Bawa pesan ini ke keluargamu!
Teruslah maju! Walau sudah engkau tidak temui senja esok hari. Ada harapan selama nafas masih berembus.
Bawa pesan ini lari ke keluargamu!
Siapa yang akan menunggu dalam hangatnya rumah? Berlindung dibawah atap dalam keceriaan. Keset selamat datang sudah dia buang jauh tanpa sisa. Hanya sebatang kara setelah kehilangan asa. Ada batu dijalanmu, jangan tersandung!
Bawa pesan ini ke keluargamu!
Kontrak mana yang sudah Si Lelaki Mata Sebelah ini buat? Tanpa sengaja menginjak nisan takdirnya sendiri. Tuan sedang bergairah untuk mengejar. Langkah kaki Tuan lebih cepat dari yang lelaki kira. Awas engkau sudah terjatuh, lelaki!
Jangan lelah kakimu berlari!
Jika lelah jangan berhenti, tempat yang lelaki tuju adalah persinggahan terakhir. Tuan dengan tudung merah mengejar kilat.
Tuan telah mempersembahkan kembang merah untuk Si Lelaki Mata Sebelah.
Sulur, rindang pohon liar, sayupnya bacaan doa, lumut sejati, juga angin dingin menjadi saksi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Indy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Elegi Esok Hari
..."Kabut asap yang terkepul membara menjadi kepulan awan pekat siang itu. Sedikit yang disayangkan dari sebuah permusuhan adalah kekalahan satu pihak. Tetapi, ijinkan kami pamit undur diri sebentar." -Altar....
Biarlah yang tidak terobati akan disimpan sampai esok hari.
Biarlah yang sudah terjadi akan dilewatkan begitu saja.
Kami menyaksikan kematian paling bahagia sepanjang masa.
Bersorai pada genangan darah yang terbuang bersama janji.
Menyaksikan seekor kupu-kupu hinggap pada tanaman pagar yang sudah terbakar sebagian. Bayangnya masih ada walau sudah terbang ke angkasa. Gemuruh dada kedua insan saling beradu sirna seketika.
Mata sembab menandakan kesedihan mampir. Ada juga yang berseru akan datangnya sebuah kebebasan yang nyata. Lelaki dengan otot sedang itu berdiri congkak diatas tanah penuh reruntuhan bangunan. Membawa mangsa sudah berhasil ditikam.
"Clause," panggil Julian pelan. "Bagaimana bisa-" dengan cepat langkah kakinya berlari menuju Clause yang berdiri. Sedikit sempoyongan menandakan leganya perjuangan diakhir hari. "Syukurlah kamu selamat." Julian memeluk erat.
"Hei, kau pikir siapa aku."
"Wanita kuat! Kamu adalah wanita kuat, Clause."
Lupa siapa yang baru saja menampar siapa? Lupa siapa yang menangis? Lupa siapa yang sedang bertugas?
Tetapi, kami belum tentu lupa.
...***...
Sejauh mata memandang hanyalah putih yang dilihat. Sependek mata melihat hanya ada bayangan diri samar. Putih dan benderang. Kasur berada di tengah atau di sudut sudah tidak dia tahu. Lelaki berusia 50 atau selebihnya berada di tengah ruangan meringkuk dalam kenangan buruk dirinya sendiri.
Ruangan tanpa sudut, namun, bagi seseorng yang mengintip lewat jendela kaca jelas terpampang nyata diri lelaki di sana. Rambutnya yang berantakan sudah dia tata.
Masih dengan tanda merah di pipi kanan-kirinya, Tuan Zion berjalan medekati ruangan. Cahaya lampu yang menyilaukan matanya kini meredup seketika.
"Aku tidak akan memaafkan kamu!" Sengitnya kepada lelaki berambut panjang.
Julian mendelik seketika. "Aku sudah meminta maaf." Sembari menunduk merasa bersalah.
