Lika-Liku Asmara Aldo-Thea

Lika-Liku Asmara Aldo-Thea

Author:IG @nuellubis

Masa Harus Putus?

Yah? inilah rutinitas tiap jumat. Begitu bel istirahat berbunyi, Thea langsung terbirit-birit mengikuti serombongan kecil kawan-kawannya ke lantai tiga. Ruang laboratorium komputer. Apalagi kalau bukan untuk berselancar di dunia maya, sebelum kegiatan mata pelajaran Teknologi, Informatika, dan Komputer benar-benar dimulai. Hanya di ruang itulah, ia bebas berinternet ria dan gratis.

Di rumah, sebetulnya bisa. Hanya saja karena menjelang Ujian Nasional, orangtuanya cukup ketat. Tiada internet, selain hari sabtu dan minggu. Itu juga waktunya dibatasi. Hanya boleh jam tiga sampai jam enam. Sisanya, modem tersebut ada di kamar orangtuanya.

Mau ke warnet, Thea begitu iba mendengarkan raungan kecil sang dompet merah jambu. Selain tarif warnet yang cukup mahal, rasanya berinternet di warnet cukup riskan. Masih sedikit warnet yang tiap biliknya memiliki sekat. Terlebih ia suka jengah dengan segerombolan bocah yang bisa kapan saja menghampirinya yang sibuk memelototi layar. Rasa ingin tahu bocah-bocah itu membuatnya muak untuk menginjakan kaki di warnet lagi.

Hotspot yah? Hmm, urusannya uang lagi dong. Jarak dari rumahnya menuju ke tempat-tempat yang menyediakan wifi cukup jauh. Itu juga belum menjamin benar-benar gratis. Seringkali untuk mendapatkan layanan wifi, ia dipaksa secara langsung atau tak langsung untuk membeli sesuatu yang ditawarkan. Dan itu tak cukup dengan uang Rp 5000. Lebih seringnya harus keluar Rp 20.0000. Alamak.

Pilihan jitu..... yah ruang laboratorium SMA Tarakanita. Waktu istirahat yang kurang lebih tiga puluh menit itu baginya sudah lebih dari cukup. Apalagi guru-guru yang mengajar juga tak terlalu disiplin; berbeda dengan yang sebelumnya, saat masih kelas sepuluh. Selepas menerangkan atau tugas yang diberikan selesai ditunaikan, para murid boleh mengakses internet sesuka hati dan - tentu saja - gratis. Tanpa perlu keluar biaya.

Kali ini, ada yang berbeda dengan aktivitas internet Thea. Ia tak membuka Facebook, Twitter, atau semua akun media sosial yang dipunyai. Dengan cepatnya, ia mengetik di address bar: http://jkt48.com/. Ada sesuatu yang menarik di situs yang dimiliki oleh idol group yang menginduk pada AKB48.

"Pendaftaran Audisi Generasi ke-3 JKT48!"

Begitulah salah satu artikel yang ia baca di situs itu. Semalam ia diberitahukan oleh teman lesnya bahwa idol group itu mengadakan open audition lagi. Ia sangat berhasrat menjadi bagian dari idol group tersebut. Itu mimpinya sejak kecil. Ia selalu berhasrat untuk bisa tampil di atas panggung. Unjuk suara, lenggak-lenggok, dan tersenyum lebar menyaksikan banyaknya tepuk tangan bergemuruh. Ia memimpikan kelak bakal didatangi fan lelaki yang memintanya menandatangani albumnya. Dan audisi itu merupakan kesekian kalinya ia ikuti. Sudah lima audisi, namun ia gagal. Audisi masuk JKT48 yang ini juga merupakan yang kedua. Sebelumnya pada tahap audisi awal, ia ditolak. Bodohnya, ia tak mencari informasi lebih dahulu--yang mana, untuk mengikuti audisi itu, ia mutlak wajib menyanyikan lagu berbahasa Jepang. Astaga, ia selama ini jarang sekali mendengarkan musik-musik Jepang.

Sebab itulah, setelah gagal, ia terbakar. Ia bersumpah, harus bisa menjadi bagian dari JKT48. Ia jadi rutin dengar lagu-lagu berbahasa Jepang. Temodemo no Namida, Gingham Check, Aitakatta, Sayonara Memories,  Migikata, hingga Sukiyaki - lagu Jepang era lawas. Apalagi baca-baca artikel di internet, menjadi bagian dari JKT48 itu dekat dengan uang dan popularitas. Ia pernah dengar, ada salah satu member yang punya fans base sendiri  di luar JKT48. Membayangkannya saja, ia sudah senyum-senyum sendiri.

"Hei," sapa seseorang yang membuatnya harus menghentikan mengetik sesuatu penting yang berhubungan dengan audisi tersebut.

"Eh, Aldo," tengoknya. Ternyata itu Aldo, kekasihnya sejak kelas sepuluh.

"Kamu suka banget yah sama idol group itu?" pancing Aldo nyengir.

"Iya, Do." Matanya berbinar. "Waktu kita ke teaternya, aku kagum banget sama penampilannya, apalagi penampilannya Jeje, Shania atau Ve. Keren, Do."

Aldo terkekeh. "Sampai buka situsnya yah?"

"Apa sih?" Thea pura-pura jengkel. "Eh Do, aku mau daftar, doain yah supaya nggak gagal audisinya."

Aldo mengangguk, tersenyum. Tapi sejenak kemudian, ia diam sebentar, lalu terhenyak. Ia membuyarkan lagi konsentrasi Thea yang sibuk meregistrasi. "Te, sebaiknya kamu jangan ikutan deh audisi itu. Ikut kontes yang lain aja."

