Diantar 2 Cahaya: Terang Dan Gelap
gadis dari gang kumuh
Nenek wang
Nenek Wang:
“Lian Hua! Kau belum makan?”
Lian hua
Lian Hua:
“Nanti, Nek. Aku baru kembali dari rumah Nyonya Liang. Mereka... tidak ramah seperti biasa.”
Nenek wang
Nenek Wang:
“Dunia ini memang tak adil. Tapi senyum di wajahmu tetap bertahan. Itu sudah luar biasa.”
Lian hua
Lian Hua:
(Sambil memandangi tangannya yang terluka)
“Aku tak tahu sampai kapan aku bisa tersenyum... tapi kalau aku berhenti, siapa lagi yang akan kuatkan mereka?”
Lian hua
Angin sore berhembus pelan, membawa aroma debu dan asap dapur. Di antara cahaya redup yang menembus celah atap reyot, Lian Hua menatap langit—dan saat itulah ia melihatnya.
Benang cahaya keemasan, melayang samar di udara, mengarah ke utara.
Lian hua
Lian Hua:
(Air matanya nyaris menetes karena takjub)
“Apa itu...? Cahaya... seperti benang yang menari di langit?”
???
??? (Suara dari atas genteng):
“Maaf. Kau tidak boleh mengikuti cahaya itu.”
Lian hua
Lian Hua:
(terkejut dan waspada)
“Siapa kau?! Kenapa mengawasiku dari atas atap?”
???
??? (melompat turun, menampakkan diri)
“Namaku Jing Yi. Aku sedang mengamati seseorang… yang seharusnya tidak bisa melihat benang takdir.”
Lian hua
Lian Hua:
(dengan dahi berkerut, masih waspada)
“Apa maksudmu? Aku sudah melihat cahaya seperti itu sejak kecil… Tapi tak pernah ada yang bisa melihatnya selain aku.”
Jing yi
Jing Yi:
(dengan nada serius)
“Itulah yang membuatmu berbahaya. Orang biasa tak bisa melihat cahaya itu, kecuali mereka yang terkait dengan takdir besar… atau bencana besar.”
Lian hua
Lian Hua:
“Bencana...? Aku hanya gadis biasa dari gang kumuh. Tak ada yang istimewa dariku.”
Jing yi
Jing Yi:
“Kau mungkin percaya itu sekarang. Tapi dunia... tak akan membiarkanmu tetap biasa.”
Lian hua
💥 Ledakan keras terdengar dari arah timur kota! 💥
Lian Hua:
(terkejut dan menoleh cepat)
“Apa itu?! Suaranya dari dekat pasar tua!”
Jing yi
Jing Yi:
(segera mencabut pedangnya)
“Diam di sini. Aku akan periksa.”
Lian hua
Lian Hua:
(menggeleng keras)
“Tidak! Ada anak-anak pengemis tinggal di sana. Aku harus pastikan mereka selamat!”
Jing yi
Jing Yi:
(mendesah pelan, lalu mengangguk)
“Baik. Tapi tetap di belakangku. Ledakan itu… bukan dari manusia biasa.”
mo qingxue
Lian Hua dan Jing Yi berlari menembus gang-gang sempit. Asap hitam membubung dari pasar tua, dan reruntuhan kayu berserakan di mana-mana.
Di tengah puing-puing dan anak-anak yang pingsan, berdirilah seorang wanita bergaun hitam-ungu, rambut panjang terurai, matanya tajam seperti pisau malam.
Mo Qingxue:
“Jadi ini… gadis yang bisa melihat dua cahaya.”
Jing yi
Jing Yi:
(melangkah maju, suara dingin)
“Mo Qingxue. Ini bukan wilayahmu. Pergi… sebelum aku lupa bahwa kita pernah berjalan di sisi yang sama.”
mo qingxue
Mo Qingxue:
(tersenyum samar, sinis)
“Ah, Jing Yi… Masih setia pada perintah istana, ya? Tapi kau tetap bodoh seperti dulu.”
