Rainy Couple

Rainy Couple

Author:IG @nuellubis

[SEASON 1] Dekat di Hati

Mau kemana arah pandang mata Kezia tertumbuk, tetap saja pemandangannya selalu orang, orang, dan orang. Hari ini, tanggal 31 Desember, mal Summarecon Mal Serpong--atau akrab disebut SMS--ramai dikunjungi. Banyak warga Tangerang dari beberapa kawasan yang datang ke SMS untuk merayakan pergantian tahun. Apalagi beberapa musisi dan grup musik kenamaan datang. Pula ada acara kembang api segala. Terang saja mal itu sesak. 

Sesungguhnya Kezia tak mempermasalahkan kepadatannya. Seorang introvert seperti dirinya sudah terbiasa dengan pemandangan riuh seperti itu. Bukankah di kampusnya, tiap menjelang perkuliahan, kampusnya juga seramai SMS? Di dekat loket tata usaha dan bank-bank, banyak mahasiswa-mahasiswi yang sibuk mengurus administrasi. Walau, memang menyebalkan kericuhan seperti itu. Berisik. Pusing. Bikin dongkol. Terakhir, pasti bau keringat. 

Yang dipermasalahkan Kezia dari keramaian di SMS itu.... matanya selalu nyaris berlinang saat menyaksikan beberapa keluarga yang menikmati pergantian tahun baru di SMS. Ah, sudah berapa lama yah, pemandangan seperti itu menghilang dari memorinya? Kali terakhir ia bepergian ke mal bersama keluarganya itu waktu ia kelas 12 SMA. Itu saat ibundanya masih ada. Saat ayahandanya tak sehiper-aktif sekarang--dengan ***** bengek pekerjaan yang menurutnya terlalu diada-ada. Itu juga saat kedua kakaknya belum menikah. 

Dari pagar pembatas dekat tangga jalan, ia memonitor situasi di lantai dasar mal. Sembari mengamati beberapa keluarga yang berjalan bersama-sama dengan penuh keceriaan, memorinya terbawa ke masa beberapa tahun silam. Itu terjadi saat hari menjelang natal. Ia nyengir sendiri saat mengingatnya. Lucu mengingatnya. Juga menyesal jadinya. Sebab ia baru sadar betapa pentingnya keluarga itu. Kebersamaan keluarga itu amat penting. Jadi menyesal rasanya saat dirinya menolak ikut jalan-jalan ke mal bareng. Alasannya saat itu: "Kayak anak kecil aja, Dad. Lagian aku lebih suka belanja natal sendiri atau bareng teman."

Tapi Daddy-nya itu terus memaksa; hingga akhirnya Kezia mau juga pergi ke SMS bersama keluarga intinya. Waktu itu, selama menyusuri lorong demi lorong yang ada di SMS, Kezia terus memberengut. Ia acuh tak acuh terhadap obrolan Daddy, Mommy, dan kedua kakaknya: Lucy dan Thalia. Ia tetap menekuk bibirnya, meskipun mereka sudah berada di toko pakaian (Ia paling suka berbelanja pakaian). Menurutnya, berburu pakaian natal atau hang-out itu lebih mengasyikan bersama-sama teman-teman sebayanya. Menyebalkan pergi ke mal bersama Kak Lucy atau Kak Thalia. Kak Lucy itu kolot, tidak mengerti fashion; tiap kali ia meminta saran soal dress mana yang bagus, kakaknya yang berambut ikal itu selalu menjawab, "Iya, itu bagus," - kesemua pilihan baju. Alhasil ia jadi pusing sendiri memilih baju mana yang hendak dibeli. Sementara Kak Thalia itu sok mengerti fashion; padahal aslinya sama saja dengan Kak Lucy. Si Muka Bulat itu selalu bilang, "Yang ini aja, Zia." Alamak! Kezia jadi terbengong-bengong sendiri. Baju itu sungguh tidak fashionable. Warnanya juga norak. Kalau Mommy-nya, yah jelas beda jaman. Pasti kurang mengerti selera anak-anak remaja seusianya. Terus kalau Daddy, biasanya tiap ke toko pakaian, pria yang selalu mengenakan tali untuk kacamatanya itu tak pernah ikut. Daddy selalu menunggu seraya membaca beberapa buku di toko buku. 

Sekarang semuanya berubah. Kak Lucy sudah lama menikah dan memiliki dua anak kembar beda kelamin yang lucu nan menggemaskan. Kak Thalia juga sudah menikah. Kakak keduanya itu menikah setahun sebelum Mommy dipanggil Yang Maha Kuasa. Yah Mommy harus berpulang karena tak kuasa menahan gempuran virus-virus kanker serviks yang sudah tiga tahun hidup dalam tubuh. Karena kematian itulah, Daddy jadi menyibukan diri dengan beberapa bisnis. Daddy selalu beropini, "Kalau Daddy terus di rumah, Daddy bisa keingat terus sama Mommy kamu. Dan pasti Daddy jadi uring-uringan dan nggak nafsu makan. Apa kamu sudah siap Daddy menyusul Mommy-mu juga?" Oh iya, Daddy-nya itu sudah pensiun sebelum pernikahan Kak Lucy. Sebelumnya, Daddy bekerja di sebuah perusahaan multi-nasional yang berkantor di Jakarta. 

