Genre: Action, Drama, Fantasy, Psychological, System
Seluruh siswa kelas 3A tidak pernah menyangka kalau hidup mereka akan berubah drastis ketika sebuah ritual aneh menarik mereka ke dunia lain. Diberikan gelar sebagai "Pahlawan Terpilih," mereka semua mendapat misi mulia untuk mengalahkan sang Raja Iblis dan menyelamatkan dunia asing tersebut. Di antara mereka ada Hayato, siswa yang dikenal pendiam namun selalu memiliki sisi perhatian pada teman-temannya.
Namun, takdir Hayato justru terpecah dari jalur yang diharapkan. Ketika yang lain menerima berkat dan senjata legendaris untuk menjadi pahlawan, Hayato mendapati dirinya sendirian di ruangan gelap. Di sana, ia bertemu langsung dengan sang Raja Iblis—penguasa kegelapan yang terkenal kejam. Alih-alih membunuhnya, Raja Iblis memberikan tawaran yang tak bisa Hayato tolak: menjadikannya "Villain Sejati" untuk menggantikan posisinya dalam tiga tahun mendatang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nov Tomic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
— BAB 7 — Menuju Kastil Raja Iblis —
Dengan kondisi terbaring di atas rerumputan, aku memandangi layar di depanku dengan alis terangkat. Notifikasi baru muncul, memberi tahuku tentang misi yang tampaknya lebih menantang dari sebelumnya.
[Misi Baru]
[ - Jelajahi Hutan Lebih Jauh dan Bunuh Tiga Jenis Monster Berbeda!]
[ - Total: 15 Monster, 5 Dari Setiap Jenis]
[ - Hadiah: Peta Menuju Kastil Raja Iblis]
Mataku terpaku pada bagian terakhir misi itu, Peta Menuju Kastil Raja Iblis. Akhirnya, ada petunjuk yang jelas tentang ke mana aku harus melangkah. Sekalipun tampaknya menakutkan, ada dorongan dalam diriku yang menguat. Mungkin ini tujuan yang ditetapkan oleh sistem sejak awal—menggiringku untuk menggapai kekuatan, status, dan mungkin… menjadi seseorang yang ditakuti. Selesai menghela napas berat, aku bangkit dan bersiap melangkah lebih jauh ke dalam hutan yang selama ini kuhuni.
Semakin jauh aku melangkah, pepohonan semakin rimbun, menghalangi cahaya matahari dan menambah kesan gelap yang pekat. Suara hutan menjadi semakin sunyi, hanya terdengar desiran angin dan langkahku yang menginjak dedaunan kering di bawah. Aku berjalan dengan hati-hati, berjaga-jaga untuk menghadapi apapun yang mungkin muncul.
Ketika aku melangkah lebih dalam, suara geraman kecil mulai terdengar dari segala arah. Suara yang mengganggu, seperti sekumpulan makhluk yang mengintai mangsanya dari balik semak-semak.
Aku merasa familiar dengan makhluk itu, mungkinkah Goblin? Di hadapanku muncul sosok-sosok Goblin, makhluk yang tingginya setara pinggang manusia dewasa, dengan kulit hijau kusam dan gigi tajam yang tampak mengancam. Mata mereka berwarna kuning kemerahan, menyala di kegelapan hutan, memancarkan kebencian yang mendalam. Mereka membawa senjata sederhana—tongkat kayu, batu tajam, bahkan ada yang menggunakan tulang hewan sebagai gada.
Aku menghitung sedikitnya sepuluh Goblin yang tampak menggeram dan mengayunkan tongkat serta batu ke arahku. Wajah mereka jelek dengan mata yang menyala dalam gelap, dan tawa kecil mereka begitu mengganggu, seperti sekelompok anak nakal yang mengejek mangsanya.
"Mau bermain?" gumamku sambil menyiapkan posisi bertarung.
Tentu saja, aku tidak ingin meremehkan mereka. Dengan skill Adaptasi Kegelapan, aku melangkah maju ke dalam bayangan, mengaktifkan Gigitan Kegelapan pada tinjuku. Aku merasakan energi hitam mengalir ke tanganku saat aku melayangkan pukulan pertama. Satu Goblin terlempar, langsung berteriak kesakitan, dan aku melihat seberkas darah keluar dari lukanya.
Namun, saat aku hendak menyerang Goblin berikutnya, mereka tiba-tiba menyerbu secara bersamaan. Aku mundur sambil menggunakan Manipulasi Racun, melemparkan energi beracun ke arah mereka. Beberapa Goblin terkena racun itu, terhuyung-huyung dan terjatuh, namun sisanya semakin gila. Mereka berteriak dan mengelilingiku dengan kecepatan yang membuatku sedikit kewalahan.
Sial, mereka lebih gesit dari yang kukira.