Lian hua
Lian Hua:
(menatap tajam, tak mundur selangkah pun)
“Siapa kau? Kenapa menyerang anak-anak tak bersalah?”
mo qingxue
Mo Qingxue:
(dengan nada datar tapi menusuk)
“Mereka bukan targetku. Mereka hanya... menempel padamu. Dan aku tidak suka cahaya seperti milikmu bersinar terlalu cepat.”
mo qingxue
(Narasi)
Dengan gerakan secepat kilat, Mo Qingxue melemparkan tiga jarum hitam ke arah Lian Hua.
Jing yi
Jing Yi:
(melompat ke depan, menebas dua jarum)
“Hati-hati!!”
(Satu jarum menembus pundaknya)
“Ugh...!”
mo qingxue
Mo Qingxue:
(dengan suara dingin dan sinis)
“Aku bisa merasakan kekuatan yang lama tersembunyi dalam darahmu. Kau adalah kunci dari keseimbangan yang telah lama terkunci.”
Jing yi
Jing Yi:
(berusaha bangkit meski terengah-engah karena luka)
“Jangan... biarkan dia mendekat!”
Lian hua
Lian Hua:
(meskipun gemetar, suaranya penuh tekad)
“Aku tidak mengerti apa maksudmu, tapi aku takkan membiarkanmu menyakiti aku atau anak-anak yang tak berdosa!”
Lian hua
Lian Hua cepat merogoh kantong kecil di ikat pinggangnya, lalu meniup segenggam serbuk hijau ke arah Mo Qingxue.
mo qingxue
Mo Qingxue:
(mundur selangkah, sedikit terbatuk, lalu tersenyum pelan)
“Ah... Jadi kau tak selemah yang tampak. Menarik.”
Mo Qingxue:
(sambil berbalik perlahan)
“Aku akan kembali. Dunia ini takkan membiarkanmu netral, Lian Hua. Cepat atau lambat… kau akan memilih: menerangi, atau membakar.”
(Ia menghilang dalam kabut ungu yang pekat)
Jing yi
Keheningan kembali turun. Hanya suara anak-anak yang mulai sadar dan batuk-batuk di balik puing. Jing Yi duduk bersandar di tiang kayu, menekan lukanya.
Lian hua
Lian Hua:
(berlutut di sampingnya, cemas)
“Kau terluka... Jangan banyak bergerak! Aku akan mencari kain bersih dan air!”
Jing yi
Jing Yi:
(tersenyum lemah)
“Kau cepat belajar... dan berani. Bahkan ketika menghadapi Mo Qingxue.”
Lian hua
Lian Hua:
“Siapa dia sebenarnya...? Dan... apa maksudnya aku harus memilih antara dua cahaya?”
Jing yi
Jing Yi:
(napasnya masih berat, tapi suaranya tenang)
“Mo Qingxue dulunya murid terbaik dari Lembah Tak Bernama... hingga dikhianati oleh orang yang ia cintai. Sejak itu, dia memilih berjalan dalam kegelapan.”
Jing Yi:
“Dan soal dua cahaya... Itu adalah jalur takdir yang hanya muncul sekali dalam seribu tahun. Salah satunya menuju cahaya yang agung. Satunya lagi... menuju kehancuran.”
Lian hua
Lian Hua:
(berbisik pada dirinya sendiri, menatap langit)
“Kenapa aku... harus menjadi bagian dari itu semua?”
Jing yi
Jing Yi:
(menatap Lian Hua dengan serius meski tubuhnya lemah)
“Karena kau bukan siapa-siapa... justru karena itu takdir memilihmu. Kau tak dibebani masa lalu siapa pun. Jalanmu masih kosong… dan itulah yang paling berbahaya.”
