengan lembut.
"Seperti Kak Siti, Kak Lela, dan Kak Zainab, kakak juga pasti akan menikah sayang."
Mendengar jawaban Aisha, Maryam segera memeluknya dengan erat.
"Terus Maryam akan sendirian di rumah ini?"
Aisha tersenyum.
"Kok sendiri? Kan ada Ummi dan Abah?" jawab Aisha sambil mengusap lembut punggung adiknya.
Maryam menggelengkan kepalanya.
"Ada Ummi saja, Abah jarang ada dirumah." Maryam menjawab dengan cemberut.
Aisha tersenyum.
"Udah. Katanya Abah memanggil Kakak, nanti Abah marah loh." Aisha melepaskan pelukan adiknya lalu menariknya berjalan keluar kamar untuk menemui sang ayah di pendopo pesantren yang berada tak jauh dari rumah.
****
"Tanggal pernikahanmu sudah ditetapkan nak," ucap Abah mengagetkan Aisha.
Namun sekaget apapun Aisha masih menundukkan wajahnya di hadapan sang ayah, dia hanya menjawab dengan anggukan kecil saja.
"Minggu depan kamu akan menikah sayang." Ummi yang duduk di samping Aisha mengusap lembut punggung putrinya.
Aisha melirik sang ibu di sampingnya, dengan senyuman kecil dibalik cadarnya yang entah terlihat atau tidak Aisha lagi-lagi mengangguk pelan.
"Persiapkan dirimu Nak, sebentar lagi kamu akan segera menjadi seorang istri, mudah-mudahan ilmu dan ajaran agama yang Abah dan Ummi tanamkan padamu sejak kecil bisa menjadikanmu istri yang shalihah," ucap Abah.
"Iya Abah," jawab Aisha pelan.
Zainab sang kakak mendekati Asha lalu memeluknya erat.
"Kamu akan pergi dari sini, seperti Kak Siti dan Kak Lela, kamu akan ikut suamimu, kamu tahu sebenarnya kakak sedih karena harus berpisah dengan kalian, tapi seperti apa kata Abah dan Ummi, fitrah seorang perempuan adalah bersama suaminya."
***
Setelah selesai Aisha berjalan bersama Maryam menuju rumah mereka, sepanjang jalan banyak santri wanita yang menyapanya dengan memberi salam.
Aisha tampak menjawab salam mereka dengan ramah, sebagai salah seorang putri dari pimpinan pondok pesantren tempat mereka belajar, Aisha sudah pasti dikenal oleh seluruh santri wanita disana, apalagi dia yang selalu aktif mengikuti seluruh kegiatan dan bahkan sesekali Aisha menjadi pembimbing bagi santri disana.
Sesampainya di rumah, Aisha segera masuk ke dalam kamarnya, dia lalu membuka niqabnya sambil duduk perlahan di atas kasurnya.
Aisha mengingat kembali perkataan sang ayah jika Minggu depan dia akan segera menikah.
Aisha merebahkan tubuhnya di atas kasur.
"Akhirnya hari itu datang juga, Minggu depan aku akan menikah dan akan meninggalkan tempat ini," gumam Aisha pelan.
Aisha mencoba mengingat kembali calon suami yang hanya baru sekali dia temui, dan itupun sudah sangat lama sekali kira-kira 3 tahun yang lalu, dari pertemuan itu dia tidak begitu jelas melihat wajah calon suaminya, bahkan bisa dibilang kalau dia sama sekali tidak melihatnya, selain karena dia selalu menundukkan kepalanya waktu itu, melihat wajah seorang pria bukan mahramnya tidak pernah dan tidak berani dia lakukan.
Tentu saja, Aisha tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren, ajaran agama telah diajarkan padanya di usianya yang sedini mungkin, dia tumbuh di lingkungan yang ketat akan aturan dan ajaran agama, apalagi sang ayah yang menjadi Pimpinan Pondok Pesantren lebih mengajari semua anak-anaknya sendiri dengan aturan yang lebih ketat lagi keras. Tak heran jika kesemua anaknya tumbuh dengan bekal ilmu agama yang melekat pada diri mereka dengan kuat.
