Kisah berawal dari gadis bernama Inara Nuha kelas 10 SMA yang memiliki kutukan tidak bisa berteman dengan siapapun karena dia memiliki jarum tajam di dalam hatinya yang akan menusuk siapapun yang mau berteman dengannya.
Kutukan itu ada kaitannya dengan masa lalu ayahnya. Sehingga, kisah ayahnya juga akan ada di kisah "hidupku seperti dongeng."
Kemudian, dia bertemu dengan seorang mahasiswa yang banyak menyimpan teka-tekinya di dalam kehidupannya. Mahasiswa itu juga memiliki masa lalu kelam yang kisahnya juga seperti dongeng. Kehadirannya banyak memberikan perubahan pada diri Inara Nuha.
Inara Nuha juga bertemu dengan empat gadis yang hidupnya juga seperti dongeng. Mereka akhirnya menjalin persahabatan.
Perjalanan hidup Inara Nuha tidak bisa indah sebab kutukan yang dia bawa. Meski begitu, dia punya tekad dan keteguhan hati supaya hidupnya bisa berakhir bahagia.
Inara Nuha akan berjumpa dengan banyak karakter di kisah ini untuk membantu menumbuhkan karakter bagi Nuha sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Hidupku Seperti Dongeng
Sehari-hari...
Nuha berangkat ke sekolah dengan sepeda, menyambut hari dengan penuh suka cita. Meski sulit berinteraksi dengan orang lain, dia merasakan keakraban dengan alam sekitar.
Seperti langit, udara, pohon, bunga, serangga, dan hewan-hewan. Senyumnya selalu bebas untuk mereka.
Sesampainya di sekolah, Nuha segera memasuki gerbang. Matanya menangkap dua gadis yang bertengkar, memperebutkan seorang cowok yang berdiri di antara mereka dengan sikap acuh tak acuh. Tanpa ragu, Nuha menghampiri mereka.
"Tolong! Berhentilah bertengkar!" serunya tegas, meski wajahnya tertunduk, tak berani menatap langsung.
"Kenapa kamu ikut campur?!" salah satu gadis itu mendorong Nuha.
Asa, yang melihat kejadian itu dari belakang, segera mendekati mereka. "Nuha, elo nggak apa-apa?" tanyanya khawatir. Nuha mengangguk.
Asa memberi dorongan semangat. "Ayo, Nuha! Elo harus berani. Tatap mereka dan marahi mereka!"
"Tapi, Asa..." Nuha merasa ragu, takut jika responsnya menyakiti perasaan orang lain.
"Jangan takut! Mereka butuh tahu apa yang benar!" Asa mendorongnya lagi.
Dengan semangat yang baru, Nuha perlahan mengangkat wajahnya. "Kalian tidak boleh bertengkar!"
"Cowok seperti dia tidak pantas kalian rebutkan! Kalian sekolah itu untuk belajar. Bukan rebutan cowok kayak dia!" ujarnya dengan emosi.
"JLEP!!" Seketika, rasa sakit terlihat di wajah ketiga siswa itu. "Ngeri banget ucapannya. Dada gue jadi sakit! Kenapa tiba-tiba hatiku terasa sakit banget?!" keluh kedua gadis itu, bersamaan, jatuh bersimpuh dan meringkuk kesakitan. Darah mulai mengalir di ujung bibir mereka.
Cowok itu, tidak terima dengan situasi itu, berani melawan. "Cewek sialan!" geramnya, mendorong pundak Nuha dengan kasar.
Asa tak tinggal diam. Dia segera mendorong dan dengan cepat menindihnya. Membeset leher cowok itu dengan fountain pen-nya. "Berani banget elo mengatai sahabat gue! Justru elo yang sialan! Cowok memang serigala!"
"Hey, gila lo sampai bikin gue berdarah!" cowok itu merintih, mengusap luka di lehernya.
"Bodo amat!" balas Asa, menatap tajam ke arah kedua gadis tersebut. "Kalian juga! Wanita jahat sama saja dengan serigala. Belajarlah untuk lebih baik dan jangan bodoh hanya karena urusan cowok! Huh!"
Kegeraman Asa menggema, seolah menghentikan pertengkaran itu. Tanpa menoleh lagi, Asa dan Nuha pergi meninggalkan mereka, langkah mereka penuh tekad.
Dari kejauhan, Pemuda Cinderella yang selalu memperhatikan Nuha kembali mengamatinya. Dengan mengeluh pelan, dia berkata pada dirinya sendiri, "Haa ah, gue kalah cepat dari sahabatnya itu. Gimana gue bisa mendekati Nuha kalau dia punya sahabat yang sangat super? Hahaha…" Dia tertawa kecil, namun ada keraguan dalam senyumnya.
Asa berjalan di samping Nuha, memuji keberaniannya. "Kamu terlalu baik, Nuha. Selalu mengutamakan perasaan orang lain. Kamu bener-bener tulus. Tapi, menjadi orang baik tidak selalu berarti harus lembut. Kamu juga harus berani jika ingin membela kebenaran."
"Ini pertama kalinya bagiku, Asa," jawab Nuha, menundukkan kepala.
Mendengar itu, Asa dengan semangat berseru, "Maka dari itu, gue akan mengajarkanmu bagaimana menjadi gadis yang pemberani. Bergabunglah denganku!" Dia mengarahkan jempolnya ke arah diri sendiri dengan bangga.
"Glek! Be-- bergabung?"
Ekspresi Asa sangat tajam, dan Nuha sering merasa tidak berkutik jika berhadapan dengan gadis berkerudung merah itu. Terlebih lagi, Asa tidak segan-segan untuk melukai lawan-lawannya dengan fountain pen yang selalu dibawanya.