Aku merasakan goresan di lengan, lalu sebuah pukulan di pinggang. Dengan cepat, aku mengaktifkan Manipulasi Darah, mengambil darah dari tubuh Goblin yang telah kutumbangkan, lalu mengubahnya menjadi perisai tipis di sekitarku. Dengan perisai itu, aku mampu menangkis beberapa serangan mereka, memberiku waktu untuk mengatur napas dan menyiapkan serangan selanjutnya. Menggunakan kesempatan ini, aku melompat ke arah Goblin terbesar di antara mereka. Tubuhnya lebih besar, mungkin pemimpin dari koloni Goblin ini. Dia membawa gada besar, dan matanya menatapku dengan kebencian yang jelas.
"Jadi, kau pemimpinnya?" ucapku, mencoba mengalihkan perhatiannya.
Goblin besar itu menggeram, mengayunkan gadanya ke arahku dengan kekuatan yang membuatku harus menghindar cepat. Aku bisa merasakan angin dari ayunannya yang kuat, dan aku tahu sekali terkena, itu bisa menghancurkan tulangku. Aku menyerang balik, menargetkan kakinya dengan Gigitan Kegelapan. Tebasanku mengenai betisnya, membuatnya terhuyung mundur. Dengan sigap, aku memanfaatkan momen itu, melayangkan pukulan tepat ke kepalanya. Suara retakan terdengar, dan Goblin besar itu jatuh terkapar.
Aku menarik napas lega. Pertarungan ini menguras tenaga, tapi sepertinya aku berhasil mengatasi semuanya.
"AAAAAHHHH!!!"
Baru saja aku berpikir akan istirahat sejenak, tiba-tiba terdengar suara lain, suara perempuan dari dalam goa di dekat situ. Aku menoleh, dan suara lirih itu berubah menjadi jeritan kecil yang terdengar panik. Terdorong rasa ingin tahu, aku melangkah ke arah goa itu.
Suara jeritan kecil menarik perhatianku. Ternyata masih ada beberapa Goblin yang selamat dan langsung melarikan diri masuk ke dalam goa gelap di dekat sana. Aku mengejar mereka dengan cepat, mengikuti suara langkah kaki kecil mereka yang memantul di dinding goa. Goa itu semakin gelap, namun Penglihatan Malam membantuku melihat dengan jelas setiap detail di dalamnya.
Ketika aku sampai di tengah goa, aku terkejut melihat seorang perempuan disekap dalam kondisi mengenaskan. Pakaian lusuhnya penuh dengan debu dan noda, tangannya diikat erat oleh tali kasar, dan wajahnya tampak ketakutan saat melihat kedatangan para Goblin yang menggiringku masuk.
"Hey, kau tak apa-apa?" tanyaku dengan suara rendah, mencoba menenangkannya.
Dia tak sempat menjawab, matanya terfokus pada Goblin-Goblin di belakangku yang mulai berteriak dan menyerangku lagi. Kali ini, mereka tampak semakin beringas, seolah aku telah menantang sesuatu yang penting bagi mereka.
Menghadapi serangan Goblin yang tersisa, aku menarik napas dalam dan mengaktifkan Manipulasi Darah sekali lagi, menciptakan penghalang kecil dari darahku yang mengalir untuk melindungi perempuan itu. Dengan cepat, aku menghabisi sisa-sisa Goblin, satu per satu tumbang di bawah seranganku hingga akhirnya, keheningan menyelimuti ruangan.
Aku berbalik menatap perempuan itu. Kulihat dia masih berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Dengan hati-hati, aku mendekat, tapi saat pandangannya bertemu denganku, dia langsung memekik ketakutan, “Jangan dekati aku! Pergi dari sini!” Suaranya terdengar putus asa, bergetar di antara amarah dan ketakutan.
Aku menghentikan langkahku, mencoba memahami situasinya. Wajar saja dia ketakutan—entah berapa lama dia sudah terjebak di sini dan apa yang dia alami dengan para Goblin itu. Aku berusaha bersikap setenang mungkin, dan mengangkat kedua tanganku, menunjukkan bahwa aku tidak akan menyakitinya.
“Tenang, aku bukan ancaman untukmu,” ucapku lembut, suaraku serendah mungkin agar dia bisa merasa aman.
Matanya yang ketakutan masih terpaku padaku, tetapi dia tidak berteriak lagi. Aku perlahan melangkah mendekat, memastikan tidak ada gerakan mendadak yang bisa membuatnya lebih ketakutan. Sambil terus bicara, aku berhenti beberapa langkah di depannya.
“Kau aman sekarang. Mereka sudah mati. Aku di sini untuk membantumu,” lanjutku sambil menatapnya dengan serius.
Dia tampak sedikit ragu, namun perlahan, ketakutan di wajahnya mulai mereda. Aku menundukkan tubuhku, mencoba menyamakan tinggi kami agar dia merasa lebih nyaman. Perlahan-lahan, dia akhirnya mulai menunjukkan tanda-tanda percaya. Tangannya yang terikat tampak bergetar, tapi akhirnya dia mulai meraih tanganku setelah aku melepaskan ikatannya. Jari-jarinya gemetar, namun aku menyambutnya dengan lembut, menggenggam tangannya dengan hati-hati.
“Namaku Hayato,” kataku pelan, memperkenalkan diri.
Setelah beberapa saat, perempuan itu merespons dengan lirih, suaranya nyaris tak terdengar, “Eirene… Namaku Eirene.”