Dokter Tengil Itu Jodohku

"Benarkah? Pantas saja selalu nabrak," sahut Mayza tersenyum tipis.

"Hehe, emang gitu Dek. Maunya sih nabrak hati Dek May," jawab Razher tersenyum gaje sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Mayza membesarkan matanya pada Razher. Kenapa bibir Dokter itu ringan sekali kalau bicara. Nggak sungkan apa, bicara di depan sang Ibu?

"Oh jadi kalian sudah saling kenal?" sambung Bu Hanum tersenyum senang.

"Iya, Bu. Kebetulan kami bekerja di RS yang sama. Dan kebetulan Dek May menjadi Bidan pendamping saya," sahut Razher dengan jujur.

"Wah, bagus sekali kalau begitu. Ternyata Nak Razher seorang Dokter kandungan ya?" Bu Hanum tampak antusias sekali sehingga membuat Mayza menatap aneh pada sang Ibu.

"Benar sekali, Bu. Beda dengan saudara saya ini. Dia seorang Dokter syaraf, Bu. Makanya syaraf otaknya sedikit geser, karena sering di didonorkan pada pasiennya," timpal Razher membuat Al mendelikkan matanya.

"Sembarangan kamu kalau bicara. Jangan percaya Bu. Dia memang agak sedikit lain," jawab Al tak terima.

"Ya Allah... Kalian lucu sekali. Ibu baru nemu Dokter yang romannya seperti kalian berdua. Sesekali main kerumah Ibu ya. Nanti ngobrol sama Bapaknya May. Nanti ibu masakin sayur asem dan sambal terasi. Apakah kalian suka?" tanya Ibu yang sudah klop banget.

"MasyaAllah, aku suka sekali Bu. Benaran kami boleh main kerumah Ibu?" sahut Razher dengan senyum sumringah. Ah tidak sia-sia drama nabrak Ibu dari Bidan judes itu.

"Tentu saja, Nak. Pasti suami Ibu sangat senang sekali."

"Baiklah, kalau begitu lusa saya main kerumah ya, Bu. Katakan, Ibu mau aku bawain oleh-oleh apa? Martabak Bangka, martabak Mesir? Atau kebab?" tanya lelaki itu membuat senyum Al menjadi senjang.

"Kalau mau bawa buah tangan ngapain harus di sebutkan? Mau nyogok kamu?" seru Al lagi-lagi membuat Razher gemas sekali.

"Tidak pa-pa, Nak. Mungkin saja Nak Razher ingin tahu selera Ibu. Nggak perlu repot-repot, Nak Razher. Yang penting datang dengan tubuh dan hati yang sehat saja sudah membuat Ibu senang," sahut Ibu membuat Razher meleleh. Boleh nggak sih pulang ikut Bu Hanum saat ini juga, ingin di resmikan menjadi menantunya.

"Ya Allah, baik banget sih Ibu. Semoga Ibu mendapatkan menantu yang baik seperti saya," Do'anya membuat Ibu terkekeh mendengar kejujuran pemuda itu.

"Aamiin.... Ibu aminkan Do'a kamu, Nak. Semoga benaran dapatnya seperti kamu. Kalau bisa yang mirip juga seperti Nak Razher."

"Fix, sayalah orangnya Bu. Boleh kita ke KUA sekarang, Bu?"

"Ya Allah, ini bahas apa sih, Bu? Kenapa Ibu ikutan error?" sanggah Mayza yang merasa percakapan ibunya dan Dokter Razher sudah ngalur-ngidul.

"Hahaha... Baiklah, kalau begitu Ibu ke kasir dulu ya, Nak. Ibu tunggu kedatangan Nak Razher," kekeh Ibu ingin beranjak dari hadapan kedua pemuda random itu.

"Mari Bu. Eh, sekalian biar saya yang bayarin, Bu!" timpal Razher.

"Nggak usah! Saya bisa bayar sendiri!" tolak Mayza.

"Nggak boleh begitu ngomongnya, May. Itu nggak sopan namanya. Kan niat Nak Razher baik, maka bicaralah dengan cara yang sopan dan halus!" tegur Ibu pada anak gadisnya itu. Tidak heran bila putrinya itu sampai saat ini masih jomblo, mungkin karena sikapnya yang kurang ramah pada lelaki.

"B-baiklah. Maaf Dok, saya masih bisa bayar sendiri," ucap Mayza mencoba untuk seramah mungkin dan sedikit senyum ia ukirkan.

"Hehe, nggak pa-pa Dek May. Sampai jumpa besok ya," jawab Razher masih tersenyum manis.

Akhirnya Mayza dan ibunya menuju meja kasir. Sedangkan Razher dan Alzikri masih berdiri di sana.

"Woi! Masih senyam-senyum. Anaknya nggak menyukaimu, yang suka cuma Ibunya!" celetuk Al membuyarkan lamunan Razher.

"Eh, kampret kamu ya. Dari tadi buat malu aku aja di depan camer. Nggak peduli aku mah. Pokoknya ibu dan ayahnya harus aku deketin terlebih dahulu. Anaknya urusan mudah," sahutnya seraya melenggang lalu membuka showcase yang berderetan untuk mencari minuman yang ia suka.

"Dasar dokter aneh, mau deketin anak gadis orang kenapa bicaranya berani sekali seperti itu," gumam Al segera mengikuti langkah Razher.

Setelah mengambil beberapa minuman dan juga cemilan, Razher segera menuju kasir.

"Sekalian ya, Bang," ucap Al sembari meletakkan barang-barang yang ada di tangannya.

"Manis banget panggilan kamu kalau ada maunya ya. Sejak kapan pula aku tua darimu. Kita itu sama-sama netas di tanggal dan bulan yang sama. Dan bahkan kamu yang lebih dulu brojol," ujar Razher menatap malas.

"Hahaha... Berarti aku tua darimu dua menit. Kalau begitu mulai sekarang kamu panggil aku Abang," timpal Al membuat Razher malas menanggapinya.

Setelah selesai melakukan pembayaran, dua lelaki itu segera keluar dari toko biru itu. Namun, mereka melihat Bidan Mayza dan Bu Hanum masih duduk di bangku yang ada di teras toko tersebut.

"Loh, Ibu belum pulang?" sapa Razher seraya mendekati.

"Belum, Nak. Ini lagi nunggu taksi yang di pesan oleh Mayza," sahut Ibu dengan jujur.

"Masih lama ya, Bu? Bagaimana jika saya anterin Ibu dan Dek May pulang. cancel saja taksinya."

"Tapi kita mau cepat, Raz," bisik Al.

"Kamu mau aku temenin nggak?" balas Razher.

"Ya iya. Tapi..."

"Udah nggak usah banyak protes!" tekan Razher membuat Al tak bisa bicara apapun. Sungguh kali ini ia di kerjain oleh saudaranya itu.

"Ibu sih terserah May saja. Bagaimana Nak?" tanya Ibu pada gadis itu yang sedari tadi hanya diam saja sembari mengamati gerak-gerik Dokter kandungan itu.

"Nggak perlu, Bu. Ini taksinya sudah menuju kesini," sahut Mayza seraya memperlihatkan dimana keberadaan taksi online itu dari layar ponselnya.

"Lah, ini masih jauh. Apalagi jam segini lagi macet. Lebih baik Abang antar saja ya." lagi-lagi lelaki itu mengeluarkan jurus-jurus jitunya. Terutama ia mendekati Bu Hanum.

Bersambung....