Thea tersenyum polos. "Emang kenapa? Kamu emang nggak suka yah punya pacar yang tampil di televisi tiap harinya? Lagian tenang aja deh, kalau aku terkenal nanti, aku nggak bakal mutusin kamu."

Aldo yang masih berdiri - sementara Thea duduk manis, agak terkekeh getir. Otaknya dipenuhi kecemasan. Ia mulai paranoid. "Bukan gitu, Te. Yah aku sih seneng banget bisa punya pacar seleb, dan aku juga yakin kamu bakal tetap setia. Tapi kamu tahu nggak?"

Aldo berhenti bicara seolah mempersilahkan Thea untuk menyela. Memang benar, Thea langsung menginterupsi. "Tahu apa?"

"Soal idol group ini," tunjuk Aldo ke arah layar monitor.

"Yah tahu-lah, Do." Thea nyengir - meremehkan. "Ini JKT48 kan? Sister group-nya AKB48 yang dari Jepang itu? Yang lagu-lagunya sering kamu dengar di gadget kamu itu? Yang single-nya barusan keluar? Apa namanya? Koisuru Fortune Cookies--"

Dalam benak Thea, dirinya masih saja terngiang-ngiang suasana teater JKT48. Memang dua minggu lalu, Aldo mengajaknya bermalam minggu di teater idol group tersebut yang berlokasi di mal fX yang berlokasi dekat stadion utama Gelora Bung Karno. Namun sesungguhnya, kali pertama menyambangi JKT48 theater bersama sang pacar itu terjadi setahun lalu. Terjadi sebelum audisi JKT48 generasi kedua. Saat itu, ia begitu terkesima dengan atmosfernya. Di matanya, ia takjub melihat penampilan tiap personelnya bernyanyi dan menari di atas panggung guna menghibur para fan yang sibuk berteriak-teriak "Hai, hai, hai,...." atau "Tiger, fire, cyber,  fiber, diver, viber,...." Akan sangat luar biasa bernyanyi-nyanyi di atas panggung dengan reaksi penonton seperti itu. Mendorongnya untuk bernyanyi yang lebih baik lagi.

" - Fortune Cookies yang Mencinta." lanjut Aldo meralat.

"Iya, iya, itu lagunya." kata Thea nyengir. "Aku tahu, lho, soal mereka. Aku juga fans mereka."

Aldo terkekeh. "Oh yah, kalau tahu, kamu tahu nggak kalau mereka punya rule nggak boleh pacaran selama masih jadi bagian JKT48?"

Thea tersentak. Lidahnya kelu. Ia menatap tajam pacarnya itu. "Kamu serius?"

Aldo mengangguk. "Makanya itu, aku nggak mau kamu ikut audisi itu. Aku takut kamu diterima dan hubungan kita otomatis harus kandas. Nggak mungkin juga kita bisa backstreet. Cepat atau lambat, pasti bakal ketahuan kalau kamu punya pacar di luar teater. Dan aku nggak mau hubungan pacaran kita yang sudah dua tahun ini harus berakhir. Jadi, please, Te.... jangan ikut audisi itu."

Thea terpaku. Ia hanya mematung tanpa keluar sepatah kata pun. Ia bingung harus berbuat apa. Memang sih tak ada jaminan ia bakal lolos audisi. Tapi segalanya bisa terjadi, bukan? Bukan tak mungkin ia lolos audisi. Kalau lolos dan sudah menjadi bagian, ia rasa ia tak siap untuk menjalani hubungan dengan Aldo secara backstreet. Pacaran diam-diam itu tak menyenangkan sama sekali. Itu seperti bukan pacaran. Tak jauh berbeda dengan berteman. Thea sungguh dilema. Ia berada dalam posisi hendak memakan buah simalakama. Ia jadi cukup lama tercenung.

Sementara Aldo menunggu kelanjutan dari aksi Thea. Cowok itu berharapnya pacarnya itu segera menutup tab, membatalkan registrasi untuk mengikuti audisi JKT48.

"Gimana, Te?" tanya Aldo yang gemas menanti jawaban Thea. "Ayolah, batalin aja. Kamu ikut audisi yang lain aja. Cita-cita kamu hanya mau jadi penyanyi kan? Masa iya kamu tega mengakhiri hubungan kita cuma untuk mimpi kamu?"

Thea tak menggubris. Ia bolak-balik menatap layar monitor dan wajah Aldo yang begitu tegang. Lalu di tengah Thea yang masih bimbang dan belum menunjukan reaksi akan membatalkan atau meneruskan ikut, tangan cowoknya itu sigap saja ke arah mouse dan menggerakan pointer-nya untuk menutup tab.  Thea langsung tersadar dan menatap galak Aldo.

"Kamu apaan sih?" protes Thea judes.

"Ayolah, Te, nggak usah ikutan audisi JKT48. Masih banyak, kok, jalan buat jadi penyanyi. Nanti aku bantuin, deh, cari-cariin info soal kontes nyanyi." ujar Aldo kaku.

"Tapi kalau aku bisa lolos, ada kesempatan aku go international. Kudengar, JKT48 pernah konser di Jepang. Iya, kan?" kata Thea dengan ekspresi yang bertentangan dengan ekspresi pacarnya itu.

"Maksud kamu?" Aldo mulai takut. "Jangan bilang juga..."

"Aku harus ikut audisi ini, Do. Ini kesempatan aku buat terkenal jadi penyanyi dan bisa ke luar negeri. Aku bisa ke Jepang--bisa lihat menara Tokyo atau lihat bunga Sakura mekar." ucap Thea bersemangat. "Maaf, yah, Do, kayaknya kita harus putus."

Badan Aldo semakin lemas. Ia nyaris ambruk. Perlahan ia tinggalkan pacarnya itu dan kembali ke bangkunya. Percuma saja berdebat dengan Thea yang punya pendirian kukuh.