"Bukan kamu, aku memang pantas mendapatkannya." Tuan Zion memegang pipinya. "Minggir, kamu menghalangi jalanku." Tuan Zion menggeser tubuh Julian pelan. Memutar knop pintu lalu masuk. Seketika lelaki berambut panjang itu ketakutan. Berlarian didalam ruangan memutari ranjangnya.
Tuan Zion mengernyit. "Apa yang sedang kamu lakukan Tuan?"
"Bintang! Tolong bawa aku? Aku ketakutan."
"Orang ini gila," Julian menjawab setelah dia membawa buku sihir yang dia temukan sebelum dijatuhkan dari lantai kedua.
"Dia pernah dikabarkan menghilang 10 tahun yang lalu. Memuja Bintang dan Dewa. Menciptakan Altar lalu mempersembahkan dengan menumbalkan seseorang. Buku ini menjelaskan cara membaca mantra. Kurasa lelaki itu menemukannya di gua. Ini hanya berisikan nyanyian yang tidak jelas, bagaimana membacanya." Julian membolak-balikkan halaman.
Menutup buku sembarangan lalu melemparkannya kesembarang arah. lelaki tadi nampak begitu marah. Setelah mengeluarkan aura membunuh cukup kuat, Tuan Zion menyeret Julian berada dijangkauannya.
Lelaki tadi berlutut berdoa kepada Tuhan-Nya lalu sebuah angin yang entah tiba-tiba berembus sedikit kuat. "Kita pergi, Julian." Tuan Zion terburu-buru mengambil kitab yang dilemparkan Julian lalu menutup pintu.
"Apa kamu takut?" Julian berhenti dihadapan Tuan Zion.
"Bukan, jika dia benar bisa menggunakan sihir seperti yang dikatakan oleh orang bergosip kepadanya. Maka, penumbalan itu bukan main-main." Tuan Zion menggeleng.
"Artinya kamu juga takut."
"Ya, aku takut jika dia menggunakan kekuatannya itu untuk membunuh semua orang," jawab Tuan Zion tegas.
Julian terdiam, memikirkan sampai berdampak pada orang lain bukanlah egois. "Maafkan aku," Julian menunduk.
Tuan Zion menghela nafasnya. "Sementara ini kita akan mengawasinya dan menempatkan ke penjara khusus. Setidaknya tidak akan ada lagi korban." Menenangkan lelaki yang masih acak-acakan seusai pulang ke rumahnya. "Kamu beristirahatlah. Pasti lelah."
Julian mengangguk. Kembali pada mansion besar miliknya tinggal. Melewati taman teratai terpampang nyata menuju kamar pribadinya. Terletak di Pusat Kota, disandang sebagai rumah termegah paling asri yang pernah ada, selain kediaman Klan Rall.
"Selamat datang Tuan Muda," sapa dayang setia menunduk hormat.
"Dimana ayahanda?"
"Beliau sedang beristirahat di ruangannya, Tuan Muda."
Langkah kaki pelan tedengar dari balik pintu. Julian menoleh menemukan sosok ibundanya. Merentangkan tangannya, Julian seraya memeluk. "Pulang cepat?"
"Aku lelah," keluh Julian.
"Bryan mencarimu. Dia mengunjungi bunda tadi pagi. Sapalah terlebih dahulu."
Julian hanya mengangguk. Mengganti bajunya melegakan dirinya dengan air hangat lalu bersiap mendatangi teman masa kecilnya. Jika bertanya siapa yang bertanggungjawab atas negara ini? jawabnya hanya ada dua Klan Rall dan Klan Vegas. Keduanya memiliki hubungan yang sederhana. Saling menghormati, sedikit perseteruan, banyaknya kisah juang bersama.
Julian mengatakan kepada penjaga. Tidak lama menemukan Bryan berada di taman dengan ayahandanya. Senyum diantara mereka merekah. Tetapi, tidak akan ada yang menyangka jika ada lubang diantara keduanya. Seperti adu pendapat yang sukar dielakkan.
"Oh, keponakanku. Sudah lama kau tidak mengunjungi kami. Bagaimana pekerjaan?"