"Ba-- Baiklah, Asa. Aku akan mencobanya" balas Nuha sambil memberikan senyuman simple. Seketika, Asa merasa hatinya tertusuk oleh perasaan yang tak terduga.
"Uack! Sa-sakit, Nuuhaa!!" teriak Asa.
.
.
.
Di luar kelas, Nuha duduk tegak di teras, mengamati interaksi siswa-siswa lain saat jam istirahat pertama. Benda kecil yang selalu dia bawa berada di kedua telapak tangannya.
Ketiga sahabatnya sedang jajan di kantin. Nuha memilih untuk tidak ikut, berusaha menghindari banyak interaksi dan kontak mata dengan orang lain. Wajahnya tenang, tersenyum melihat apapun yang dilihatnya, sambil kedua jempolnya mengelus benda lucu dalam genggamannya.
Dia menunduk sejenak dan memejamkan mata, "Aku ingin bertemu dengannya lagi." Itulah harapan Nuha terhadap benda yang selalu dia bawa.
Tak lama kemudian, seperti bayangan dari mimpi, Pemuda Cinderella muncul berlutut di hadapan Nuha, tampak begitu menghormati gadis di depannya. Dia sejenak melihat benda yang dia tinggalkan untuk Nuha. "Kamu menjaganya dengan sangat baik, ya," katanya.
"Siapa?" tanya Nuha, tetap dengan mata terpejam.
"Bukalah matamu dan lihatlah aku. Kamu akan tahu siapa aku," jawab pemuda itu lembut.
"Tidak bisa. Aku akan menyakiti hatimu kalau aku berinteraksi denganmu," balas Nuha, ragu.
Pemuda itu terdiam sejenak, lalu menekan tombol paw kucing pada benda itu dan meletakkan kedua telapak tangannya. Nuha terkejut oleh sensasi dingin yang dihadirkan, matanya sedikit bereaksi seolah tersetrum. "Dingin," kata Nuha, tak percaya.
"Benda ini sangat berarti bagiku. Karena bisa menghangatkan tanganku saat aku kedinginan," jawab pemuda itu, menatap Nuha dengan penuh harap.
Nuha menjawab, "Ambillah. Karena aku tidak bisa mencarimu. Kalau kamu mencarinya, ambillah."
"Jangan. Aku bukan mencari benda ini, tapi mencarimu. Aku ingin bertemu denganmu. Lagipula, aku sudah membeli hand warmer yang baru. Sekarang, benda itu milikmu. Aku memberikannya padamu, Nuha."
"Nuha? Kamu mengingat namaku? Kamu siapa?" tanya Nuha, rasa ingin tahunya muncul.
"Kamu melupakanku?" Pemuda itu tampak kecewa. "Lihatlah aku," pintanya lagi.
"Emm…" Nuha hanya bisa mengalihkan kepalanya ke kanan, enggan untuk menatap langsung. "Ci-- Cinderella..."
"Cinderella?" Pemuda itu mengernyit.
"Pangeran...," Nuha tersipu.
Pemuda itu tersenyum lembut meski merasa aneh. "Kamunya yang Cinderella. Dan akunya yang pangeran, gitu kan maksudmu?"
Nuha menggeleng, "Aku bukanlah Cinderella. Dan aku bukanlah Aurora. Aku hanyalah gadis biasa yang dikutuk yang enggak jelas gimana akhir hidupku."
"Sssttt..." perlahan pemuda itu menempelkan jari telunjuknya di bibir Nuha. "Bukan seperti itu kisahmu, Nuha. Kamu hanya belum bisa mengerti, bahwa kehidupanmu itu akan menyenangkan."
"Umm..."
Pemuda itu menoleh ke kiri dan melihat ketiga sahabat Nuha telah kembali dari kantin. "Aku akan pergi sekarang. Sahabatmu sudah kembali," katanya dengan nada berat.
Akhirnya, Nuha membuka matanya. Matanya mencari keberadaan pemuda itu, tetapi dia sudah tidak terlihat.
Nuha seolah tersadar dari lamunan karena Sifa meneriakinya, "Nuha, Cari apa?!"
"Eh?"
Dia merasa menyesal karena melupakan nama Pemuda Cinderella itu. Saat melihat pemuda tampan itu mendekatinya, jantungnya berdebar kencang.
Dia bingung harus bagaimana merespons—ingin menghindar, tetapi perasaannya terikat, seolah benang merah mengikat keduanya.
Di dalam kelas, Nuha berusaha fokus pada pelajaran, namun pikirannya melayang kembali ke pertemuan singkat dengan Pemuda Cinderella. Siapa dia sebenarnya? Nuha ingin segera menemuinya kembali.
Sifa menoleh ke tempat duduk Nuha dan Fani, menceritakan apa yang dia lihat di kantin. Cerita dari Sifa membuat Nuha menghilangkan lamunannya tentang Pemuda Cinderella.
"Fani, apa kamu lihat tadi?" tanya Sifa.
Fani belum siap menjawab, tetapi Asa yang cepat tanggap langsung memberi komentar. "Halah, pasti tentang cowok!" ejeknya.
Sifa menanggapinya dengan santai, "Asa, kalau elo nggak tertarik, nggak usah ikut campur, ya. Makanya gue cerita ke Fani dan Nuha aja."
"Huh!" Asa langsung berpaling, cemberut.
Sifa kemudian bercerita tentang seorang cowok yang sangat populer di sekolah ini, kakak kelas 12D jurusan MIPA. Bintang sekolah yang selalu menebar pesona, membuat Sifa semakin tertarik.
masih panjang kak perjalanannya ✍✍