Lian hua
Lian Hua:
(tersenyum tipis, meski matanya sendu)
“Kalau begitu... aku akan isi jalan itu dengan pilihanku sendiri. Bukan pilihan mereka… bukan pilihan takdir.”
author???
end episode 1
Di balik reruntuhan pasar dan langit yang mulai gelap, benang-benang cahaya kembali muncul, menari pelan seperti ingin membimbing… atau menyesatkan.
istana yang membunyikan dosa
Lian hua
Keesokan harinya, Lian Hua duduk di tepi sumur tua di belakang kediaman Nenek Wang. Matanya menatap air, tapi pikirannya melayang pada benang-benang cahaya dan wanita bernama Mo Qingxue.
Lian Hua:
“Kalau benang itu adalah takdir... lalu sejak kapan aku sudah terjerat olehnya?”
Lian hua
(Suara langkah mendekat perlahan, lalu suara lembut terdengar di belakang Lian Hua)
Nenek wang
Nenek Wang:
“Anak itu, Jing Yi... dia pergi pagi-pagi sekali. Katanya dia harus melapor pada seseorang yang lebih tinggi.”
Lian hua
Lian Hua:
(tanpa menoleh, masih menatap air sumur)
“Dia terluka cukup parah... tapi masih memilih pergi tanpa bilang apa-apa padaku.”
Nenek wang
Nenek Wang:
(berjongkok di samping Lian Hua, suara pelan)
“Anak seperti dia tak bisa tinggal lama di tempat kotor seperti ini. Dunia di atas sana memanggilnya… sama seperti sekarang memanggilmu.”
Lian hua
Lian Hua:
(berbisik, nyaris tak terdengar)
“Aku belum siap, Nek. Aku bahkan tak tahu siapa sebenarnya aku…”
Nenek wang
Nenek Wang:
(menghela napas panjang)
“Kadang dunia tak menunggu kita siap, Lian Hua. Kadang... ia hanya membuka pintu, dan memaksamu melangkah masuk.”
pengawal istana
Tiba-tiba, suara ketukan keras di gerbang kayu menggema, disusul suara berat seorang pria.
Pengawal Istana:
“Lian Hua! Atas perintah Istana Utara, kau diminta hadir di Aula Pendeta Langit! Sekarang juga!”
Lian hua
Lian Hua:
(berdiri perlahan, wajahnya tegang)
“Aula... Pendeta Langit? Kenapa istana memanggilku?”
pengawal istana
Pengawal Istana:
(dengan nada datar, tanpa ekspresi)
“Kami hanya menjalankan perintah. Jangan buat kami menjemputmu dengan paksa.”
Nenek wang
Nenek Wang:
(berdiri di depan Lian Hua, tatapannya tajam)
“Dia ikut karena keinginannya sendiri, bukan karena ancaman kalian. Kalian pikir istana bisa main ambil anak sembarangan?”
Lian hua
Lian Hua:
(menyentuh lengan Nenek Wang dengan lembut)
“Tak apa, Nek... Aku akan pergi. Aku juga ingin tahu... kenapa mereka tiba-tiba mencariku.”
Lian hua
Lian Hua melangkah perlahan menuju kereta istana yang sederhana namun dijaga ketat. Hatinya penuh pertanyaan, tapi tatapannya tegas.
Lian Hua:
(dalam hati)
“Aku tak akan lari. Kalau ini awal dari takdirku… maka biarlah aku menghadapinya.”
Lian hua
Perjalanan menuju Istana Utara memakan waktu setengah hari. Di sepanjang jalan, Lian Hua melihat tembok-tembok tinggi yang menutupi langit, dan lambang naga putih yang tergambar di gerbang utama.
Sesampainya di dalam, ia langsung dibawa ke Aula Pendeta Langit, tempat bersemayamnya para penafsir takdir.
penjaga aula
Penjaga Aula:
“Berlutut. Pendeta Langit akan segera muncul.”
Lian hua
Lian Hua:
(berdiri tegak, menolak berlutut)
“Aku datang karena dipanggil, bukan karena aku hamba. Jika mereka ingin bicara, aku akan dengarkan… tapi bukan dengan lututku di lantai.”
pendeta langit
(Suara lembut namun penuh wibawa terdengar dari balik tirai putih yang menggantung di ujung aula)
Pendeta Langit:
“Hm... Tegas dan berani. Seperti yang dikatakan Jing Yi. Kau memang berbeda dari yang lainnya, Lian Hua.”