"Paman selalu perhatian dengan itu." Julian duduk di samping pamannya. "Aku baik, pekerjaan kali ini terlalu banyak. Aku hanya sedikti lelah. Kaptenku memperbolehkan aku pulang."
"Hm, ceritakan kepada Paman."
"Bukankah kamu menangani kasus mayat kering?" Tanya Bryan memastikan. Lelaki dengan poni belah samping yang elegan. Setelah kemeja juga banyaknya aura dominan. Wewangian kasturi selalu mengikutinya. Berwajah tegas juga karakter serupa. Yang paling unik adalah dia yang memiliki mata semerah berlian, sedikit keemasan. Amber.
"Iya aku menanganinya," Julian menjawab. "Semoga saja kasus ini akan selesai segera."
Setelah sekian lama berbincang menyurutkan gundah dihatinya. julian kembali ke rumahnya, malam sedikit bintang mengantar kepergian Julian menuju rumahnya. "Festival akan datang dalam beberapa hari. Apakah kalian akan pergi bersama?" Tuan Besar Rall bersuara.
Julian hanya tersenyum sedangkan putranya tidak menunjukkan ketertarikan. Julian paham dengan apa yang dikondisikan oleh kedua keluarga, seakan baik saja namun, penuh dengan lubang.
"Kita memang tidak sedekat dulu, Bryan."
Julian akhirnya berpamitan. Bryan mencarinya hanya membahas seputar donasi ke panti yang akan disetor bulan depan. Seharusnya jika hany itu tidak harus mencari Julian, kecuali ada maksud lain. Yang dipikirkan Julian, lelaki itu sama sekali tidak membahas hal apapun padanya.
Sepanjang perjalanan hanya menunduk melewati beberapa gang. Malam semakin larut ketika cahaya pinggiran trotoar menyinari papan pengumuman. Julian mendekat, ada berita menarik. Sirkus yang lama sudah tidak datang akhirnya datang mengisi festival bulan ini. Senyum Julian merekah. Sudah lama semenjak dirinya tidak pernah menantikannya. Kapan mungkin? Ah, sudah 15 tahun lalu.
Memorinya memutar kenangan indah. Sejak saat dia bermain dengan Bryan, sirkus adalah hal yang paling menarik diantara kenangan yang lainnya. Bagaimana Bryan dilarikan ke rumah sakit akibat terjatuh dari tangga. Atau Julian yang menyentuh kepala singa pertama kalinya. "Akan lebih seru jika bersamamu lagi."
Julian kembali ke pagar rumah megah disana. Bryan masih dengan piama tidurnya berjalan keluar. "Kamu belum pulang?" Mengernyit keningnya. Sudah larut malam seharusnya anak itu tidak akan bisa tidur malam.
"Ada sirkus, bisakah kita akan melihatnya bersama?" Julian berteriak.
Bryan tersenyum lalu mengangguk.
Lorong temaram lantai dua rumah megah itu berdiri Tuan Besar Rall tanpa ekrepsi yang pasti. 'Putranya sudah dewasa' pikirnya
...***...
Lampu temaram menjadi penerangan satu-satunya lelaki yang masih berbaring tenang diatas kasurnya. Sepanjang perjalanan hanya tertidur, sepanjang pengobatan juga hanya berbaring. Clause manusia yang sangat malas ketika sakit. Seperti yang sudah dihafal oleh Tuan Zion.
Sedikitnya pergerakan dari lelaki yang mulai menggeliat mengalihkan padangannya. Tuan Zion menutup buku yang dia baca sejak datang sampai matahari tenggelam.
Clause membuka matanya perlahan, ah sudah malam pikirnya. Segera membenahi selimut lalu berbaring kembali. Memiringkan badannya mengambil bantal untuk dia peluk. Clause mengernyit ketika dia meraba sesuatu yang terasa seperti kasurnya. Empuk. Yang berbeda adalah corak petir yang jelas bukan miliknya.
"Tuan Zion," panggil Clause setengah sadar.
"Aku di sini."