Ia tertawa. Tapi getir. Mau menangis rasanya. Ia begitu tersiksa dengan kesepian ini. Tadinya ia mau jalan bareng kawan-kawannya. Tapi ia sadar bahwa teman-teman kampusnya yang berdomisili di Tangerang itu jumlah minim sekali. Yang akrab dengannya itu kebanyakan berdomisili di Bekasi atau Depok. Masa mau menghabiskan malam tahun baru saja perlu menghabiskan isi dompet dulu sih? Sementara beberapa teman SMP dan SMA-nya, kesemuanya sudah memiliki rencana sendiri terhadap malam tahun baru - dan itu pasti, merayakan tahun baru bersama keluarga di kampung halaman. 

Ah kampung halaman yah? Ingatannya melompat ke sebuah daerah pedesaan nan asri di provinsi Jawa Tengah. Kali terakhir main ke Purbalingga itu jaman ia masih kelas 8 SMP. Itu saat Eyang Putri dari Mommy masih hidup. Kalau Eyang Kakung sih sudah lama tak dilihat. Hanya Kak Lucy yang tahu seperti apa rupa Eyang Kakung. Sementara Grandpa dan Grandma dari Daddy itu tinggal di San Fransisco. Tadinya ia ingin sekali merayakan natal dan tahun baru di Amerika, namun Daddy tak mengijinkan. Bukan soal ijin juga sebetulnya, namun Daddy nyaris tidak mempedulikannya. Tiap kali bersua di rumah, Daddy hanya berkata, "Eh, Sayang, sudah bangun? Kamu sudah sarapan? Tuh Daddy udah bikinin omelette. Sudah yah, Daddy harus ke Makassar ketemu rekan bisnis." Baru datang malamnya, paginya sudah pergi. Daddy sama sekali tak memberikan kesempatan padanya untuk mencurahkan isi hati. Kezia jadi senewen. Digenggamnya erat tiang-tiang dari pagar pembatas itu. Padahal kalau Daddy tak tergesa-gesa, ia ingin mengutarakan hasratnya berlibur ke San Fransisco. 

"Mommy...." rintihnya dengan mata berkaca-kaca. "....I really miss you. Missing the moments we spend the sat-nite each other. But i know, it's impossible." 

"Mommy, aku menyesal. Benar-benar menyesal kenapa dulu selalu ogah-ogahan tiap kali Daddy ngajak ke mal bareng. Sekarang aku kangen banget sama momen-momen itu lagi..." ujar Kezia, seolah-olah Mommy ada di dekatnya. Ia tahu, Mommy sudah berbeda alam dengannya. Walaupun demikian, ia masih bisa merasakan kehadiran Mommy. Pepatah "jauh di mata, dekat di hati" itu sungguh benar adanya. Mommy akan selalu hidup di memorinya, hatinya, bahkan alam bawah sadarnya. 

Kepala Kezia tertunduk. Matanya terpejam erat, seolah-olah dapat membendung air mata. Padahal sia-sia belaka. Air matanya tetap saja mengalir deras. Kini ia jadi menangis sesenggukan. Saat membuka mata, ia sadar jadi objek perhatian para pengunjung SMS. Ia jadi malu sendiri. Tergopoh-gopoh ia lari masuk ke dalam toko buku. Katanya pada para pengunjung: "Nggak ada apa-apa, kok." 

Di dalam toko buku, ia langsung menuju rak novel. Segera saja sekujur tubuhnya aktif mencari novel-novel mana yang bungkusnya terlepas. Bungkusnya sengaja terlepas memang disengaja, karena sebagai sampel. Dapat satu buku. Ah sial, kenapa malah tentang sebuah keluarga sih? Kezia mencari novel lainnya. Jelek. Yang ini malah ceritanya sedih banget. Pindah lagi ke novel lainnya, namun sama saja. Tak ada novel yang bisa menghapus kesedihannya. Gadis berambut panjang dengan tampang Hispanik itu jadi uring-uringan tak menentu. Urat-urat wajahnya menegang. Bibirnya sulit membentuk sebuah senyuman. Ia mondar-mandir saja di toko buku itu. Hanya menyaksikan pengunjung yang ada. Lagi-lagi pemandangannya sama. Cukup banyak keluarga di dalam toko buku. Malah ada seorang ibu tengah memilihkan buku untuk buah hatinya. Itu semakin mengingatkannya saat ia masih SD. Dulu Mommy juga selalu seperti itu. Saat ia mau membeli buku cerita yang ia suka, Mommy selalu mencegah dengan alasan ceritanya belum cocok dibaca olehnya. Ia jadi merengek dan karena Daddy-lah, bisa membeli buku yang ia mau. 

Oh... selain banyak keluarga, di toko buku itu juga dikunjungi sepasang kekasih. Kebanyakan sebaya dengannya. Dalam hatinya, sumpah, ia jadi iri. Sepertinya menyenangkan juga, mengunjungi toko buku bersama seseorang spesial. Saling bergandengan tangan ke sebuah rak, lalu membaca-baca beberapa buku sembari berdebat soal isinya. Sangat romantis. Kezia jadi ingin punya seorang pacar. Terkait masalah pacar, Kak Thalia sering menelepon dan menanyakan kapan ia punya pacar, lalu beranjak menikah. Apaan sih Kak Thalia? Dikira gampang apa cari cowok. Lagian gengsi dong nembak duluan. Ia berkata seperti itu sebetulnya memiliki maksud tersendiri. Tak sekedar gengsi. Ia memang tidak pernah terlihat bersama seorang lawan jenis. Itu bukan karena ia penyuka sesama jenis. Bukan juga karena tak ada lelaki yang menarik perhatiannya. Hanya saja, hati, pikiran, dan jiwanya tersebut telah dipesan oleh seorang pria.