Hasil dari didikan itulah ketiga kakak laki-laki Aisha kini mengikuti jejak sang ayah, semuanya menjadi ustadz yang membantu sang ayah membimbing para santri laki-laki disana sementara ketiga kakaknya yang perempuan sudah menikah namun ada masih aktif menjadi pembimbing bagi para santri wanita, seperti Zainab yang dinikahkan ayahnya dengan salah seorang ustadz yang juga pembimbing di pesantrennya, sementara Lela dan Siti ikut suaminya, Lela dipinang oleh salah seorang hafidz Qur'an dan kini ikut suaminya ke Mesir, sementara Siti menjadi menantu dari salah satu sahabat baik ayahnya seorang alim ulama yang juga pimpinan Pondok Pesantren di luar daerah.
Lalu bagaimana dengan nasib Aisha?
Nasib Aisha sama seperti kesemua kakak-kakaknya, menikah karena dijodohkan, sang ayah telah mencari dan memilihkan jodoh terbaik untuk putra-putrinya, ingin agar semua calon menantunya mempunyai dasar ilmu agama yang kuat, karena itu hampir semua menantunya juga sama-sama putra atau putri dari Kyai atau ustadz yang tak beliau ragukan lagi kadar keilmuannya akan agama.
Namun kali ini berbeda dengan Aisha, rupanya dia akan dinikahkan bukan dengan anak seorang Kyai atau ustadz sama seperti yang lainnya, melainkan anak dari sahabatnya sedari kecil.
"Nikahkan salah satu putrimu dengan putraku satu-satunya, aku ingin sekali berbesan denganmu."
"Aku ingin mempunyai menantu yang shalihah, menantu yang nantinya melahirkan cucuku dan mendidiknya menjadi anak-anak yang juga shalih shalihah."
"Aku yakin jika kriteria menantu idamanku ada pada semua putrimu, karena itu aku ingin melamar salah satu dari mereka untuk putraku."
Permintaan sahabat Abah itu telah diutarakannya beberapa tahun yang lalu, waktu itu kesemua putrinya belum ada yang menikah, namun Abah tidak bisa menikahkan Siti, Lela atau Zainab pada putra temannya karena mereka semua sudah ada yang meng-khitbah jauh jauh hari.
Akhirnya demi untuk memperpanjang tali silaturahmi, juga untuk merekatkan hubungan kekerabatan mereka, Abah memilih Aisha untuk dinikahkan dengan putra sahabatnya itu. Walaupun sebenarnya sang calon menantu tidak sesuai kriterianya
"Anakku seorang seorang dokter, dia akan lulus program spesialisasinya 2 tahun lagi, tadinya aku ingin segera menikahkannya dengan putrimu sesegera mungkin, tapi ternyata dia ingin menyelesaikan kuliahnya dulu."
"Tidak apa-apa, tidak usah terburu-buru lagi pula, putriku juga masih terlalu dini untuk dinikahkan sekarang, usianya baru 17 tahun."
"Kalau begitu pas sekali, tiga tahun lagi setelah anakku selesai program spesialisasinya dan putrimu genap berusia 20 tahun, mari kita nikahkan mereka."
Abah menyetujuinya.
Betapa senangnya sahabat Abah waktu itu, dia tak menyangka jika lamarannya akan diterima, sahabatnya itu berkenan menikahkan salah satu putrinya dengan putra satu-satunya.
Tentu saja siapa yang tidak senang mendapatkan seorang besan seperti Haji Bakar At-Thayyib, seorang pimpinan Pondok Pesantren yang cukup terkemuka, pesantrennya terbilang cukup besar walaupun berada di pinggiran kota. Putra-putrinya juga dikenal menjadi anak yang berbakti, shalih dan shalihah.
Sementara itu, walaupun diliputi sedikit keraguan karena akan menikahkan Aisha dengan seorang dokter yang sama sekali bukan kriterianya, namun Abah menyerahkan semuanya kepada Allah SWT dan yakin jika ini adalah jalan takdir-Nya, kemudian beliau yakin jika dokter juga adalah pekerjaan mulia, syiar agama tidak melulu harus berdakwah dan mengajar, tapi bisa juga dengan membantu sesama dan menjadi dokter salah satunya.
Dan hal lain yang juga membuatnya yakin adalah beliau sudah sangat mengenal Haji Daud, sahabatnya itu orang yang sangat baik, mereka berteman sejak masih kecil, saat keduanya menuntut ilmu di pesantren yang sama, persahabatan mereka tak lekang oleh waktu, masih terus terjaga baik hingga saat ini, Haji Daud seringkali menyambangi pesantrennya demi untuk mempererat tali silaturahmi, tak jarang beliau juga seringkali memberikan bantuan atau sumbangan untuk kemajuan pesantren. Sehingga Abah yakin jika putranya juga pasti orang yang baik dan layak untuk dijadikan suami Aisha.