Clause membuka matanya secara penuh. Kamar yang dia tepati tidak mirip seperti apa yang dia miliki sebelumnya. Meja yang beraa di sudut bukanlah miliknya. Ranjang yang berwarna abu-abu juga bukan miliknya. Setelah melirik pakaian dinas yang menggantung di dekat almari adalah milik kaptennya. "Mengapa aku bisa dikamarmu?"
"Tidak ada yang tinggal bersama kita. Sebaiknya aku juga menjagamu."
Clause juga mengetahui hal tersebut. "Dimana bibi?" -yang dimaksud bibi penjaga rumah.
"Di sudah pulang. Membuatkan kamu minuman herbal dari Julian. Minumlah jika sudah dingin."
Clause mengembuskan nafasnya tidak suka. Dicium dari aromanya saja sudah pahit setengah mati. "Aku tidak mau," rengek Clause. Tuan Zion hanya melihat tajam lelaki yang merengek, pada akhirnya seteguk dua teguk dia habiskan sampai tidak bersisa. "Manis," lirihnya.
"Yah, menggunakan tanaman stevia."
Mendekati Tuan Zion yng masih berada di mejanya. "Apa yang kamu baca?"
"Buku yang dibawa oleh Julian sewaktu dia terjun dari lantai dua." Tuan Zion membalikkan halaman pertama. "Mengisahkan seorang anak yang menemukan lubang raksasa dengan banyak teratai."
"Lubang raksasa? Apakah itu gua?"
"Aku juga berpikir hal yang sama. Gua dengan banyak teratai lalu dia menyembah pada empat arah mata angin dan meminta kekuatan untuk menaklukan hati manusia."
Clause merinding mendengarnya. "Diluar akal, tidak ada yang bisa menaklukan hati manusia. Bukankah..."
"Hati manusia lebih menakutkan dari iblis, lebih keras dari berlian, lebih kejam dari psikopat sekalipun."
Tuan Zion tersentak dengan perkataan itu, dilihatnya lelaki yang masih memandangi kertas bergambar pujaan setan. "Apakah menurut kamu penumbalan itu ada?"
"Ada," jawab Clause cepat. "Karena aku tidak akan memaafkan segala jenis pembunuhan," sambungnya.
Tuan Zion mengerti betul seperti apa yang dikatakan oleh Clause. Masih segar dalam pemikirannya. Sebelum Clause menjadi wakilnya, dia telah ditugaskan dalam perbatasan negara. Waktu yang buruk terjadi. Semua orang seperjuangan Clause dibantai habis-habisan dalam barak tentara oleh seseorang yang akan mencuri senjata ilegal. Clause dengan amarah melajukan kudanya, membunuh siapa saja yang dia lihat sebagai penjahat. Rekan satu tim, berapa jantung yang sudah dihancurkan begitu saja oleh sekawanan iblis berwujud manusia.
Dalam jurang keputusasaan, Clause ditemukan oleh tim pengganti dan menjadi tahanan selama dua bulan. Negara menyelidiki kasus yang disebabkan oleh Clause. Pada akhirnya menempatkan dia dalam misi berbahaya bersama Kapten Forensik Utara. Yang sayangnya juga tewas dalam suatu kasus.
Bertemunya Tuan Zion dan Clause hanyalah sebuah kebetulan. Anak bandel yang nakal dan entah mengapa Clause menuruti Tuan Zion dan menjadi tangan kanannya sampai sekarang. Itulah yang membentuk dirinya sekarang, keras, hanya Tuan Zionlah yang bisa menangani anak itu.
"Ada beberapa artian yang tidak aku tahu." Tuan Zion mengalihkan otaknya sendiri untuk tetap fokus pada misi.
"Hm, seperti gambar rantai ini?"
"Juga sebuah ilmu sihir, tata cara penumbalan." Tuan Zion menutup bukunya. "Kita akan kembali ke rumah persinggahan Airis ketika selesai menginterogasi lelaki bertudung hitam aneh itu."
Clause mengangguk, lalu kembali dalam kasurnya- yang notabenenya kasur Tuan Zion.
"Oh ya, Clause."
Clause membenahi posisi tidurnya. "Hm," dehemnya.