Lian hua
Lian Hua:
(memicingkan mata, mencoba menembus tirai)
“Kalau sudah tahu siapa aku, maka katakan langsung. Apa yang kalian inginkan dariku?”
pendeta langit
Pendeta Langit:
(dengan suara pelan namun menggema ke seluruh ruangan)
“Kami ingin tahu… dari mana asal cahaya di tubuhmu. Cahaya yang bahkan langit sendiri sudah lama lupakan.”
Lian hua
Lian Hua:
(menggeleng pelan, bingung)
“Aku tak tahu apa-apa tentang cahaya itu… Aku hanya melihatnya, mengikuti arahannya. Tapi aku tak pernah memintanya.”
pendeta langit
Pendeta Langit:
“Justru karena kau tak memintanya, maka ia datang padamu. Cahaya takdir tidak memilih yang kuat… tapi yang kosong. Dan kau, Lian Hua, adalah wadah yang belum ditentukan.”
Lian hua
Lian Hua:
(suara mulai bergetar)
“Kalau begitu… apa yang akan kalian lakukan padaku? Jadikan aku alat? Atau singkirkan sebelum aku tumbuh jadi ancaman?”
pendeta langit
Pendeta Langit:
“Bukan kami yang memutuskan. Tapi dunia. Kami hanya pembaca naskahnya... Kau yang akan menulis akhirnya.”
(Tirai perlahan terbuka, dan cahaya lembut menyinari wajah sang Pendeta—seorang lelaki tua dengan mata perak dan simbol bintang di dahinya.)
Pendeta Langit:
“Mulai hari ini, kau akan diawasi… dilatih… dan diuji. Sampai cahaya dalam dirimu memilih jalannya sendiri.”
Lian hua
Lian Hua:
(diam sesaat, lalu mengangguk perlahan)
“Baik. Tapi ingat satu hal... Jika aku harus memilih antara terang dan gelap, maka akulah yang akan menentukan cahayanya.”
pendeta langit
Pendeta Langit:
(tersenyum tipis, suara tenang)
“Itulah sebabnya kami membawamu ke sini, Lian Hua. Karena di antara dua cahaya… hanya satu yang bisa menjadi matahari. Dan yang lain, akan menjadi bayangan.”
author???
end episode 2
Di langit senja Istana Utara, dua burung gagak terbang berlawanan arah—satu menuju timur, satu lagi ke barat.
Sementara itu, di kedalaman istana, cahaya-cahaya kecil mulai berkumpul... seolah bersiap menyambut sesuatu yang lebih besar.
Takdir telah mulai bergerak. Dan di tengahnya, berdiri seorang gadis dari gang kumuh yang kini menatap langit, tak lagi dengan ketakutan—tapi dengan tekad.
pelatihan dibalik bayangan
Lian hua
Tiga hari telah berlalu sejak Lian Hua pertama kali melangkah ke Aula Pendeta Langit. Kini ia tinggal di bagian timur kompleks istana—tempat murid-murid pilihan dipersiapkan dalam pelatihan rahasia.
Pagi ini, angin membawa kabut tipis ke halaman latihan. Di tengahnya berdiri seorang pemuda berjubah biru tua, wajahnya dingin, sorot matanya tajam seperti bilah pedang.
???
???
“Kau Lian Hua? Gadis yang disebut-sebut bisa melihat dua cahaya?”
Lian hua
Lian Hua:
(berdiri tenang, menatap pemuda itu tanpa gentar)
“Kalau kau sudah tahu namaku, mungkin sebaiknya kau beri tahu namamu juga… sebelum menilainya dari kabar burung.”
qi yanzhao
Pemuda:
(senyum tipis, tapi matanya tetap tajam)
“Namaku Qi Yanzhao. Murid utama Pendeta Langit. Dan hari ini… aku yang akan mengujimu.”