"Apakah kamu pernah bertemu lelaki bertudung merah yang berada di gerbang Kota Homura?"
Sedikit otaknya menelisik pada akhirnya hanya gelengan yang Tuan Zion terima. "Tidak," jawab Clause.
"Baiklah."
...***...
Angin berembus cepat ketika sebuah kabar berkabar, ada yang diam mulutnya dikarenakan keteguhannya kepada Tuhan yang dia sembah.
Ada yang enggan menoleh hanya karena diperlihatkan sebuah hiasan sederhana dari bambu berbentuk bintang.
Ada yang pura-pura tidak tahu pada altar yang sudah terpampang nyata.
Ada yang menyangkal mengenal perempuan bernama Airis.
Semua bukti itu disangkal oleh lelaki bertudung hitam menyebalkan mendekam di penjara.
"Sial lelaki itu bungkam." Lelaki dengan kesal melemparkan jasnya di sofa dengan kesal.
Clause membanting dirinya. "Kurasa kita harus menyelidiki sendiri mengenai rumah itu."
"Yah, aku pun juga," Tuan Zion masuk dengan segelas coklat hangat. Julian nampak bahagia dengan uap panas itu pada akhirnya meneguk setengah dari cangkirnya.
"Bagaimana menurutmu?" Julian bangkit dari rebahannya.
"Aku nampak sedikit lega dengan tidak adanya kasus yang terulang. Kini kita hanya harus menyelesaikannya dengan benar. Fakta jasad Airis tidak ada di lokasi sudah membuat curiga." Tuan Zion melirik Clause. "Apakah kamu juga tidak ingat apa yang kamu lakukan di dalam?"
"Ketika kamu meninggalkanku untuk menangkap tubuh Julian aku melihat banyaknya genangan darah di kakiku. Tetapi itu tidak megalir dariku. Jika dari Airis juga aku tidak bisa memastikannya. Darah itu hanya tiba-tiba menggenang."
"Artinya jika darah mansuia, dia kehilangan banyak."
"Iya, mungkin sekitar 500 atau 700 cc."
"Dengan darah sebanyak itu apakah bisa menjadikannya kasus mayat kering?"
"Tidak," sangkal Tuan Zion. "Itu hanya sedikit jika harus membuat manusia kehilangan semua darah mereka. Mungkin pada kasus Geta kulit seakan terbakar bisa diartikan jika sekelilingnya terdapat api. Tetapi, pada kasus Nyonya Shyui tidak ada hubungannya sama sekali."
Mungkin menambahkan banyak praduga akan membuat mereka menuju ujung. Lalu, apakah semudah yang mereka kira? Siapa yang akan berhadapan? Apakah pelakunya sangat dekat dengan mereka?
"Apakah ada yang kamu pikirkan?" Tuan Zion nampaknya peka dengan isi otak Julian.
"Aku hanya menganggap bahwa ini kasus yang berbeda. Dilihat dari dua pembunuhan jaraknya sekitar 30 hari."
Pandangan Clause menajam. "Jadi kamu akan bilang jika kasus pembunuhan berantai maka besok malam akan datang?"
"Iya," jawab Julian mengangguk.
"Kita akan menunggu korban selanjutnya."
Semua pandangan kini direbut oleh Tuan Zion. Rasa tidak setuju sudah terpatri di raut keduanya.
"Bukankah tugas kita mencegah?" Julian mengernyit.
Tuan Zion menggeleng. "Tugas kita memecahkan kasus ini. Lagian bukti yang kita punya tidak bisa dijadikan acuan. Aku hanya merasa kasus ini tidak akan semudah itu diselesaikan."
Sedang esok hari akn menjadi saksi atas karangan bunga siapa yang akan sampai pada nisan.
...***...
Bersambung....
Meski hati terserang rindu akan rumah tapi canda teman sesama menjadi penghangat lara, namun mereka tak tau ada sesuatu yang tengah mengincar nyawa.~~ Samito.
numpang iklan thor/Chuckle/
Iklan dikit ya thor🤭