Lian hua
Lian Hua:
(mengangkat alis, suara dingin)
“Menguji? Maksudmu kau akan menyerangku, lalu lihat apakah aku bertahan hidup?”
qi yanzhao
Qi Yanzhao:
(berjalan pelan mengelilingi Lian Hua)
“Bertahan hidup adalah dasar. Tapi yang akan kutahu… adalah apakah kau bisa memilih saat berada di ambang kehancuran.”
Lian hua
Lian Hua:
(mengatupkan tangan, bersiap siaga)
“Kalau begitu, jangan buang waktu. Aku juga ingin tahu… sejauh apa batasanku hari ini.”
qi yanzhao
Angin tiba-tiba berputar. Qi Yanzhao mengangkat satu jari, dan dalam sekejap—bayangannya sendiri terlepas dari tubuh dan menyerang Lian Hua dari samping.
Qi Yanzhao:
“Pertama… lawan dirimu sendiri.”
Lian hua
Lian Hua:
(terkejut, melompat mundur, lalu bergumam)
“Bayangannya hidup...? Ini bukan teknik biasa…”
qi yanzhao
Qi Yanzhao:
(tegas, tak memberi celah)
“Bayanganmu tahu apa yang kau takutkan. Ia juga tahu apa yang ingin kau sembunyikan. Jadi, hadapilah… atau tenggelam dalamnya!”
Lian hua
Bayangan Lian Hua menyerang cepat, meniru semua gerakannya—namun dengan kekuatan yang lebih tajam, lebih tanpa ragu. Setiap langkah yang ia ambil, bayangan menandingi, bahkan menekan balik.
Lian Hua:
(bernapas cepat, bertahan sambil berpikir)
“Kalau aku menyerangnya seperti musuh biasa… aku akan kalah. Ini bukan tentang kekuatan.”
Lian hua
Lian Hua:
(menutup mata sejenak, lalu membuka perlahan)
“Kalau dia adalah diriku… maka aku harus menerima dia, bukan melawannya.”
Alih-alih menyerang, Lian Hua menurunkan kedua tangannya. Bayangan berhenti, bingung. Mereka saling menatap—dan untuk pertama kalinya, bayangan itu bergerak tanpa niat membunuh.
qi yanzhao
Qi Yanzhao:
(suara datar tapi terlihat heran)
“Kau... merangkul bayanganmu? Bahkan murid-murid lama pun belum tentu bisa sampai pada tahap itu.”
Lian hua
Lian Hua:
(menatap bayangannya yang perlahan kembali menyatu)
“Aku tak sempurna. Tapi aku tak akan menyangkal bagian gelap dalam diriku. Kalau aku ingin berjalan menuju cahaya… maka bayanganku harus ikut.”
qi yanzhao
Qi Yanzhao:
(berdiri tegak, menatap Lian Hua dengan lebih serius)
“Jawabanmu... lebih dewasa dari usiamu. Tapi jangan salah—ini baru permulaan. Ujian berikutnya... tidak akan memberi waktu untuk berpikir.”
Lian hua
Lian Hua:
(tersenyum tipis, napasnya masih berat)
“Bagus. Karena aku juga tidak berniat hidup santai di istana ini.”
qi yanzhao
(Narasi)
Qi Yanzhao mengangguk pelan, lalu berbalik meninggalkan arena latihan.
Namun sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sebentar.
Qi Yanzhao:
“Besok fajar, datang ke Gerbang Bayangan. Di sanalah pelatihan sebenarnya dimulai.”
Lian hua
Lian Hua:
(berdiri diam, menatap punggung Qi Yanzhao yang menjauh)
“Gerbang Bayangan, ya...? Sepertinya dunia mulai membuka pintunya sedikit demi sedikit padaku.”
author???
End episode 3
Saat senja turun, langit di atas Istana Utara tampak terbelah oleh cahaya keemasan dan bayangan ungu kelam.
Di kedalaman kompleks, simbol kuno perlahan menyala di bawah tanah, seolah merespons keberadaan Lian Hua.
Tak ada jalan kembali. Dan dalam diam, takdir terus menuliskan kisahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!